SWASEMBADA beras berhasil. Namun, nilai tukar yang diterima petani produsen padi menurun. Mengapa? Bagaimana cara mengatasinya? Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah belum berfungsinya Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai wadah pembawa aspirasi petani. Ada kesan, KUD belum diterima oleh sebagian petani sebagai wadah yang dapat membawakan aspirasi para anggotanya. Penyebabnya antara lain adalah adanya "trauma spiritual" tentang peranan organisasi yang dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk mewujudkan kepentingannya. Selain itu, pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan yang berorientasi mencapai "target" dan melaksanakan perintah dari atas sering telah mengabaikan kemampuan dan kemauan sebaglan besar petam anggotanya. Akibatnya, petani merasa tidak perlu menjadi anggota KUD. Angka Sensus Pertanian 1983 menunjukkan bahwa dari 17,3 juta rumah tangga pctani, 90 persen tidak menjadi anggota KUD. Dari 10 pcrsen anggota KUD, baru 7,8 persen yang menikmati pelayanannya. Sedangkan dari seluruh kegiatan pelayanan KUD yang diberikan kepada rumah tangga petani, sebagian besar (49%) terbatas pada pcnyediaan sarana produksi pertanian. Terungkap juga bahwa 8 persen rumah tangga tani anggota menerima pelayanan dalam pengolahan hasil dan 11 persen mcncrima pelayanan dalam hal penjualan. Pelayanan KUD dalam menyediakan saprodi ini terutama berkaitan dengan kebijaksanaan nasional dalam upaya peningkatan produksi padi melalui penggunaan teknologi baru yang dldukung oleh penggunaan paket kredlt Bimas. Kecenderungan dalam pelayanan ini menimbulkan kesan bahwa peran KUD sebagai alat kebijaksanaan pemerintah untuk mencapai target tersebut hanyalah "menganjurkan pctani meminjam kredit". Karena pencapaian target menjadi tujuan yang diutamakan dan sebagai ukuran keberhasilan kegiatan KUD, sering kepentingan petani terabaikan. Petani dengan kualifikasi tinggi mendapatkan pelayanan lebih dahulu. Sensus Pertanian 1983 menunjukkan, hanya sekitar 8 persen rumah tangga tani dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 ha yang ikut dalam KUD. Sedangkan rumah tangga petani dengan pemilikan lahan lebih dari satu hektar yang menjadi anggota, tercatat lebih dari 90 persen. Kesan bahwa KUD belum mampu membawakan aspirasi anggota dapat diamati pula dari "kurang tepatnya" penerapan misi KUD, yang tercermin dalam perilaku KUD harus menguntungkan para anggotanya. Misi ini sering diartikan bahwa KUD harus untung, sehingga keberhasilan KUD dinilai dari kemampuan manajer atau ketua untuk memupuk dana bagi KUD. Tidak jarang dijumpai KUD memiliki kegiatan lain yang bersifat profit oriented. Bahkan ada ketua yang mengartikan ungkapan "KUD harus untung" sebagai "ketua yang untung dulu". Peri laku pengurus KUD semacam inilah yahg menyebabkan rendahnya jumlah anggota KUD. Hal ini juga mengakibatkan munculnya sifat apatis para anggota dalam berbagai kegiatan KUD. Namun, harus diakui, tidak sedikit KUD yang berhasil, yang benar-benar mampu menjadi wadah dalam membawakan aspirasi dan melindungi kepentingan anggota. KUD yang berhasil ini adalah KUD yang telah melaksanakan prinsip "partisipasi secara murni" bagl para anggota. Kelompok Swadaya Masyarakat yang ada di pedesaan pada umumnya merupakan wadah yang dapat membawakan aspirasi petani dan telah melaksanakan prinsip partisipasi murni ini. Kelompok yang ideal umumnya beranggotakan 50 orang atau kurang. Keanggotaan bersifat sukarela dan mempunyai maksud sama. Terdapat rasa solidaritas yang diikat dengan kontrol sosial yang dihormati bersama melalui musyawarah dalam rapat anggota. Penentuan arah dan tujuan kelompok dirumuskan dan diputuskan bersama dalam rapat secara musyawarah. Masalah yang dihadapi para anggota dirumuskan bersama serta dicarikan pemecahannya di antara mereka sendiri tanpa campur tangan dari pihak luar. Dengan selalu mengikutsertakan semua anggota, setiap anggota selalu mengetahui perkembangan kelompok, sejak dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan menikmati hasil. Ini mendorong timbulnya "rasa memiliki" dari para anggota yang dapat diartikan sebagai "partisipasi murni" dari anggota. Anggota, yang merasa menikmati hasil dari upaya dan Jerih payah sendiri, secara sadar akan bergairah untuk melestarikan keberhasilan yang telah dicapai tersebut. Kelompok Swadaya Masyarakat yang ada di pedesaan ini sebenarnya telah menggunakan serta melaksanakan prinsip koperasi bahkan dapat dikatakan merupakan embrio dari koperasi yang murni di tingkat desa. Namun, dengan berbagai alasan dan pertimbangan, berdasar pengalaman perkembangan koperasi di Indonesia, tampaknya para anggota tidak dengan mudah menyebut kelompoknya sebagai gerakan koperasi. Pemberian iklim yang mendorong tumbuhnya prakarsa dan swadaya masyarakat pedesaan dan keikutsertaan petani melalui Koperasi Unit Desa (GBHN 1988), merupakan upaya pelaksanaan partisipasi murni. Penerapan prinsip ini berarti adanya perubahan struktur perekonomian di pedesaan. Pemberian kebebasan kepada petani dalam kelompok untuk menentukan pilihan terbaik mereka sejak dari pemilihan macam tanaman, cara menghasilkan serta pemasaran hasil sesuai dengan kemauan dan kemampuan petani dan keadaan agronomis lahan petani setempat, akan menciptakan kepercayaan pada diri petani. Pada gilirannya ini akan menciptakan daya tahan mereka terhadap gejolak dari luar dan melestarikan ketahanan pangan. Melalui kelompok petani akan mempunyai kekuatan menawar yang lebih tinggi daiam berhadapan dengan pedagang/tengkulak. Dengan kekuatan menawar yang tinggi, nilai tambah dalam penjualan hasil dapat dinikmati oleh petani sendiri. Meningkatnya kekuatan menawar petani ini berarti juga mengurangi beban pemerintah, khususnya Bulog, dalam pengadaan pangan. Namun, karena petani tidak selalu mempunyai persepsi yang sama, diperlukan bimbingan dan penyuluhan dari pihak berwenang. Untuk itu diperlukan tenaga produksi, pemasaran, sampai dengan aspek keuangan dan sosial budaya dari petani. Contoh penyuluhan yang dapat dipetik manfaatnya adalah keberhasilan "motivator", "community organi~er" atau "pembina wilayah" pada Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat dalam mengantarkan kelompok miskin menjadi kelompok yang mandiri melalui Kelompok Swadaya Masyarakat. Untuk mencapai semua ini, diperlukan perubahan persepsi pembuat kebijaksanaan dan pihak terkait tentang peran KUD. KUD seharusnya adalah gerakan dan, oleh, dan unt~uk petani. Dan bukannya petani untuk KUD. ~* Dos~en Faku~tas Ekonomi UGM dan Staf P~en~eliti P3PK-UGM, Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini