Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Arus deras yang tersumbat

Tata niaga cengkeh yang diterapkan sejak 1 januari 1991 belum berjalan sebagaimana mestinya. penda- patan petani menurun, cengkeh pun sulit dijual. sebab-sebab jatuhnya harga cengkeh.

31 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tata niaga cengkeh sudah delapan bulan digulirkan. Hasilnya belum nyata. Pendapatan petani merosot, cengkeh pun tak laku dijual. ZAMAN orang Sulawesi merantau ke Jawa dengan bekal 20-30 kg cengkeh sudah lama lewat. Kini jangankan menjual ke Jawa, menjual di kampung sendiri belum tentu berhasil. Kemunduran bisnis ini langsung dikaitkan orang dengan tata niaga cengkeh yang diterapkan Menteri Perdagangan sejak 1 Januari 1991. Memang, tata niaga itu dibuat untuk meningkatkan pendapatan petani cengkeh. Namun, yang terjadi sebaliknya. Tata niaga itu justru mendaratkan pukulan berat bagi ekonomi para petani. Dan hal ini diakui oleh Menteri Perdagangan Arifin Siregar. "Kami sadar, ada kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan tata niaga cengkeh. Itu akan diperbaiki," katanya dalam safari cengkeh di Sulawesi Utara, pekan lalu. Tampaknya, mekanisme tata niaga itu belum menggelinding sebagaimana mestinya. Keadaan semakin runyam, karena beredarnya selentingan mengenai permainan oknum-oknum KUD dan sepak terjang oknum BPPC. "Cabang agen BPPC di sini perlu ditambah," tutur Menteri lagi. "Pembelian dari KUD harus segera. Segera. Segera. Lelang juga tak perlu berjadwal. Begitu KUD datang membawa, harus langsung dibeli BPPC." Penegasan Menteri, konon, karena agen BPPC di Sulawesi Utara, CV Hunapama, telah menganakemaskan KUD Inspirasi. "Masa, dalam satu putaran lelang, KUD itu bisa 20 kali mendapat giliran, sementara yang lain baru sekali," kata sumber TEMPO. Peluang bermain curang juga ditemukan di Sulawesi Tengah. Di daerah yang menyimpan banyak masalah ini, BPPC telah menjalin kerja sama dengan sejumlah pedagang dan KUD. Adalah PT Kertaniaga yang ditunjuk sebagai cabang BPPC untuk Sulawesi Tengah (dan Bali). Entah apa alasannya, kini Kertaniaga tidak mau berurusan langsung dengan KUD. Pimpinan Kertaniaga cabang Palu, Achmad Suchaemy, kabarnya dikejar-kejar. Antara lain, karena 20 ton cengkeh yang dibeli di Tolitoli pada Juni lalu belum dibayar lunas. Padahal, sebagian cengkeh itu milik (bekas) pejabat. Anehnya, Suchaemy tutup mulut. "Semua ketentuan tentang tata niaga kan sudah jelas. Kami hanya ingin mengawasi bagaimana pelaksanaannya," kata Kepala Kertaniaga Cabang Palu, yang kebetulan ditemui TEMPO sedang memantau pelaksanaan lelang cengkeh di gedung olahraga pemuda Tolitoli. Untuk membeli cengkeh dari KUD, BPPC Cabang Palu telah menunjuk sejumlah pedagang pengumpul. Untuk Kabupaten Buol-Tolitoli (kapasitas produksinya sekitar 5.000 ton setahun), PT Kertaniaga menunjuk lima perusahaan pengumpul. Sedangkan untuk Kabupaten Palu-Donggala, ditunjuk CV Bintang Utara dan CV Tinombala. Di Kabupaten Palu-Donggala, terdengar juga adanya permainan. CV Bintang Utara dan CV Tinombala Agro Perkasa baru melakukan lelang pembelian cengkeh dari 18 KUD pada 2-14 Agustus lalu. Dalam lelang putaran pertama itu, kedua agen BPPC ini konon sudah menimbun stok 350 ton di Donggala. Padahal, stok yang ada di tangan semua KUD Donggala cuma 106 ton. Berarti, ada 250 ton yang sudah dibeli dari pedagang atau langsung dari petani. Hal serupa terjadi juga di Tolitoli. Pedagang yang ditunjuk sebagai pengumpul ternyata sudah memiliki stok cengkeh yang dibeli dari petani. CV Handayani Sulawesi Utama, misalnya, sudah menumpuk 1.500 ton. "Itu saya beli dengan izin Pak Bupati. Kalau tidak saya beli, bagaimana petani bisa makan?" kata Rustam Donggio, Direktur CV Handayani. Menurut Rustam, perusahaannyalah yang mengangkat harga cengkeh di Tolitoli. "Tadinya, toko-toko nonpri, seperti (agen) Bentoel, membeli dengan harga Rp 3.500. Begitu saya pasang harga Rp 3.900, Bentoel menaikkan menjadi Rp 4.100," katanya. Yang dimaksud Rustam adalah PT Indonesia Jaya (distributor rokok kretek Bentoel), yang telah mendirikan PT Maleo Tolitoli. Menurut Kepala Kantor Departemen Perdagangan Tolitoli, Mohd. Assad, kedua perusahaan ini saja sudah menguasai stok cengkeh 3.200 ton hasil panen 1991. Tak jelas, apakah cengkeh mereka harus dilelang kembali lewat KUD atau langsung dianggap milik BPPC. Soalnya, jika dilelang lewat KUD, bisa dipastikan harga minimal Rp 7.000 per kg. Sedangkan kalau masuk stok BPPC, tentu akan dijual dengan harga di atas Rp 11.000. Lumayan, memang. "Tapi Anda harus bertanya juga berapa beban bunga. Setiap bulan harus membayar bunga Rp 140 juta, sementara modal saya Rp 7 milyar macet," kata Rustam. Untuk mengharapkan pencairan dana dari BPPC, agaknya dibutuhkan kesabaran, kalau perlu sampai pabrik-pabrik rokok membeli dari BPPC. Moh. Assad mempunyai data, bahwa dari 5.000 ton cengkeh produksi tahun 1991, baru 360 ton yang diserap KUD. Tersisa 1.000 ton di tangan petani, sementara 3.800 ton sudah berada di tangan pedagang. "Di sini ada 60 pedagang cengkeh, tapi dua perusahaan menguasai 3.200 ton," kata Assad, terkekeh. Yang ditertawakannya tentulah kebocoran ke pedagang, yang secara tak langsung membobolkan tata niaga cengkeh. "Hal ini perlu diselesaikan oleh tingkat pusat. Sebab, kalau pedagang tidak menampung, petani juga susah," ujar Bupati Dede Hatta Permana. Kota Tolitoli, yang berpenduduk 300.000 jiwa, memiliki 12 juta pohon cengkeh yang ditanam rapi di bukit-bukit sekeliling kota. Setiap kepala keluarga, termasuk keturunan nonpri, memiliki sekurang-kurangnya 300 batang pohon cengkeh yang rata-rata menghasilkan 2 kg cengkeh kering. Tak heran bila petani cengkeh Tolitoli, yang bergiat juga sebagai nelayan, umumnya mampu membangun rumah bagus. Bahkan ada yang sudah naik haji. Dan ini wajar, karena tiap tahun Tolitoli kejatuhan rezeki cengkeh senilai Rp 20 milyar. Dan setiap kali ada rezeki cengkeh, dalam sekejap langsung disedot oleh kapal-kapal penumpang Pelni. "Kalau kapal Kerinci datang kemari, 1.000 orang pergi jalan-jalan dengan mengantungi Rp 3 juta, maka artinya Rp 3 milyar yang keluar dari sini," kata Kepala DPRD Buol Tolitoli, Hidayat. Tapi tahun ini bukanlah tahun hura-hura bagi warga Tolitoli. Banyak yang kaget begitu cengkeh diperlakukan sebagai komoditi yang diawasi dan hanya bisa dijual oleh petani lewat KUD. Hanya, mungkin tidak semua memahami, justru tata niaga inilah yang secara tak langsung menjatuhkan pendapatan petani Tolitoli. Seperti diketahui, SK Menteri Perdagangan No. 306 itu diberlakukan sejak 1 Januari 1991. Padahal, musim panen cengkeh di sini sudah terjadi November dan Desember tahun silam. Jadi, lebih cepat. "Akibat dari ketentuan itu, arus perdagangan cengkeh di sini bagaikan arus deras yang kena sumbat," kata M. Assad. Cengkeh yang biasanya langsung dijual ke pedagang kini hanya bisa dijual ke KUD. Kredit Rp 500 juta yang diturunkan BRI pada bulan Desember untuk KUD-KUD di Tolitoli rupanya jauh dari memadai. Sialnya, pedagang perantara yang dulu bisa mengantar-pulaukan cengkeh ke Jawa juga kehabisan modal. Hal ini dialami oleh tauke Suyitno Gunawan, bos PT Gunung Galang yang dikenal sebagai salah satu pedagang cengkeh antarpulau di Tolitoli. Sampai Agustus 1991, PT Gunung Galang masih memegang stok 2.140 ton yang dibelinya dari petani tahun lalu. "Stok ini sudah masuk stok BPPC. Tapi sampai sekarang masih ada pada saya," kata Gunawan kepada TEMPO. "Modal saya untuk itu Rp 16 milyar. Sehingga, setiap bulan saya harus membayar bunga Rp 300 juta," ujarnya, tertahan. Sampai-sampai para pedagang -- yang umumnya nonpri -- nyaris dikeroyok masyarakat di Tolitoli pada 14 April 1991 (dua hari sebelum Lebaran). Dalam suasana panas, Bupati Dede lalu mengambil kebijaksanaan. Pedagang diizinkan membeli cengkeh, asalkan dengan harga minimal Rp 5.000. Kenyataannya, para pedagang hanya berani membeli dengan harga Rp 3.700. Dan harga ini tersangkut di situ sampai sekarang. Pada bulan Mei, BRI memang menurunkan kredit likuiditas kepada KUD-KUD. Menurut Kepala BRI Cabang Palu Soekarno Marzuki, kredit cengkeh yang telah dicairkan berjumlah Rp 2,375 milyar, di antaranya Rp 1,4 milyar untuk Tolitoli. Sedangkan kredit cengkeh untuk Sulawesi Utara, menurut Kepala BRI Cabang Manado Soesilo Oetomo, berjumlah Rp 6,118 milyar (April-Agustus 1991). Tapi, jumlah tersebut jauh dari memadai. KUD-KUD di Sulawesi Utara hanya bisa menyerap cengkeh 5.300 ton. Sedangkan di Sulawesi Tengah, hanya terserap 572 ton (358 ton khusus Tolitoli). Karena BPPC lambat membeli dari KUD, dana tersebut praktis macet. Padahal, KUD-KUD diharuskan membayar bunga 1,41% per bulan. "Kami menerima kredit Rp 30 juta. Pada bulan Mei, kami membayar bunga Rp 158.000 (karena kredit turun 13 Mei). Pada April dan Juni, kami juga sudah membayar bunga Rp 425.000 kepada BRI," tutur Ny. Nurfin, manajer KUD Manonda Makmur di Palu. Koperasi itu terpaksa memecah celengannya dulu, karena baru 9 Agustus, BPPC membeli stoknya yang sembilan ton. Sesudah begitu terlambat, BPPC akhirnya aktif membeli cengkeh dari KUD sejak Agustus ini. Dan mekanisme ini, dijanjikan oleh Ketua Harian BPPC, Tonny Herdyanto, akan lebih lancar tahun depan. Bahkan Arifin Siregar memastikan bahwa tata niaga cengkeh tidak akan ditarik kembali. "Jangan kita lupa bahwa harga pernah anjlok sampai Rp 1.500 per kg, karena pembelinya hanya tiga pabrik (rokok kretek) yang seenaknya mempermainkan harga," Menteri Perdagangan ini menegaskan. Sistem tata niaga cengkeh tampaknya mirip perdagangan gandum di Australia. Di sana, petani hanya menjual gandumnya kepada koperasi yang bernaung di bawah Australian Wheat Board (AWB). Merupakan suatu koperasi raksasa, kini, AWB memiliki penampung gandum, penggilingan, sampai pelabuhan. Mungkinkah BPPC kelak melahirkan KUD raksasa juga? Itulah mungkin yang diharapkan petani cengkeh. Hanya satu hal perlu dicamkan. AWB menjadi besar, tapi mengembalikan keuntungan kepada para petani. Di pihak lain, BPPC sepenuhnya berorientasi laba. Max Wangkar Sebab-sebab jatuhnya harga cengkeh: 1. Tata niaga cengkeh diterapkan terlalu cepat, sedangkan aparat pelaksana belum siap. 2. Petani cengkeh belum semua menjadi anggota KUD. 3. Dana KUD sangat terbatas. 4. Kredit BRI juga terbatas. 5. Pengujian mutu oleh Sucofindo makan waktu. 6. BPPC belum siap karena: - Sampai April, masih repot mencari modal. - Cabang di daerah baru terbentuk pada bulan Mei. - Aktif membeli dari KUD baru pada bulan Agustus. 7. Sementara itu, petani membutuhkan uang tunai secepatnya. Mereka juga enggan mengikuti kerepotan administrasi, takut pada pungutan-pungutan, dan lebih gampang lari ke pedagang. 8. Masih banyak pedagang mau berspekulasi cengkeh. Sebagian dari mereka diduga menjalin hubungan dengan oknum-oknum pejabat, KUD, dan BPPC.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus