Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo mengatakan tak semua pelaku usaha mampu mengakomodasi kenaikan sebesar 6,5 persen. Imbasnya bisa ada efisiensi atau pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga penundaan investasi.
Saat ini kondisi dunia usaha di Indonesia tengah terpuruk. Sektor industri di Indonesia kembali mengalami kontraksi pada November 2024 atau lima bulan beruntun.
Kenaikan UMP di sektor tekstil dikhawatirkan menyebabkan harga produk akhir naik.
SETELAH pembahasan yang alot, Presiden Prabowo Subianto akhirnya memutuskan kenaikan upah minimum provinsi atau UMP 2025 sebesar 6,5 persen. Ia menyebutkan penghitungan upah minimum ini telah mempertimbangkan kebutuhan hidup layak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi ihwal uji materi terhadap Undang-Undang Cipta Kerja.
Prabowo mengklaim penetapan upah minimum telah memperhatikan kepentingan pekerja ataupun pengusaha. "Penetapan upah minimum 6,5 persen bertujuan meningkatkan daya beli pekerja dengan tetap memperhatikan daya saing usaha," kata Prabowo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 29 November 2024.
Meski telah diputuskan angka kenaikannya, ia tidak membeberkan formulasi penghitungan UMP 2025. Seperti diketahui, putusan MK membatalkan sejumlah norma dalam Undang-Undang Cipta Kerja mengenai pengupahan. Dengan demikian, formula lama yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tak berlaku.
Prabowo mengatakan ketentuan lebih rinci akan diatur melalui peraturan Menteri Ketenagakerjaan. Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli belum bisa memastikan kapan regulasi kenaikan UMP 2025 terbit. "Saya enggak bisa janjikan, ya. Mungkin sebelum Rabu (pekan depan) sudah keluar permenakernya," kata Yassierli di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 29 November 2024.
Keputusan pemerintah menaikkan UMP sebesar 6,5 persen ditentang kalangan pengusaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo mengatakan tak semua pelaku usaha mampu mengakomodasi kenaikan sebesar itu. "Imbasnya bisa ada efisiensi atau pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga penundaan investasi," kata Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam.
Bob juga mempertanyakan landasan pemerintah menetapkan kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5 persen. Karena itu, Apindo masih akan menunggu penjelasan pemerintah ihwal kalkulasi kenaikan biaya tenaga kerja dan biaya lain untuk kepastian usaha. Selain itu, Apindo menanti penjelasan bagaimana mengatasi kesenjangan upah antardaerah nantinya dengan adanya penetapan UMP tersebut.
Saat ini kondisi dunia usaha di Indonesia tengah terpuruk. Sektor industri di Indonesia kembali mengalami kontraksi pada November 2024 atau lima bulan beruntun. S&P Global mencatat Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada November 2024 berada di level 49,6. PMI di atas 50 menunjukkan fase ekspansi, sedangkan di bawah 50 menunjukkan kontraksi.
Menurut Economics Director S&P Global Market Intelligence Paul Smith, kinerja penjualan manufaktur Indonesia terus melemah, turun selama lima bulan berturut-turut hingga November. Hal ini membuat perusahaan berhati-hati dalam mempertimbangkan jumlah tenaga kerja, memilih tidak mengganti karyawan yang keluar, atau, dalam beberapa kasus, melakukan PHK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan angka PHK dalam tiga tahun terakhir meningkat. Pada Januari-Oktober 2022, terjadi 11 ribu PHK. Sedangkan pada Januari-Oktober 2023, tercatat 45 ribu PHK. Adapun dalam periode yang sama pada 2024, ada 64 ribu kasus PHK. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan membentuk satuan tugas untuk mengantisipasi PHK massal imbas kenaikan UMP sebesar 6,5 persen.
Juru bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief, mengatakan terjadinya kontraksi PMI manufaktur disebabkan oleh kebijakan ataupun regulasi yang dibuat pemerintah masih belum mendukung pertumbuhan industri dalam negeri. Padahal, kata Febri, dunia industri sangat membutuhkan regulasi yang memberikan dampak positif bagi sektor industri.
Febri mengatakan beberapa regulasi yang berlaku saat ini justru menghambat pertumbuhan sektor industri itu sendiri. Hal ini yang membuat skor PMI manufaktur Indonesia saat ini mengalami kontraksi karena adanya resiliensi industri manufaktur dalam negeri.
Menanggapi penolakan pengusaha soal kenaikan UMP 2025, pemerintah berjanji memberi insentif untuk membantu pelaku industri menghadapi kenaikan UMP. Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Eko Cahyanto menyatakan beberapa industri akan mendapat insentif agar tetap mampu menjaga kelanjutan bisnis.
Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kenaikan rata-rata upah minimum nasional (UMN) sebesar 6,5 persen untuk 2025 di Ruang Sidang Kabinet, Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Jumat, 29 November 2024. Presidenri.go.id
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko tidak merinci bentuk insentif yang bakal diberikan. Namun ia menyebutkan insentif yang diberikan kepada pengusaha nantinya bisa berupa kebijakan yang sudah ada ataupun kebijakan baru. Lewat insentif ini, pemerintah berharap tercipta ekuilibrium antara keberlangsungan bisnis industri dan kenaikan UMP. Karena itu, ia meminta pengusaha tetap mematuhi kenaikan upah minimum 6,5 persen.
Namun pengusaha menilai pemberian insentif tidak akan cukup membantu mereka menghadapi kenaikan UMP. "Kalau ibarat orang tenggelam, yang dibutuhkan bukan insentif, melainkan tali sebagai pegangan untuk bisa selamat," ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nurdin Setiawan.
Nurdin menjelaskan, kenaikan UMP dalam sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) meningkatkan biaya tenaga kerja, yang kemudian dibebankan pada harga bahan baku, seperti serat atau benang. Adapun di sektor tekstil, biaya tenaga kerja mencapai 15-18 persen. Kenaikan biaya ini pada akhirnya membuat harga produk di hilir meningkat secara signifikan sehingga berpotensi menurunkan daya saing produk di pasar domestik ataupun internasional.
Sementara itu, kebijakan pemberian insentif, menurut Nurdin, tidak menyelesaikan masalah tersebut. Pasalnya, insentif tak akan berdampak langsung pada harga pokok penjualan (HPP) sehingga tidak cukup menekan keuangan perusahaan.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia Redma Gita Wirawasta juga berpandangan pemberian insentif sering tak efektif dalam membantu pelaku usaha. Musababnya, perumusan insentif kerap dilakukan tanpa berdiskusi dengan pelaku usaha.
Redma mengusulkan insentif berupa pajak pertambahan nilai (PPN) dengan skema khusus untuk rantai nilai industri padat karya. Selain itu, ia menilai yang terpenting adalah pemerintah bisa memberikan jaminan pasar dalam negeri dengan mengendalikan produk impor. Beberapa langkah yang bisa diambil, antara lain, penyesuaian bea masuk agar produk impor tidak merugikan produk lokal, kebijakan kuota atau standar teknis produk impor, dan pemberantasan impor ilegal.
Redma menjelaskan bahwa kenaikan UMP di sektor tekstil akan menyebabkan kenaikan biaya produksi di setiap tahap. Di hulu, kenaikan UMP akan meningkatkan harga bahan baku. Kemudian diteruskan ke sektor antara, seperti pembuatan kain. Sektor antara, yang juga menghadapi biaya lebih tinggi karena kenaikan UMP dan harga bahan baku, akan menambah biaya tersebut pada produk yang akan diproses di sektor hilir. Akibatnya, harga produk akhir pun akan naik.
Karena itu, menurut dia, perlu ada insentif berupa pengurangan atau pembebasan PPN yang berlaku dari hulu hingga hilir. Alternatifnya, kata dia, pemberian bantuan dengan skema PPN final pada produk akhir yang dibeli oleh konsumen. Dengan insentif yang signifikan, dia berharap harga produk akhir bisa tetap kompetitif meski terjadi kenaikan biaya di sepanjang rantai produksi.
Sependapat dengan Redma, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira berpandangan alokasi insentif untuk membantu pengusaha kerap tidak efektif. Misalnya, insentif untuk penghiliran nikel dianggap tidak perlu karena sektor tersebut sudah cukup menguntungkan. Sebaliknya, insentif fiskal seharusnya diberikan kepada industri padat karya yang sedang menghadapi kebangkrutan dan banyak mengalami PHK massal.
Di sisi lain, ia berpendapat pemerintah semestinya menunda atau membatalkan kebijakan yang menambah beban ekonomi sebelum membahas insentif. Sejumlah kebijakan itu, antara lain, kenaikan PPN menjadi 12 persen, iuran BPJS Kesehatan, dan berbagai kewajiban lain, seperti iuran Tapera, asuransi wajib, serta dana pensiun wajib.
Menurut Bhima, kebijakan-kebijakan itu menambah tekanan bagi pekerja dan pengusaha karena berdampak langsung pada peningkatan pengeluaran bulanan serta biaya operasional. Kenaikan PPN memicu inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat sehingga kebijakan insentif akan menjadi kurang efektif jika kebijakan lain yang membebani tetap berjalan.
Ekonom Center of Reform on Economics, Yusuf Rendy Manilet, menilai rencana pemerintah memberikan insentif kepada pengusaha sudah tepat. Namun ia berpandangan kebijakan tersebut akan memiliki dampak berbeda pada sektor-sektor industri, bergantung pada kinerja dan daya saing masing-masing.
Sektor tekstil, kata dia, memang membutuhkan perhatian khusus karena masih menghadapi tantangan setelah masa pandemi, termasuk kehilangan daya saing. Untuk mendukung subsektor ini, ia menyarankan bantuan berupa insentif pajak, subsidi gas dan listrik, serta dukungan diplomasi pasar ekspor untuk membuka peluang di pasar internasional.
Yusuf pun menekankan efektivitas bantuan ini akan bergantung pada besaran dan bentuk bantuan yang diberikan. Jika dirancang dengan penghitungan yang tepat, bantuan ini dapat membantu industri yang tertekan untuk tetap kompetitif dan mengatasi dampak kenaikan biaya tenaga kerja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Daniel A. Fajri dan Vedro Immanuel G. berkontribusi dalam penulisan artikel ini