SITUASI pasar minyak yang serba tidak pasti, ditambah kelesuan yang melanda ekonomi dunia sejak tahun 1980, yang kemudian dipertajam oleh merosotnya nilai dolar Amerika, semua itu adalah faktor-faktor eksternal yang mengguncang, bahkan mengancam kesinambungan pembangunan Indonesia. Banyak pengamat meramalkan bahwa masa depan negara-negara berkem~bang begitu suram, dan sejauh yang menyangkut Indonesia masalahnya kian terasa berat, karena beban utang menumpuk akibat menguatnya mata uang yen (yendaka). Kini laju roda pembangunan serta-merta berpindah ke gigi tiga, kalau tidak mau dikatakan beringsut-ingsut. Ketika beberapa negara nonminyak seperti Muangthai dan India memanfaatkan semaksimal mungkin kejatuhan harga emas hitam itu, maka Indonesia gelagapan mencari pegangan baru. Dalam ikhtiar ini, pemerintah berbulat tekad untuk menyukseskan bidang lain, yaitu ekspor nonmigas. Dari sini diharapkan penerimaan ne~gara bisa ditin~gkatkan -- satu hal yang tidak mudah karena beberapa kendala yang sering disebut-sebut: inefisiensi, birokratisasi, ca~tive market, monopoli, yang semuanya bermuara ke ekonomi biaya tinggi. Harus diakui, situasi perekonomian Indonesia saat ini memerlukan perhatian ekstraserius, Soal pembayaran utang memang sudah b~ikin ruwet -- akhir tahun ini membengkak menjadi US$ 45,7 milyar -- tapi yang juga sangat mendesak adalah bagaimana mengatasi kendala-kendala tersebut di atas. Jawabannya pun tersedia: deregulasi dimulai sejak 1983 -- namun penjabarannya masih perlu waktu, ketekunan, juga political will. Dari sana diharapkan bahwa mekanisme pasar akan lebih berperan, hingga pembentukan harga tidak sewenang-wenang, dan kemudian secara pelahan tapi pasti menuju ke iklim berusaha yang sehat. Dimulai dengan strategi menggebrak keluar dengan ekspor nonmigas -- tapi yang menuntut persyaratan tertentu: Industrialisas~i dan daya saing yang tinggi. Dalam proses ini muncul berbagai tantangan, tapi titik-titik terang mulai kelihatan. Pertumbuhan ekspor nonmigas tahun lalu mencapai 35%, malah kini sudah melewati ekspor migas. Dalam periode 1987/88 migas hanya menghasilkan 8,9 milyar dolar AS, sementara nonmigas mencapai 9,5 milyar. Terakhir Menteri Keuangan Sumarlin berani memperkirakan: tahun ini ekspor nonmigas akan mencapai sekitar 11,3 milyar dolar. Kiatnya bisa dicari pada tindakan deregulasi yang mengelegar-gelegar, sekaligus memperlicin jalur ekspor. Paket 6 Mei 1986, misalnya, yang membebaskan bea masuk atas komponen-komponen impor yang digunakan oleh produsen eksport~r. Disusul oleh tindakan deregulasi lainnya, seperti penghapusan i~zin untuk pembaruan lisensi investasi, dan perluasan kapasitas produksi. Kemudian pembagian kuota tekstil yang dipercepat, dan secara terbuka. Dan Paket Desember 1987, yang mencabut beberapa kuota bahan baku Impor, plus penghapusan Angka Pengenal Ekspor. Jelas, ada pemangkasan, hingga proses yang dilalui jadi lebih pendek. Para eksportir juga bisa berjalan dengan langkah yang lebih lebar. Tapi rupanya tidak cuku~p sampai di situ. Ketika empat menteri muda (Perindustrian, Perdagangan, Pertanian. dan Keuangan) melakukan kunjungan kerja ke berbagai daerah, ternyata, masih banyak pengusaha yang mengeluh. Nada mereka hampir seirama, mulai dari kesulitan memperoleh bahan baku, tingka~t bunga kredit yang dirasakan terlalu tinggi. sampai pemberian fasilitas kredit ekspor yang tidak seimbang. Di sektor karet, misalnya. Pabrik ban dan produsen sepatu harus berjuang keras untuk memperoleh karet mentah. Padahal banyak perkebunan karet milik rakyat yany tak tergarap. Ini merupakan pertanda, baik industri hilir maupun hulu sama-sama kelimpun~an. Dan yan~g tersenyum justru para produsen eksportir, yang menggebu-gebu melakukan ekspor. Tujuannya hanya untuk mengejar fasilitas kredit ekspor, yang dibcrikan pemerintah dengan bunga 9%. Sektor industri kerajinan kulit juga dilanda angin ribut, karena bahan baku lebih banyak dijual ke luar negeri ketimbang di pasar lokal. Sudah barang tentu, ini merupakan tantangan bagi pemerintah, yang telah bertekad untuk memperoleh nilai tambah dari komoditi-komoditi yang diekspor. Untuk itu, menurut Menmud Perindustrian T. Ariwibowo, kini pemerintah sedang menggodok satu paket kebijaksanaan ekspor nonmigas, yang dimaksud mendorong tidak hanya industri hilir, tapi juga hulu. Ia tidak membantah bahwa selama ini industri hulu lebih banyak mendapatkan fasilitas ketimbang hilir. Tapi untuk membenahinya, bukan hal yang mudah. Misalnya saja, tidak mungkin menyetop langsung ekspor bahan baku, sementara sektor itu cukup potensial untul memperoleh devisa. "Tapi di lain pihak kita juga harus menjaga kontinuitas kebutuhan bahan baku industri hilir," ujarnya Ini menyangkut struktur, dan pastila~h rumit. Toh pemerintah akan berupaya menciptakan keseimbangan antara hulu dan hilir. Terutama, kata Ari lebih lanjut, pemerintah secara bertahap akan mengalihkan ekspor hasil-hasil hutan, pertanian, dan perkebunan dari produk primer. menjadi ekspor hasil industri pengolahan. Maksudnya, tentu saja, agar diperoleh nilai tambah yang lebih banyak. Seperti ~yang terjadi pada industri kayu. Ketika log, alias kayu gelondongan, masih boleh diekpor, Indonesia hanya memungut 15 dolar dari setiap meter kubik. Sementara itu, Jepang, Korea, dan Taiwan, dengan tenang menikmati 300 dolar per kubik -- tentu setelah diolah menjadi kayu lapis. Nah, setelah ekspor log disetop, baru ilai tambah bisa dinikmati Indonesia. Taun lalu hasil ekspor kayu lapis mencapai ,9 milyar dolar, sementara pabrik-pabrik kayu lapis di Jepang, Korea, Singapura, dan Taiwan pun bergelimpangan. Dari 46 parik kayu lapis Singapura, kini tak tersisa atu pun. Juga di Jepang, yang semula ada 400 pabrik, kini hanya ada 100-an saja. Situasi yang sama melanda Korea dan Taiwan, yang sekarang masing-masing hanya memiliki 6 dan 30 pabrik. Padahal, semula orea berjaya dengan 60 unit, Taiwan 100 unit. Langkah serupa diambil pemerintah pada sektor rotan. Sebagai pemasok 80% dari kebutuhan rotan dunia, pemerintah sudah melakukan perhitungan yang bolak-balik. "Sebelum ini, nilai ekspor rotan Indonesia lanya 5% dari total ekspor barang rotan dunia. Padahal, kita produsen terbesar," atau Mohamad "Bob" Hasan, Ketua Himpunan Pengusaha Rotan Indonesia (HPRI). Itulah sebabnya, dua tahun lalu ekspor rotan mentah dilarang. Disusul dengan tindakan berikut: memusatkan industri rotan, dengan Surabaya dan Medan sebagai Pusat Rotan Nasional. Pergeseran pun segera terjadi. Pada 1987, ekspor rotan setengah jadi menghasilkan 152 juta dolar, dan rotan jadi 64 juta dolar. Sedangkan rotan mentah tak ada lagi. Tidak hanya sampai di situ. Keputusan Menteri Perdagangan yang turun ~1986 itu juga mencanangkan ekspor rotan setengah jadi akan disetop pada awal 1989 nanti. Tinggal enam bulan lagi, memang. Sudah siap~ah industri hilir? "Kenapa tidak? Ketika kita merintis ~kayu lapis, toh bisa berhasil. ~Apalagi rotan, yang teknologinya jauh lebih gampang," kata Bob, yakin. Belum jelas benar, komoditi apa lagi yang akan diarahkan oleh pemerintah ke sektor hilir. Karet baran~g~kali? Yang pasti, janji yang sama datang juga dari Menteri Perdagangan Arifin Siregar. "Kita tak bisa apriori menyatakan menyetop ekspor bahan baku. Tapi peralihan ini akan dilakukan secara bertahap, agar tidak terlalu merugikan industri hulu," ujarnya. Pernyataan itu, rupanya, disetujui pula oleh ekonom yang lantang bicaranya: ~wiek Kian Gie. Menurut dia, ekspor baran~g jadi tidak selalu lebih bagus ketimbang ekspor barang mentah. Sebab, sering untuk memproses barang jadi itu, dibutuhkan bahan baku tambahan yang justru harus diimpor. Misalnya kopi. Karena adanya perbedaan selera? pengusaha yang ingin~ mengekspor kopi. Jadi harus mengimpor kopi pencampur. "Jadi, soal itu, memang, harus dipertimbangkan secara hati-hati," ujarnya. Kisruh hulu dan hilir ini pun sudah ditangkap oleh Bank Indonesia. Dalam Temu Karya Kopi ke-5 di Palembang dua pekan lalu, Siswanto, S.E., Kepala Urusan Kredit Umum BI, mengemukakan, Juli depan, peraturan kredit ekspor akan segera disempurnakan. Tujuannya, agar fasilitas kredit ekspor bisa dinikma~ti secara merata, baik oleh pemasok bahan baku, produsen barang jadi, dan setengah jadi, serta penyedia bahan-bahan baku pembantu. Konon, dana yang akan digunakan untuk keperluan ini -- sebanyak 600 juta dolar merupakan bagian dari pinjaman Jepang, yang baru saja ditandatangani. Selain itu, pemerintah juga akan memberikan kesempatan seluas-luasnya pada eksportir yang belum memanfaatkan bantuan pembiayaan ekspor. "Soalnya, selama ini kredit ekspor baru dinikmati oleh eksportir murni, dan produsen eksportir," ujarnya. Tapi ia juga mengakui, industri hulu, yang selama ini didorong oleh kredit ekspor, telah berhasil meningkatkan volume sekaligus nilai ekspor nonmigas. Bahkan dalam hari-hari terakhir ini, kegiatan ekspor terus meroket. Secara selintas, ini tampak dari jumlah perusahaan yang telah mengajukan permohonan pembebasan bea masuk ke Pusat Pengelolaan Pembebasan dan Pengembalian Bea masuk (P4BM). Tahun 1987 baru 499 produsen eksportir yang mengajukan, sedangkan dalam waktu empat bulan -- Januari hingga April 1988 -- jumlahnya naik menjadi 704 perusahaan. Begitu juga nilai pengembalian bea masuknya tampak naik mencolok. Dalam periode Januari-Maret 1988, misalnya, be~a yang telah dikembalikan pada eksportir sekitar Rp 2,4 milyar. Ini berarti mengalami kenaikan di atas 200%, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yang hanya Rp 700-an juta. Tapi bukan hanya itu.."Sektor industri pengekspornya pun semakin luas," kata Hamonangan Hutabarat, Kepala P4BM. Menurut Hamonangan, perusahaan-perusahaan yang kini "antre" datang dari 50 kelompok industri. Dari kelompok-kelompok itu, yang perkembangannya paling pesat adalah industri pakaian jadi dan tekstil. Kemudian disusul kelompok kayu & barang dari kayu, kelompok industri mesin, dan kelompok industri makanan. Adapun yang termasuk ke dalam kategori pendatang baru (dalam hal meminta pembebasan bea masuk, karena ekspor) adalah industri persepatuan, industri kimia, industri logam dasar bukan besi, dan industri penerbitan. Sebagai kepala P4BM, yang merangkap Kepala Pusat Analisa dan Informasi Keuangan, Hamonangan memang cukup jeli. Ia juga bisa mendeteksi adanya gejolak yang terjadi di bidang investasi. Kendati tidak melalui jalur formal, ternyata sudah mulai banyak pengusaha Taiwan, Korea, dan Hong Kong yang merembes ke Indonesia. "Semua masuk dengan cara berpatungan dengan produsen ek~portir yang sudah mereka kenal. Jadi, tanpa melalui proses di BKPM," ujarnya. Menurut Hamonangan, para investor itu datang dengan gencar, setelah terbetik kabar bahwa empat macan Asia akan dikeluarkan dari daftar GSP Amerika. Jumlahnya sekarang sudah 80 investor yang bergerak di sektor Industri sepatu, elektronik, rotan, dan mainan anak-anak. "Teknik patungan merupakan jalan yang paling cepat, dan praktis, sebab toh ~semua peralatan produksi sudah tersedia," katanya lebih lanjut. Nah, kalau eksportir asing saja sudah berani masuk, kenapa masih banyak produsen eksportir yang mengeluh, tuturnya. Ia tidak setuju bila produsen mengeluh. "Kalau memang kekurangan bahan baku, seperti karet atau CPO misalnya, impor saja. 'Kan tidak dilarang lagi," tuturnya. Bahwa impor itu mengeluarkan devisa, toh kita bisa menikmati nilai tambahnya. Yang penting saat ini adalah ekspor sebanyak mungkin, kata Hamonangan. Mungkin karena itu pula, keluhan eksportir yang merasa fasilitas ekspornya kurang, dan suku bunga kredit tinggi, dianggap Hamonangan kurang beralasan. Contohnya, Asosiasi Produsen Ban Indonesia, yang berulang-ulang meminta insentif tambahan, di samping banyak mengeluh karena sulit memperoleh bahan baku. "Tapi faktanya, ekspor 8 produsen ban dari tahun ke tahun terus meningkat," ujarnya. Intirub, misalnya, berani menargetkan ekspornya mencapai 30 juta dolar tahun ini, padahal tahun sebelumnya hanya mengekspor senilai 10 juta~ dolar. Dalam kaitannya dengan ini, pendapat Ekonom Marie Pangestu tidak dapat dikesampingkan. Menurut dia, naiknya ekspor nonmigas selalu diikuti oleh membengkaknya impor, "Karena secara rata-rata produk ekspor kita masih mengandung import content yang tinggi." Coba saja bandingkan. Pada periode Januari-November 1986 ekspor nonmigas mencapai hampir 6 milyar dolar, yang diikuti impor nonmigas sebesar 8,5 milyar dolar. Nah, angka ini meningkat pada periode yang sama di tahun berikutnya: ekspor 7,6 milyar, sedangkan impornya menjadi 10,3 milyar dolar. Dari angka itu, tampak jelas adanya kemiripan selisih antara impor dan ekspor yang sama, ~ yakni ~sekitar 200 juta dolar. Dan karena impor barang-barang konsumen telah menurun banyak di tahun-tahun belakangan ini, maka dapatlah disimpulkan: barang-barang yang diimpor itu merupakan kebutuhan yang digunakan untuk sektor produksi. Atau, dengan kata lain, kenaikan impor terJadi karena peningkatarl aktivitas ekspor. "Memang, itu masih merupakan gambaran yang kasar, tapi kita sudah harus mulai mempelajari bagaimana cara menurunkan import content," ujar Marie. Bicara tentang komponen impor, ternyata tidaklah berkisar hanya pada soal menekan volume. Tapi juga soal birokrasi. Maklum, masih ada beberapa bahan baku impor yang terlalu diatur pemerintah. Akibatnya, harga yang jatuh di tangan produsen menjadi sangat mahal. Contohnya, impor bahan baku plastik yang diatur oleh PT Mega Eltra. Perusahaan milik negara ini sudah dicap oleh sejumlah pengusaha sebagai pemungut rente. Soalnya, kendati semua permmtaan impor harus melalui Mega, yang melakukan pembelian adalah PT Panca Holding di Hong Kong. Konon, dari bisnis oper-operan itu, Panca memperoleh komisi 2% dari nilai setiap transaksi, sementara Mega (kabarnya) mengutip 8-15 dolar dari setiap ton. Dan hal itu pulalah yang menjadi salah satu penghambat kegiatan ekonomi yang banyak disorot oleh para ekonom. Mereka berpendapat, sudah saatnya impor plastik dilepaskan dari tangan monopoli pemerintah. "Tapi penghapusan monopoli itu jangan dilakukan setelah ada pabrik plastik yang bersifat monopoli juga. Lantas disusul dengan larangan impor. Sebab, kalau begitu sih, sama saja," kata Sjahrir, ahli ekonomi lulusan Harvard, AS. Lain lagi contoh yang diajukan Anwar Nasution, yakni industri galangan kapal yang menikmati banyak perlindungan. Tujuannya, selain untuk meningkatkan kegiatan ekonomi nasional, juga agar menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan ekspor. Tapi apa mau dikata, yang muncul malah efek negatif berupa kendala-kendala di sektor perhubungan dan penangkapan ikan. Sebab, dengan dilarangnya impor kapal, kedua sektor itu kekurangan sarana produksi. Karena waktu merakit yang dibutuhkan masih panjang, harganya pun jauh lebih mahal ketimbang kapal impor. "Larangan impor seperti itu jelas telah menurunkan daya saing perusahaan kapal nasional di pasar dunia. Belum lagi kini, semakin banyak kapal yang terkena pembesituaan karena usianya," tutur Anwar. Dari kasus-kasus tersebut, tidak dapat disangkal lagi, masih banyak memang yang harus dibenahi pemerintah. Dan mungkin, hal-hal seperti itulah yang tidak menunjang terciptanya iklim berusaha yang sehat. Pada gilirannya, lalu tidak merangsang investor asing ke Indonesia. Kenyataan inilah yang tampak jelas di mata Jepang sebagai negara donor. Kendati tidak didukung data-data yang akurat, Profesor Yasuhiko Torii, guru besar yang juga pakar ekonomi Jepang, telah dengan gamblang mengemukakan sikap pesimistisnya akan perkembangan ekonomi Indonesia di tahun-tahun mendatang. Tidak semua pendapatnya salah, tapi beberapa di antaranya khas mewakili keragu-raguan Jepang terhadap Indonesia (lihat kolom: Repelita Kelima Menurut Jepan~g oleh R.B. Suhartono). Budi K~usumah, Bachtiar Abdullah, Irwan E. Siregar, dan Budiono Darsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini