Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rapat pemegang obligasi Waskita Karya gagal mencapai kuorum.
Restrukturisasi surat utang Waskita Karya terhambat.
Dana pensiun dan asuransi banyak menyimpan dana pada obligasi Waskita Karya.
BULAN ini menjadi momen penentuan nasib bagi PT Waskita Karya (Persero) Tbk, apakah bisa merampungkan target restrukturisasi utang atau tidak. “Persetujuan atas restrukturisasi merupakan titik penting bagi Waskita,” kata Sekretaris Perusahaan Waskita Karya Ermy Puspa Yunita pada Selasa, 21 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waskita Karya menargetkan restrukturisasi utang selesai paling lambat pada September lalu. Dalam surat kepada Bursa Efek Indonesia, Ermy mengatakan perseroan sudah mengantongi persetujuan dari 90 persen kreditor perbankan. Namun lain ceritanya dengan para pemegang surat utang atau obligasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usulan persetujuan restrukturisasi lewat rapat umum pemegang obligasi (RUPO) pada Rabu dan Kamis, 22 dan 23 November lalu, tak mencapai kuorum alias gagal. Padahal RUPO itu sedianya membahas penyelesaian tagihan Obligasi Berkelanjutan III Tahap III Tahun 2018 dan Obligasi Berkelanjutan III Tahap IV Tahun 2019.
Rapat itu juga membahas persetujuan restrukturisasi akibat kelalaian pembayaran bunga dan pokok obligasi, perubahan jadwal pelunasan pokok obligasi, serta perubahan ketentuan mengenai sifat dan besaran tingkat bunga. Lantaran tak mencapai kuorum, manajemen Waskita Karya harus kembali meminta persetujuan pemegang obligasi melalui RUPO berikutnya.
Menurut Ermy, Waskita Karya menghadapi kendala dalam melakukan restrukturisasi obligasi karena tingginya tingkat utang berbunga. Selain itu, beban keuangan yang sudah jatuh tempo dan akan jatuh tempo dalam waktu dekat cukup tinggi. Di sisi lain, Waskita masih mengalami keterbatasan kas untuk bisa menyelesaikan kewajiban jatuh tempo.
Masalah ini menyebabkan Waskita Karya gagal membayar bunga serta pokok obligasi. Dampaknya, sejumlah pemegang obligasi melayangkan gugatan. Contohnya, pada 26 Juni lalu, Donny Hartanto Lasmana, salah satu pemegang obligasi, menyampaikan gugatan lewat kuasa hukumnya, Ferdie Soethiono. Waskita, menurut Ferdie, punya utang pokok kepada kliennya sebesar Rp 5 miliar atas pokok utang dan bunga yang tak pernah dibayarkan.
Agenda sidang kesimpulan dari pemohon dan termohon digelar pada 10 Agustus lalu. Namun putusan hakim pada 24 Agustus menolak permohonan tersebut. “Klien kami merasa keberatan dan merasa perlakuan Waskita tidak fair dan penuh iktikad buruk,” ucap Ferdie pada Sabtu, 2 Desember lalu. Menurut dia, pihak yang menuntut Waskita bukan hanya para investor retail, tapi juga sejumlah perusahaan vendor, kontraktor, hingga korporasi pengelola asuransi dan dana pensiun yang membeli obligasi perseroan.
Gagal bayar pokok utang dan bunga obligasi pun mengancam banyak perusahaan asuransi dan dana pensiun yang memiliki surat utang Waskita Karya. Padahal, menurut staf ahli Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI), Bambang Sri Muljadi, pembelian obligasi Waskita Karya dilakukan antara lain karena dorongan pemerintah. “Kami membeli obligasi karena pemerintah meminta dana pensiun ikut berpartisipasi untuk pembangunan infrastruktur,” ujarnya pada Rabu, 29 November lalu.
Dorongan juga datang dari Otoritas Jasa Keuangan. Dalam Peraturan OJK Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang terbit pada 12 Januari 2016 disebutkan semua lini industri keuangan nonbank wajib berinvestasi di surat berharga negara (SBN) sebesar 20-50 persen. Perusahaan asuransi konvensional dan syariah serta lembaga penjaminan dan dana pensiun pemberi kerja termasuk yang terkena kewajiban tersebut.
Pada 10 November 2016, OJK menerbitkan Peraturan Nomor 36 Tahun 2016. Dalam aturan ini OJK melonggarkan ketentuan investasi industri keuangan nonbank pada SBN. OJK membolehkan 50 persen investasi industri keuangan nonbank ditempatkan pada obligasi atau sukuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan anak perusahaan BUMN yang dananya digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur.
Setahun kemudian, pada 29 Agustus 2017, OJK menerbitkan Peraturan Nomor 56/POJK.05/2017 yang antara lain berisi ketentuan instrumen investasi wajib bagi industri keuangan nonbank. Selain pada obligasi dan sukuk, pelaku industri boleh menempatkan dananya pada efek beragun aset serta reksa dana penyertaan terbatas asalkan diterbitkan oleh BUMN dan anak perusahaannya atau BUMN yang dananya digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur.
Sayangnya, menurut Bambang, begitu masalah gagal bayar mengemuka, pemerintah lepas tangan begitu saja. “Bagaimanapun juga, dana pensiun ikut serta karena mendukung pemerintah. Sekarang bagaimana tanggung jawab pemerintah, karena hal ini akan berdampak serius,” tuturnya.
Pengelola dana pensiun, Bambang menambahkan, berharap proses restrukturisasi bisa selesai pada akhir tahun ini. Sebab, mereka harus membuat status aset untuk laporan akhir tahun. "Kalau seandainya RUPO tidak terjadi dan status obligasi tidak jelas, otomatis status dana pensiun tidak jelas juga," katanya.
Berdasarkan data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia, sejak 2018 perusahaan asuransi serta dana pensiun domestik menjadi investor terbesar pada sepuluh seri obligasi Waskita Karya dan anak perusahaannya, Waskita Beton Precast. Total nilai sepuluh seri obligasi itu Rp 8,942 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak Rp 8,835 triliun dipegang pihak lokal dan sisanya digenggam entitas asing.
Perusahaan asuransi menjadi pemegang obligasi terbanyak dengan nilai Rp 4,34 triliun. Di bawahnya ada dana pensiun Rp 1,8 triliun, reksa dana Rp 1,46 triliun, investor individu Rp 543,44 miliar, lembaga keuangan Rp 358,01 miliar, korporat Rp 156,4 miliar, yayasan Rp 74,16 miliar, investor lain Rp 79,3 miliar, dan sekuritas Rp 16,6 miliar.
Analis industri keuangan nonbank dan mantan Ketua ADPI, Suheri, mengatakan obligasi infrastruktur milik perusahaan pelat merah acap menarik minat pengelola dana pensiun lantaran menawarkan imbal hasil tinggi. “Ada satu keyakinan bahwa BUMN itu aman, apalagi kuponnya gede. Pasti sangat menarik bagi dana pensiun,” ucapnya pada Jumat, 1 Desember lalu.
Menurut Suheri, ketika melihat peluang tersebut, semua pihak menganggap investasi pada obligasi BUMN akan aman dan berisiko kecil. Tapi siapa sangka bakal ada masalah seperti yang terjadi pada Waskita Karya.
Pengamat pasar modal, Yanuar Rizky, menganggap wajar kekhawatiran sejumlah investor hingga mereka melayangkan gugatan. “Jangan dianggap remeh karena kondisi saat ini penuh ketidakpastian,” katanya. Menurut Yanuar, masalah Waskita Karya sudah panjang dan bisa menjadi bom waktu kalau tidak diselesaikan dengan benar. “Bisa memicu krisis."
Di sisi lain, anak perusahaan Waskita Karya, Waskita Beton Precast (WSBP), tengah melakukan skema restrukturisasi. Sekretaris Perusahaan WSBP Fandy Dewanto mengatakan skema restrukturisasi sudah mencapai 90 persen. Hal ini, dia menjelaskan, menunjukkan bahwa WSBP mendapat dukungan para investor untuk menyelesaikan proses restrukturisasi dan memulihkan kinerja.
Fandy mengatakan WSBP sudah menjalankan dua tahap pembayaran kewajiban kepada kreditor dengan nilai Rp 150 miliar. Pembayaran akan terus dilanjutkan secara bertahap.
Sedangkan Deputi Komisioner OJK Bidang Pengawasan Asuransi, Penjaminan, dan Dana Pensiun Iwan Pasila mengatakan masih menghimpun informasi tentang risiko industri asuransi dan dana pensiun terhadap obligasi Waskita Karya.
Iwan menerangkan, dalam urusan investasi, OJK telah memberikan arahan serta memperhitungkan durasi kewajiban dan likuiditas untuk memitigasi risiko. “Jadi tidak bisa hanya melihat ekspektasi hasil investasi tanpa melihat aspek likuiditas dan durasi.”
Walhasil, para investor, termasuk pengelola dana pensiun, kini berharap Waskita Karya dan WSBP bisa selamat agar mereka pun selamat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ghoida Rahmah berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bom Waktu Pemegang Obligasi"