Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dicari: Kompetitor Pertamina

Pertamina kembali menaikkan harga gas rumah tangga (elpiji). Perusahaan minyak milik negara itu membutuhkan kompetisi.

22 Maret 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah ingar-bingar kampanye Pemilihan Umum 2004, Pertamina diam-diam memberikan hadiah mengejutkan. Harga gas untuk rumah tangga (liquefied petroleum gas atau elpiji) naik lima persen menjadi Rp 3.000 per kilogram. Kenaikan itu mulai berlaku Senin pekan lalu. Alasan Pertamina menaikkan harga elpiji ini tidak lain adalah untuk menutup kerugian akibat harga elpiji di pasar internasional naik dan untuk meningkatkan perolehan laba. Setelah ini, Pertamina masih akan menaikkan harga elpiji sekali lagi sampai bisa balik modal (break even point). Direktur Hilir PT Pertamina, Harry Poernomo, mengungkapkan bahwa harga elpiji di pasar internasional kini sudah menyentuh US$ 400 per metrik ton, jauh di atas harga tahun lalu, yang hanya US$ 270. Karena itu, kalaupun harga elpiji Pertamina dinaikkan, ini hanya untuk menekan kerugian dan belum menjadi laba bagi Pertamina. Berdasarkan perhitungan Pertamina, kenaikan tahap pertama itu akan menyebabkan subsidi Pertamina kepada konsumen elpiji turun menjadi Rp 150 miliar pada tahun ini. Sebaliknya, jika harga tidak dinaikkan, subsidi yang mesti ditanggung Pertamina mencapai tiga kali lipatnya. Tapi benarkah hanya karena itu Pertamina menaikkan harga elpiji? Penelusuran TEMPO menunjukkan bahwa subsidi bukanlah satu-satunya alasan Pertamina menaikkan harga gas yang kini penggunaannya sudah kian meluas itu. Ada penyebab lain yang tak diungkapkan Pertamina, yakni kerusakan Kilang Balongan. Salah satu dari tiga unit kilang pabrik penyulingan bahan bakar minyak milik Pertamina ini rusak pada Januari lalu. Padahal Pertamina baru saja melakukan overhaul (pemeliharaan) terhadap kilang yang terletak di Indramayu, Jawa Barat, ini pada September-Oktober silam. Akibat kerusakan itu, pasokan elpiji untuk DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat sebanyak 1.300 metrik ton terganggu. Inilah yang kemudian memicu kelangkaan elpiji di Bekasi dan Jakarta pada pertengahan Januari silam. Harga elpiji di beberapa wilayah juga sempat naik. Kerusakan ini baru bisa diperbaiki setelah 12 hari. ”Kerusakan Balongan menjadi alasan kuat Pertamina menaikkan harga elpiji karena Pertamina harus membeli elpiji yang harganya lebih mahal dari Singapura,” kata Sudaryatmo, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Harry menolak tudingan itu. Menurut Harry, tidak ada kesalahan manajemen Pertamina di balik kerusakan Kilang Balongan. ”Namanya kilang, ya, selalu saja ada gangguan. Seperti mobil, saya kira itu wajar,” kata Harry. Namun Harry mengakui, pada saat Balongan rusak, Pertamina tidak melakukan impor tambahan. Seharusnya, kata Harry, ketika Balongan tidak berproduksi, Pertamina menambah impor untuk menutup kekurangan produksi agar tidak terjadi kelangkaan pasokan elpiji. Namun, karena harga elpiji di pasar spot internasional sedang tinggi-tingginya, Pertamina tak melakukan penambahan. Pada saat itu, Pertamina hanya mengimpor 13 kargo setara 23.400 metrik ton. Impor sebesar itu rutin dilakukan untuk menjaga stok. Setiap hari, Pertamina mengimpor sekitar 20 persen dari total kebutuhan elpiji sekitar 1,2 juta ton. ”Nah, kalau kami menambah impor, kami bisa mendapatkan tambahan kerugian sampai Rp 50 miliar. Kami tak sanggup menanggungnya,” kata Harry. Ketika itu, harga elpiji di pasar Singapura mencapai US$ 430 per metrik ton. Kepala Humas Unit Pengolahan VI Balongan, Suwandi, menambahkan bahwa pada Oktober hingga awal Februari lalu Pertamina memang melakukan pembersihan di kilang-kilangnya. Otomatis, kilang Balongan tidak memproduksi segala jenis bahan bakar, termasuk elpiji. ”Setelah pembersihan itu, terjadi ketidaknormalan pada unit pengolahan residu atau residue catalytic cracker. Namun itu sama sekali tidak berpengaruh pada volume produksi kilang. Ketidaknormalan itu hanya menyebabkan residu yang akan diolah pada unit berikutnya semakin banyak,” ujarnya. Kendati demikian, Sudaryatmo tetap mempertanyakan niat Pertamina menaikkan harga elpiji. Menurut dia, kalau bisnis elpiji memang tidak lagi menguntungkan, Pertamina bisa saja meninggalkan bisnis ini dan menyerahkannya kembali kepada pemerintah. ”Pertamina kan sudah bertahun-tahun di bisnis ini. Mestinya mereka tahu kalau memang terus merugi,” katanya. Apalagi, pada saat menaikkan harga elpiji terakhir kalinya pada Agustus tahun lalu menjadi Rp 2.850 per kilogram, Pertamina sudah mengungkapkan bahwa ketika itu harga elpiji sudah mencapai titik impasnya. Tapi, kenyataannya, kini Pertamina kembali menaikkan harga dan ini juga bukan kenaikan yang terakhir. Pertamina masih akan menaikkan harga kendati waktu dan besarannya masih belum ditentukan. Tapi sumber TEMPO mengungkapkan bahwa kenaikan kedua mungkin akan dilakukan April mendatang. Dan mendengar pernyataan Harry soal masih besarnya subsidi Pertamina, agaknya Pertamina masih akan menaikkan harga elpiji pada masa-masa mendatang. Apalagi, kata Harry, Pertamina memang sedang berusaha mendorong harga elpiji di Tanah Air bisa setara dengan harga di pasar internasional, yang memang masih lebih tinggi (lihat tabel). Susahnya, konsumen selama ini memang tak punya banyak pilihan. Hingga kini, Pertamina masih menjadi satu-satunya pemain di bisnis elpiji. Dengan kondisi seperti itu, konsumen tak ubahnya kerbau yang dicocok hidungnya. Berapa pun harga yang ditawarkan Pertamina, konsumen tak bisa tidak terpaksa membelinya. Namun Direktur Pengolahan dan Pemasaran BBM Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Erie Soedarmo, mengembuskan informasi yang bakal melegakan. Erie mengatakan bahwa saat ini ada tiga investor yang sudah mendapatkan persetujuan prinsip untuk terjun ke bisnis elpiji. Tiga yang lain sedang antre untuk mendapatkan izin. Data Direktorat Pengolahan dan Pemasaran BBM Departemen Energi menyebutkan tiga perusahaan yang sudah berizin itu adalah PT Petronas Niaga Indonesia (Malaysia) dan dua perusahaan lokal, PT Bhakti Mingasutama dan PT Tiga Samudera Perkasa. Presiden Direktur PT Bhakti Mingasutama, Johanes Jani Bunyamin, membenarkan niatnya berbisnis elpiji. Meski begitu, Jani mengaku tidak berani berkompetisi langsung dengan Pertamina. Dengan modal Rp 40 miliar, Bhakti akan menggarap pasar kelas menengah ke atas. ”Kalau harganya seperti Pertamina, kita tak bakal mampu bersaing,” katanya. Presiden Direktur PT Petronas Niaga Indonesia, Faris Mustafa, juga mengakui pasar elpiji Indonesia sangat menarik. Dengan potensi pasar yang terus berkembang, Petronas menyiapkan rencana untuk memperkenalkan produknya di Indonesia. Apalagi, secara kebijakan, pasar ini memang terbuka dan harganya tidak disubsidi. ”Kami mencoba tahun ini, tapi rencana kami sendiri tahun depan,” ujar Faris. Dia mengungkapkan bahwa setiap tahun Petronas mampu mengekspor satu juta ton elpiji. Selain itu, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dalam waktu dekat akan melonggarkan aturan mengenai spesifikasi kandungan campuran gas propan dan butan di elpiji. Selama ini, pemerintah hanya menetapkan satu spek el- piji: kandungan campuran gas butan dan propan adalah 60 berbanding 40. Nantinya perbandingan ini akan dibuat bervariasi dari 80:20 sampai 60:40. Dengan begitu, setiap gas dari suatu lapangan yang kandungan butan atau propannya di bawah spek 60:40—yang selama ini habis dibakar percuma—dapat dimanfaatkan menjadi elpiji. ”Dengan cara itu, harga elpiji bisa bervariasi, tidak cuma satu seperti sekarang,” kata Erie. Agaknya, dengan kompetisi yang lebih terbuka, Pertamina tak bisa lagi bermain di tengah lapangan seenaknya sendiri. Dan konsumen juga tak bisa didikte begitu saja. M. Syakur Usman, Ivansyah (Indramayu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus