MINYAK masih merupakan kunci dalam pengumpulan devisa untuk memperkuat neraca pembayaran. Turunnya ekspor minyak ke negara-negara industri di kuartal ketiga lalu, memang, berakibat kurang mengenakkan. Apalagi dengan kuota produksi hanya 1,189 juta barel sehari, sejak Januari lalu, harga ekspor minyak Minas diturunkan dari US$ 29,53 jadi US$ 28,53 per barel. Sementara itu, pada semester pertama 1985-1986 barusan, ekspor gas alam cair tidak bertambah. Apa boleh buat, untuk semester pertama tahun anggaran berjalan ini, realisasi ekspor minyak dan gas alam (migas) diperkirakan hanya akan meliputi US$ 3.176 juta. Jika dibandingkan periode yang sama tahun anggaran sebelumnya berarti lebih rendah US$ 1.409 juta atau turun 30,7%. Di pihak lain, menurut laporan Menteri Keuangan mengenai pelaksanaan APBN dan Neraca Pembayaran 1985-1986 kepada DPR, akhir Oktober itu, ekspor nonmigas diduga hanya akan US$ 3.050 juta (lihat: Cukup Menggoyang Rupiah). Tapi pemasukan devisa ini arus dikeluarkan kembali untuk membayar impor barang dan jasa-jasa, masing-masing US$ 5.635 juta dan US$ 2.073 juta. Akibatnya bisa diduga: neraca barang dan jasa (transaksi berjalan) untuk semester pertama 1985-1986 itu defisit US$ 1.482 juta. Menurut Gubernur Bank Indonesia, Dr. Arifin Siregar, defisit itu "lumrah, karena pemerintah maupun swasta masih banyak menggunakan jasa kapal asing untuk mengangkut muatan - termasuk membayar asuransinya." Selain itu, pemerintah juga harus mengeluarkan devisa untuk membayar bunga, menggaji perwakilan pemerintah di luar negeri, dan memperhitungkan transfer keuntungan PMA, bank asing, serta jemaah haji. Repotnya, sampai tahun anggaran berjalan ini, pengeluaran untuk jasa-jasa itu selalu lebih besar daripada pemasukannya. Padahal, usaha untuk menambah pemasukan itu, rasa-rasanya, sudah cukup banyak dilakukan. Misalnya, mengharuskan muatan milik pemerintah diangkut dengan kapal Indonesia, seperti ditentukan Keppres No. 18 tahun 1982. Pemerintah juga sudah berusaha merangsang turis agar lebih banyak mengunjungi Indonesia dengan cara membebaskan visa. Usaha menyehatkan neraca pembayaran juga dilakukan dengan mengharuskan semua badan usaha milik negara (BUMN) menggunakan sebanyak-banyaknya barang modal bikinan lokal, sekalipun sempat menimbulkan sisa anggaran pembangunan cukup besar. Hasilnya cukup lumayan: impor barang modal untuk kuartal pertama 1985-1986 hanya US$ 805 juta atau turun hampir 40% dibanding periode yang sama tahun anggaran lalu. Di pihak lain, upaya pemerintah mengendalikan impor bahan baku dan penolong sesungguhnya juga cukup streng dilakukan, kendati menerbitkan banyak biaya tambahan bagi industri hilir. Pendeknya, demikian Menteri Radius, di masa sulit seperti sekarang, cadangan devisa sebesar US$ 10 milyar lebih itu harus ekstra hati-hati digunakan. "Karena kita tidak tahu sampai berapa jauh masa sulit ini akan berkepanjangan," katanya. "Kalau misalnya usaha proteksi yang dilakukan Amerika ditiru negara lain, maka perdagangan internasional tentu akan menciut." Ancaman seperti itu sudah tiga tahun belakangan ini berada di depan hidung. Kayu lapis dari sini, misalnya, terkena bea masuk tinggi di Jepang. Ekspor tekstil dan produk tekstil ke Eropa dan Amerika dibatasi dengan kuota - mudah-mudahan saja tidak habis dipangkas dengan undang-undang rancangan Jenkins. Karena serangkaian alasan itu, maka pemerintah perlu memperhatikan laju pertambahan uang beredar. "Karena, kalau terlalu banyak uang beredar, maka sebagian akan menjelma menjadi permintaan devisa," kata Gubernur BI Arifin Siregar. Jika itu terjadi, maka neraca pembayaran akan mendapat tekanan. Di pihak lain, pertambahan uang beredar sesungguhnya diperlukan pula untuk mendorong pembangunan. Menurut Gubernur Arifin, pertambahan uang beredar yang cukup pesat tahun ini (sampai Juni sudah 10% padahal seluruh tahun 1984 hanya 13%) masih bisa dipertanggungjawabkan. "Jadi, seninya adalah bagaimana mencari keseimbangan antara keinginan mendorong pembangunan, tapi juga jangan sampai terlalu menekan neraca pembayaran," katanya. Dengan kata lain, seperti kata Radius, pemerintah tidak ingin melihat di masa orang sulit berbelanja dan penjualan pelbagai barang sedang macet, inflasi justru meroket. "Kalau inflasi sampai tercambuk, yang akan terhukum dulu adalah mereka yang berpenghasilan tetap," kata Radius. Syukur, untuk semester pertama tahun anggaran berjalan ini, kenaikan indeks harga konsumen itu hanya 3,41%. Kegiatan perekonomian di luar Indonesia tentu mempunyai pengaruh besar terhadap neraca pembayaran. Konsumsi minyak, setelah mencapai puncaknya pada kuartal pertama tahun depan, akan menurun lagi di kuartal kedua. Mudah-mudahan perang harga, seperti dikatakan Menteri Perminyakan Arab Saudi Sheik Zaki Yamani, tidak akan berkobar. Secara akumulatif perkiraan defisit pada transaksi berjalan 1985-1986 diduga akan mencapai US$ 2.764 juta. Besar kecilnya defisit itu juga akan banyak ditentukan oleh hasil ekspor bersih perlbagai komoditi nonmigas. Hanya, sayang, harga komoditi karet, timah, kopi, dan nikel belakangan malah cenderung merosot - bagai mempersempit peluang untuk memperoleh devisa. "Kita ini, kalau sudah terjepit dari mana-mana biasanya lalu bersikap seperti kucing: bukan tidur mencarl keselamatan, tapi melompat keluar berusaha lolos dari jepitan," ujar Menteri Radius. Eddy Herwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini