Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjuangan mantan jenderal Prabowo Subianto dan Luhut Panjaitan mempertahankan PT Kiani Kertas masih jauh dari garis finish.
Rencana mereka menggandeng mitra dari Singapura, yang dirintis sejak tahun lalu, dipastikan Luhut telah menumbuk jalan buntu. "Ada ketidaksesuaian bisnis," ujar Luhut, Komisaris Kiani, seperti dikutip Koran Tempo.
Prabowo, sang direktur utama, menjelaskan ketidakcocokan itu meletik karena investor menawar terlalu murah. Toh, Prabowo dan Luhut tak surut harapan. Satu calon hilang, tiga nama terbilang. Luhut menyebut Kiani saat ini dilirik oleh tiga calon investor baru, masing-masing dari Australia, Inggris, dan Uni Emirat Arab. "Calon dari Australia yang paling serius," tutur Luhut tegas.
Tapi, jadi-tidaknya baru bisa dipastikan dua pekan mendatang saat uji tuntas atas Kiani oleh calon investor selesai. Keberadaan investor baru merupakan keniscayaan bagi kelompok Nusantara, bendera yang diusung Prabowo dan Luhut cs, agar dapat membereskan kemelut keuangan Kiani.
Sebab, upaya mereka mencari pinjaman dari bank juga mentok. "Sebetulnya kami pantas dapat kredit dari bank pemerintah. Tapi tak tahulah, sampai sekarang sulit," keluh Prabowo di Semarang, Sabtu pagi, di sela-sela jadwalnya yang padat sebagai juru kampanye Partai Golkar.
Menoleh ke dua tahun silam, Nusantara menguasai Kiani—yang memiliki pabrik pulp di Berau, Kalimantan Timur —setelah membeli piutang Kiani dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Hak tagih sekitar Rp 8 triliun ditebus Nusantara seharga Rp 1,76 triliun (atau setara US$ 200 juta saat itu).
Dana pengambilalihan ditanggung bersama oleh Mandiri dan Nusantara. "Kami setor US$ 30 juta," ucap Luhut.
Hubungan mesra Nusantara-Mandiri mulai goyah tahun silam. Pemicunya, bank pelat merah yang menjadi tumpuan satu-satunya Nusantara untuk mendapat modal kerja tersebut kepentok aturan Bank Indonesia tentang batas pengucuran pinjaman. Kiani pun mulai terbatuk-batuk. "Mandiri ngomong tidak bisa memberi kredit di pertengahan tahun 2003," ucap Luhut.
Opsi mencari mitra baru pun ditoleh. Sial bagi Prabowo cs, pencarian belum membuahkan hasil hingga kini. Kegagalan itu memperuncing hubungan Nusantara dengan Mandiri. Sumber TEMPO menyebut duet purnawirawan tersebut meradang mendengar usulan Mandiri agar Kiani dijual ke pihak ketiga.
Pilihan pahit itu diusulkan Mandiri agar terhindar dari keharusan menanggung pencadangan kredit. Seperti diketahui, BI hanya memberi tenggang waktu satu tahun bagi bank untuk merestrukturisasi aset kredit yang dibeli dari BPPN. Bagi Kiani, tenggatnya telah terlewati November silam. Dan buku Mandiri mau tak mau harus dibebani oleh biaya pencadangan kredit Kiani.
Sebenarnya bagaimana, sih, kesepakatan mereka saat mengambil alih Kiani? Sayangnya, baik Nusantara ataupun Mandiri enggan bertutur panjang. Luhut hanya sempat mengaku bahwa mereka salah berhitung. "Asumsi kapasitas produksi dan harga pulp yang dipakai terlalu optimistis," ujarnya.
Pihak Mandiri, yang telah dua kali dimintai penjelasan, pekan lalu dan akhir tahun silam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Seorang pejabat bank tersebut hanya menyebut Mandiri masih mengharapkan ada investor baru yang masuk Kiani. "Minggu ini tidak akan ada jawaban resmi apa pun karena Mandiri masih menunggu."
Seorang sumber TEMPO di perusahaan keuangan asing menyebut investor baru akan menjadi "Godot" bagi Kiani jika tidak ada kebijakan khusus dari kreditor. "Kiani perlu haircut (potongan utang) karena masih dibelit persoalan kapasitas produksi."
Luhut menyebut bahwa produksi tahunan Kiani memang tak pernah melampaui angka 400 ribu ton, jauh di bawah kapasitas normal pabrik yang seharusnya di atas 500 ribu ton per tahun.
Harga pulp di pasar dunia yang bergerak naik turun harus pula dihitung dalam mencari modal kerja yang pas buat Kiani. Bahkan saat harga pulp di atas US$ 300 pun, seperti yang berlaku hari-hari ini, Luhut mengakui kegiatan operasional Kiani masih tekor.
Namun, opsi potongan utang tampaknya belum terpikir oleh Mandiri. "Kami masih berusaha agar utang Kiani bisa tertagih," kata seorang pejabat Mandiri.
Kalau Mandiri dan Nusantara saling ngotot begini, jangan-jangan menanti investor akan seperti menunggu Godot bagi Kiani.
THW, Ecep S. Yasa (TNR), Setri Yasra (Koran Tempo), Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo