Penjualan saham pemerintah di Bank Mandiri ternyata tak semulus yang diperkirakan. Ada kerikil tajam yang cukup mengganggu proses penjualan saham bank terbesar di Indonesia ini. Nama Credit Suisse First Boston (CSFB) tiba-tiba menghilang dari daftar penjamin emisi (underwriter) dalam prospektus awal penjualan saham Bank Mandiri yang dirilis di berbagai media pada Selasa pekan lalu. Padahal, seharusnya Credit Suisse First Boston menjadi penjamin emisi bersama Danareksa Sekuritas dan ABN Amro Asia Securities Indonesia.
Rencananya, pemerintah akan melepas 10 persen (dua miliar lembar) sahamnya pada 14 Juli nanti. Penjamin emisi juga punya opsi pemesanan berlebih (greenshoe) sebanyak 700 juta lembar dan opsi penjatahan berlebih (redshoe) 300 juta lembar. Kedua opsi ini akan dilaksanakan jika pasar menyerap dengan baik penawaran perdana. Harga saham memang belum ditentukan, tapi pemerintah mengindikasikan akan menjual Mandiri dengan harga 0,9-1,1 nilai buku atau Rp 569-695 per lembar. Kalau saham Mandiri bisa laku tiga miliar lembar, pemerintah akan mengantongi sekitar Rp 2,1 triliun dan saham pemerintah akan berkurang menjadi 85 persen. Namun, urusan Credit Suisse bisa menjadi pengganggu.
Bisik-bisik pun bergema di antara para tamu yang menghadiri paparan publik Bank Mandiri yang berlangsung Rabu pekan lalu di Jakarta. Apalagi, dalam acara tersebut, petinggi Credit Suisse tidak duduk di depan bersama direksi Bank Mandiri. Tebaran senyum Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi tak mampu melelehkan tanda tanya di kalangan bisnis keuangan mengenai hilangnya nama Credit Suisse. Maklumlah, ketika mengumumkan rencana go public Bank Mandiri pada April 2001, Kementerian BUMN dan Bank Mandiri telah menunjuk CSFB sebagai penjamin emisi. Beberapa bulan kemudian Danareksa dan ABN Amro baru ditunjuk sebagai pendamping.
Sampai paparan publik berakhir, tak ada penjelasan apa pun mengenai hal itu. Laksamana dan Neloe sama sekali tidak menyinggung soal perubahan yang cukup signifikan tersebut. Akhirnya TEMPO menemukan potongan-potongan cerita tentang hilangnya nama Credit Suisse. Dalam sebuah rapat yang berlangsung Senin pekan lalu di Shangri-La, petinggi Credit Suisse memang menolak meneken perjanjian penjaminan (underwriting agreement). ”Credit Suisse cuma mau meneken perjanjian sebagai agen penjual (subscription agreement),” kata sumber TEMPO yang mengikuti perkembangan penjualan saham Bank Mandiri.
Rupanya penolakan ini merupakan buntut dari peristiwa pada 27 Mei silam. Ketika itu, manajemen Credit Suisse bersama Bank Mandiri mengajukan usul ke Kementerian Negara BUMN agar emisi saham Bank Mandiri dibarengi dengan penerbitan obligasi konversi (convertible bond) senilai Rp 700 miliar. Sumber tersebut menceritakan bahwa CSFB sudah mengemukakan niatnya untuk mengurus emisi surat utang yang kelak bisa ditukar dengan saham itu, sementara urusan initial public offering (IPO) Bank Mandiri senilai Rp 1,3 triliun diserahkan ke Danareksa dan ABN Amro.
Usul itu kontan ditolak oleh Danareksa dan ABN Amro. Selain di luar skenario, obligasi berbunga tinggi bisa mengganggu proses penjualan saham Mandiri. Kementerian BUMN juga menolak usul tersebut dalam rapat umum pemegang saham luar biasa yang berlangsung pada Kamis dua pekan silam. Sumber TEMPO menduga, CSFB sengaja mengusulkan hal itu karena perusahaan yang berbasis di Swiss ini memang dikenal jagoan dalam penerbitan obligasi. Hampir semua obligasi dengan nominal besar di Indonesia ditangani Credit Suisse, seperti obligasi Indofood senilai US$ 260 juta. Sebaliknya, kata sumber tadi, dalam soal penerbitan saham, Credit Suisse memang tak setangguh para pesaingnya.
Salah satu indikasinya adalah gagalnya penjualan saham Indosat pada Juni 2001. Pada saat itu, Danareksa dan CSFB menjadi penjamin emisinya. Penjualan gagal karena pemerintah menargetkan 11,3 persen, yang bisa diserap pasar ternyata cuma 8 persen. Mungkin saja gara-gara kasus Indosat itulah, CSFB agak gamang menangani penjualan saham Mandiri. Apalagi total penjualan saham Mandiri bisa mencapai Rp 2,1 triliun. Dengan pola komitmen penuh, penjamin emisi memang harus menyerap semua saham bila ada yang tak laku dijual.
Dan sampai pekan lalu, baru 15 persen saham yang diambil oleh sindikasi penjual, sisanya mestinya dibagi tiga antara Credit Suisse, Danareksa, dan ABN Amro. Namun, karena CSFB tak bersedia menjadi penjamin emisi, semua saham tersisa bakal menjadi tanggungan Danareksa dan ABN Amro. Neloe sendiri menganggap sepi penolakan CSFB. Meskipun Credit Suisse menolak meneken perjanjian penjaminan, toh lembaga keuangan ini—yang beberapa waktu lalu gagal mendapatkan Bank Danamon—masih terikat joint global coordinating agreement. ”Di situ tegas dinyatakan bahwa mereka masing-masing bertanggung jawab atas sepertiga saham yang dijual,” kata Neloe.
Sayangnya, tak sepatah kata pun keluar dari mulut Helman Sitohang, Presiden Direktur CSFB Indonesia. Berkali-kali, ketika ditanya mengenai berbagai soal yang berkaitan dengan penjualan saham Bank Mandiri, Helman selalu mengatakan, ”No comment.”
Bisa jadi, hilangnya nama Credit Suisse tak akan mengganggu penjualan saham Bank Mandiri. Toh, untuk urusan investor asing sudah ada ABN Amro yang juga cukup dikenal di kalangan investor luar negeri. Kendati demikian, tak bisa dimungkiri bahwa mundurnya Credit Suisse First Boston tetap menyisakan tanda tanya: apakah Danareksa dan ABN Amro bakal mampu menutup saham yang tak terbeli? Sumber Tempo menyangsikannya. Menurut dia, dana tunai yang dimiliki Danareksa tak lebih dari Rp 200 miliar. Sedangkan ABN Amro tak bersedia menjawab soal itu.
Namun semuanya memang terpulang ke saham Bank Mandiri sendiri. Jika kinerja Bank Mandiri memang oke, tak masalah dengan apakah penjamin emisinya punya duit atau tidak. Tapi, paling tidak, mundurnya Credit Suisse First Boston sudah menciptakan tanda tanya besar.
Setri Yasra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini