Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pilihan sulit bagi bank sentral sedunia pada 2022.
Pakem yang tak mungkin dilawan untuk meredam inflasi.
Banyak pertanda inflasi tinggi bakal tiba di Indonesia.
SELAMAT datang di tahun inflasi. Memasuki 2022, pertempuran melawan inflasi akan menjadi narasi penting yang bakal menentukan pergerakan pasar global. Bagaimana bank-bank sentral di seluruh dunia harus menjinakkan inflasi, sementara ekonomi masih terseok-seok berusaha pulih dari belitan pandemi Covid-19?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan ini merupakan episode lanjutan tahun lalu, 2021. Kala itu, ada satu kata yang begitu mendominasi perbincangan di pasar finansial global: transitory. Kurang-lebih artinya sekadar lewat, tidak bertahan lama. Itulah gambaran Ketua The Federal Reserve Jay Powell tentang inflasi di Amerika Serikat, yang kenyataannya terus merangkak naik sepanjang 2021. Pada akhir November 2021, inflasi tahunan di Amerika bahkan mencapai 6,8 persen, tertinggi dalam 30 tahun terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang pengujung 2021, persisnya pada 30 November, Powell akhirnya harus mengubah pandangannya terhadap inflasi, yang tak hanya naik, tapi sepertinya juga akan bertahan lama. “Saya kira ini mungkin waktu yang tepat untuk memensiunkan kata itu,” tutur Powell saat memberi testimoni di depan Senat Amerika.
The Fed lantas menindaklanjuti pernyataan Powell ini dengan menetapkan rencana perubahan kebijakan moneter dalam pertemuan rutin pada pertengahan Desember 2021. The Fed berencana menghentikan suntikan likuiditas pada Maret nanti, juga menaikkan bunga tiga kali hingga akhir 2022. Respons kebijakan ini tentu akan menimbulkan reperkusi yang sangat luas ke pasar finansial.
Pertaruhannya, apakah inflasi akan benar-benar mereda? Banyak analis menghitung, jika The Fed baru menghentikan suntikan likuiditas dan menaikkan bunga per Maret, dampaknya pada inflasi baru benar-benar mulai terasa pada kuartal kedua 2022 atau bahkan pada semester kedua. Ini tentu mencemaskan karena inflasi punya dampak amat buruk pada ekonomi. Inflasi menggerus daya beli konsumen, yang pada gilirannya menurunkan permintaan secara keseluruhan. Ini mengancam upaya pemulihan.
Inflasi yang menanjak tentu juga memaksa banyak negara menaikkan suku bunga. Dalam hal bunga, negara-negara berkembang bergerak lebih cepat ketimbang bank-bank sentral negara maju. Menurut data Bloomberg, selama 2021, setidaknya ada 23 negara berkembang yang terpaksa menaikkan bunga.
Langkah bank sentral menaikkan bunga rujukan memang respons kebijakan yang ortodoks dalam melawan inflasi. Jika ada negara yang mencoba-coba melawan pakem ini, seperti Turki, ekonominya bakal porak-poranda. Di tengah inflasi yang mencapai 21,3 persen, Presiden Recep Tayyip Erdoğan malah memaksa suku bunga turun. Hasilnya, nilai lira Turki merosot. Ekonomi Turki sedang berada di ambang jurang krisis yang bisa membangkrutkan pemerintah.
Beruntung, Indonesia masih menikmati inflasi rendah selama 2021. Inflasi tahunan cuma 1,75 persen per November 2021. Inflasi serendah ini seharusnya memungkinkan bagi Bank Indonesia untuk menurunkan bunga. Namun anggaran pemerintah terbebani defisit besar. Untuk menutupnya, pemerintah harus menjual obligasi hingga senilai Rp 1.000 triliun dalam setahun. Jika bunga turun, obligasi itu bisa tak laku di pasar.
Pasar global yang sedang bergejolak juga membuat penurunan bunga oleh Bank Indonesia berisiko memicu pelarian modal. Dana asing di sini, yang tertarik pada bunga tinggi, akan kabur mencari imbal hasil yang lebih besar. Maka, meski inflasi di Indonesia rendah dalam dua tahun terakhir, BI tak dapat memanfaatkan momentum itu untuk menurunkan bunga,
Dan untuk 2022, situasi akan sangat berbeda. Besar kemungkinan badai inflasi juga akan menyentuh Indonesia. Pertandanya sudah tampak. Harga elpiji nonsubsidi sudah naik di ujung tahun. Pertamina juga akan menghentikan penjualan Pertalite dan Premium, menyisakan Pertamax dan Pertamax Turbo yang harganya mahal.
Kenaikan harga energi akan memicu inflasi. Harga komoditas pangan juga mulai menggeliat, dengan lonjakan harga telur. Harga barang-barang konsumsi impor pun melonjak sejalan dengan tingginya inflasi di seluruh dunia.
Jika kecenderungan ini tak berubah, pada suatu titik BI tentu tak mungkin berkeras menahan tingkat bunga acuan yang harus naik. Terlebih jika bunga The Fed sudah naik. Tahun baru akan datang bersama masalah tahun lalu yang berlanjut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo