Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Industri Padat Modal Dominasi Investasi Triwulan II 

Realisasi investasi pada triwulan II 2022 naik 7 persen. Dominasi sektor padat modal membuat penyerapan tenaga kerja rendah. 

21 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja memotong lempengan baja panas di pabrik pembuatan hot rolled coil (HRC) PT Krakatau Steel (Persero) Tbk di Cilegon, Banten. ANTARA/Asep Fathulrahman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Menteri Investasi Bahlil Lahadalia melaporkan peningkatan realisasi investasi sepanjang triwulan II 2022. Pada periode April-Juni tahun ini, total investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) mencapai Rp 302,2 triliun, atau naik 7 persen dibanding pada triwulan I 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara kumulatif, investasi sepanjang Januari-Juni 2022 sebesar Rp 584,6 triliun atau meningkat 32 persen dibanding periode yang sama pada 2021. Walhasil, realisasi investasi sementara pada 2022 sebanyak 48,7 persen dari target Presiden Joko Widodo yang sebesar Rp 1.200 triliun. Bahlil optimistis sisa 51,3 persen target dapat dicapai pada akhir 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Bahlil, investor saat ini lebih banyak mengincar sektor produktif ketimbang jasa. Pertumbuhan pesat terjadi pada investasi industri logam dasar, barang logam, serta bukan mesin dan peralatannya sebesar Rp 48,2 triliun; industri pertambangan Rp 33 triliun; perumahan, kawasan industri, dan kantor Rp 26,7 triliun; transportasi, gudang, dan telekomunikasi Rp 25,6 triliun; serta industri makanan Rp 22,4 triliun.

Pekerja mengawasi proses produksi lempengan baja panas di pabrik pembuatan hot rolled coil (HRC) PT Krakatau Steel (Persero) Tbk di Cilegon, Banten. ANTARA/Asep Fathulrahman

Penyerapan Tenaga Kerja Rendah

Bahlil mengakui bahwa dominasi investasi pada sektor produktif yang padat modal mendatangkan konsekuensi negatif bagi penyerapan tenaga kerja. Menurut dia, penyerapan tenaga kerja selama triwulan II hanya meningkat 2,8 persen secara tahunan dengan total 320.534 orang. Anomali itu terjadi lantaran banyaknya jumlah investasi padat modal. “Mereka membeli mesin-mesin, sementara lapangan kerja yang merakit mesin itu tidak banyak,” ujarnya, kemarin.

Sebagai solusi atas persoalan tersebut, Bahlil berjanji akan meningkatkan investasi yang memanfaatkan lebih banyak sumber daya manusia. “Kami meminta pengusaha memakai orang, meski memang tidak efisien kecepatan produksinya,” ucapnya. Ia mengimbuhkan, jika beroperasi dengan baik,  industri padat modal dalam jangka panjang juga akan membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak lagi.

Adapun dari sisi sebaran investasi, Bahlil menambahkan, lokasi PMDN dan PMA sudah cukup merata, yakni 52 persen di Pulau Jawa dan 48 persen di luar Pulau Jawa. “Pemerintah menginginkan adanya keseimbangan. Karena itu, akan disiasati kebijakan-kebijakan yang Indonesia-sentris, tidak mementingkan Pulau Jawa saja,” dia menuturkan.

Langkah untuk Mencapai Target

Bahlil menyebutkan ada beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan realisasi investasi. Salah satunya menyetop ekspor barang mentah. Kebijakan ini diharapkan menambah nilai barang jadi dari Indonesia.

Penghiliran, ia berpendapat, menjadi penting karena tidak hanya berpotensi mendorong investasi asing pada pabrik-pabrik peleburan atau smelter, tapi juga akan membuka lapangan kerja di sektor padat karya. Bahlil memproyeksikan penghiliran investasi akan terwujud pada 2025 atau 2026.

Strategi berikutnya untuk menggenjot realisasi investasi, Bahlil menambahkan, adalah membangun kepercayaan dunia. Caranya, pemerintah menekankan prinsip-prinsip nonblok dalam menjalin komunikasi politik antarnegara. “Prinsip itu berarti Indonesia tidak dapat diintervensi oleh negara mana pun serta memiliki demokrasi ekonomi. Harapannya, kita akan dinilai sebagai negara yang aman untuk menanamkan modal.”

Kemudian Bahlil juga ingin Indonesia dikenal sebagai negara dengan industri yang ramah lingkungan. Ia beralasan, dunia saat ini cenderung memilih produk-produk dari industri pengguna energi baru dan terbarukan (EBT) yang juga memiliki harga lebih tinggi.

Peneliti ekonomi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fajar Wirawan, menyampaikan, pemerintah harus mempertahankan stabilitas politik dan ekonomi, khususnya di tengah ancaman resesi dunia. Ia menambahkan, implementasi Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi bagian dari reformasi struktural juga harus segera dituntaskan. “Namun, yang lebih penting lagi, investasi bukan hanya soal kuantitas atau nominal investasi, melainkan kualitas investasinya,” tutur Fajar.

Selain itu, menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, pemerintah perlu menaruh perhatian pada investasi menengah-bawah. Dia menjelaskan, strategi itu akan memaksimalkan potensi investasi dalam negeri. Ditambah lagi jumlahnya terbilang banyak dan sifatnya lebih dekat dengan kebutuhan masyarakat menengah ke bawah.

Faisal mengungkapkan, dengan adanya industri logam dasar yang berpotensi mengarah ke industri listrik, pemerintah perlu merespons keluhan dan hambatan yang dialami para pelaku industri tersebut, yakni produktivitas tenaga kerja dan inefisiensi logistik. “Kalau investor melihat ada perubahan, ada respons pemerintah, mereka akan semakin optimistis berinvestasi di Indonesia,” ujarnya.

Di sisi lain, Vice Director Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, khawatir akan risiko penurunan ekonomi global pada triwulan III dan IV akibat inflasi energi dan pangan. “Saat daya beli masyarakat internasional turun, ada risiko investasi asing akan menurun,” katanya. Untuk mengatasi hal tersebut, Eko meminta pemerintah menjaga pencapaian target-target makro agar menjadi pemanis bagi investor serta membidik investor dari negara-negara yang tidak terkena dampak resesi.

Investasi di IKN

Menteri Bahlil menuturkan, di samping sektor-sektor produktif dan jasa, investor asing sedang melirik proyek-proyek infrastruktur dasar di ibu kota negara (IKN) Nusantara. Menurut dia, sudah ada beberapa investor asal Uni Emirat Arab, Korea Selatan, Taiwan, dan Cina yang menyampaikan minatnya. Bahlil mengklaim negara-negara tersebut tertarik menanamkan modal untuk proyek IKN karena desainnya yang ramah lingkungan dan berteknologi tinggi.

“Sektor yang hendak mereka masuki bukan hanya properti IKN. Mereka juga mau membuat proyek sumber daya alam, contohnya di KIPI (Kalimantan Industrial Park Indonesia), dengan total investasi mencapai US$ 130 miliar (sekitar Rp 1.497 triliun),” tutur Bahlil.

NATHANIA S. ALEXANDRA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus