Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rencana menyisipkan iuran pariwisata dalam tiket pesawat berisiko menghambat industri pariwisata karena harga tiket pesawat saat ini sudah banyak dikeluhkan sangat mahal. Jika ditambah beban iuran pariwisata, minat melancong di destinasi wisata domestik b
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Saputra telah menolak pungutan iuran pariwisata lewat tiket penerbangan.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno meminta masyarakat tidak perlu khawatir soal iuran pariwisata yang disisipkan di tiket pesawat. Dia mengatakan pemerintah tidak akan membebani masyarakat yang saat ini mengeluh soal mahalnya h
SEPUCUK surat undangan rapat dari Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi untuk Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mengejutkan Alvin Lie. Pasalnya, pertemuan yang dijadwalkan pada Rabu, 24 April 2024, itu dijadwalkan membahas pengenaan iuran wisata melalui tiket penerbangan. Forum itu merupakan bagian dari rangkaian pembahasan rancangan peraturan presiden tentang dana untuk pariwisata berkualitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isu ini tak pernah didengar Alvin. Anggota Dewan Pakar INACA itu baru mengetahui ada rencana memungut iuran wisata lewat tiket pesawat dari undangan tersebut. "Sama sekali tidak ada pembicaraan pendahuluan. Fait accompli," kata dia kepada Tempo pada Jumat, 26 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga berita ini ditulis, baik Alvin maupun INACA belum mendapatkan penjelasan ihwal rencana tersebut. Sehari setelah mengirim undangan, yaitu pada 21 April 2024, pemerintah menyerahkan pemberitahuan penundaan rapat. "Ditunda dan akan dijadwalkan kembali pada kesempatan pertama," begitu isi tulisan dalam surat yang ditandatangani oleh pelaksana tugas Asisten Deputi Akses Permodalan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Tahyanto Abdillah, itu.
Selain muncul tiba-tiba, rencana ini mengejutkan karena punya banyak implikasi negatif. Salah satunya menaikkan beban pembelian tiket. "Kesannya adalah harga tiket naik, padahal bukan. Yang ada, beban dari iuran ini," kata dia. Sebagai catatan, pemerintah sejak 2019 masih belum mengubah tarif batas atas untuk penerbangan.
Ketika harga naik, Alvin yakin daya beli masyarakat bakal terganggu. Apalagi tahun depan pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai dari 11 persen menjadi 12 persen. Saat ini saja keluhan soal mahalnya harga tiket pesawat terus terdengar.
Alvin pun mempertanyakan imbal balik pungutan ini bagi masyarakat. Sesuai dengan ketentuan International Air Transport Association dan International Civil Aviation Organization, setiap pungutan harus ada balasannya, kecuali berbentuk pajak, baik itu dalam bentuk pelayanan maupun fasilitas. Sebagai contoh, penumpang pesawat harus membayar passenger service charge atau retribusi bandara karena harga tiket hanya untuk biaya pengangkutan penumpang yang dilakukan oleh maskapai penerbangan. "Nah, iuran ini imbal baliknya apa?"
Dia juga mempertanyakan alasan pemerintah menentukan iuran pariwisata lewat tiket penerbangan. Sebab, tak semua penumpang pesawat adalah wisatawan. Berdasarkan survei internal terhadap 7.414 responden yang melakukan penerbangan di lima bandara besar, yaitu Juanda, Soekarno-Hatta, Kualanamu, I Gusti Ngurah Rai, dan Sultan Hasanuddin, Alvin mencatat hanya 12,1 persen di antaranya yang bepergian untuk tujuan wisata. Sisanya terbang dengan alasan perjalanan dinas, bisnis, mengunjungi kerabat, serta berobat.
Saat kemampuan beli masyarakat turun, industri penerbangan bakal lesu. Alvin mengingatkan bahwa maskapai penerbangan belum pulih sepenuhnya dari efek pandemi. Mereka masih harus membayar utang-utang yang direstrukturisasi. Perusahaan juga selama ini kesulitan untuk ekspansi, misalnya dengan mendatangkan pesawat baru dan menambah kapasitas karena tarif batas atas yang tak berubah.
Menurut Alvin, maskapai-maskapai yang tergabung dalam INACA bakal menolak rencana pemerintah memungut iuran pariwisata lewat tiket pesawat itu jika jadi diterapkan. Pria yang juga menjadi Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia ini juga memastikan bakal ada resistansi dari pengguna transportasi udara.
Wisatawan mancanegara di Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali, 11 April 2024. ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo
Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk Irfan Saputra telah mengungkapkan penolakannya terhadap rencana pungutan iuran pariwisata lewat tiket penerbangan. "Enggak setuju dikenakan di dalam harga tiket," ujarnya pada Rabu, 24 April lalu.
Dia menjelaskan, penumpang umumnya hanya tahu harga beli tiket naik dan tidak menyadari komponennya. Seperti saat ini, harga tiket sudah meningkat dibanding dua tahun lalu, sementara dalam lima tahun terakhir maskapai tak menaikkan tarif. Penyebab kenaikan harga tiket antara lain kenaikan tarif pajak bandara yang naik dua tahun lalu. "Ujungnya mereka menyalahkan maskapai yang terkesan seenaknya menaikkan harga tiket," kata Irfan.
Menurut pengamat pariwisata dari Universitas Jenderal Soedirman, Chusmeru, rencana pemerintah kali ini justru berpotensi menghambat industri pariwisata, bertentangan dengan tujuan awalnya. Pasalnya, harga tiket pesawat saat ini sudah banyak dikeluhkan sangat mahal. Jika ditambah beban iuran pariwisata, minat melancong di destinasi wisata domestik bakal menurun. "Ini tidak proporsional juga karena tidak semua orang yang menggunakan jasa penerbangan itu untuk kepentingan perjalanan wisata," ujar Chusmeru.
Beban untuk menghimpun dana pariwisata seharusnya menjadi tanggungan pemerintah, bukan dilimpahkan ke masyarakat. Sebab, fokusnya adalah konservasi lingkungan dan budaya serta peningkatan sumber daya manusia untuk menciptakan pariwisata berkualitas dan berkelanjutan. Chusmeru menilai mencari donor atau melibatkan vendor yang terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan wisata lebih tepat untuk dibebani iuran pariwisata.
Chairman of Indonesia Halal Lifestyle Center and Indonesia Tourism Forum, Sapta Nirwandar, mengatakan maskapai penerbangan sangat krusial untuk menarik wisatawan. Berkaca dari pengalaman negara-negara lain, Sapta mengatakan, rata-rata keberhasilan mereka didukung oleh maskapai penerbangan yang kuat. Mereka melayani dengan frekuensi penerbangan yang tinggi dan harga tiket yang menarik.
Dia juga mencatat tak sedikit negara yang justru memberi insentif bagi maskapai sehingga penumpang bisa dapat tiket murah. "Harga tiket pesawat murah biasanya lebih merangsang daripada destinasi wisatanya," kata pria yang juga Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2011-2014 ini. Untuk itu, dia menyarankan pemerintah mengkaji dengan saksama efeknya sebelum memutuskan menarik iuran pariwisata lewat tiket pesawat.
Setelah isu ini mencuat, Tempo berupaya menghubungi Deputi Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Odo Manuhutu untuk meminta penjelasan. Namun ia tak merespons hingga berita ini ditulis.
Odo sempat memberikan penjelasan melalui keterangan tertulis pada 22 April 2024. Dia mengatakan wacana pengembangan pariwisata berkualitas dengan melibatkan partisipasi aktif berbagai pihak terkait masih dalam tahap kajian awal. Dia memastikan kajiannya mempertimbangkan beragam faktor, seperti dampak ekonomi dan sosial serta target pergerakan wisatawan Nusantara. "Berbagai kebijakan terkait pariwisata berkualitas bertujuan untuk memberikan manfaat signifikan yang dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat," katanya.
Menurut Odo, dana abadi pariwisata ini ditujukan untuk menciptakan ekosistem pariwisata berkualitas. Indikatornya adalah peningkatan daya saing infrastruktur dasar, pengelolaan pariwisata berkelanjutan, keunikan destinasi, dan pariwisata bernilai tinggi. "Salah satu upaya konkret menuju pariwisata berkualitas adalah konservasi lingkungan dengan melakukan, antara lain, rehabilitasi hutan bakau yang mempunyai kapasitas besar dalam menyerap karbon," kata dia. Dananya bakal berasal dari dana abadi pariwisata.
Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Rizki Handayani Mustafa, menjelaskan bahwa rencana pembentukan dana pariwisata sudah dibahas sejak dua tahun lalu. Pemerintah terpacu setelah melihat praktik negara-negara lain mendukung acara-acara yang bisa mendatangkan wisatawan Nusantara dan mancanegara, seperti kegiatan olahraga atau konferensi akademis. Ini jadi potensi bagi Indonesia yang selama ini mengandalkan wisata alam.
Agar tak melewatkan kesempatan ini, pemerintah membutuhkan dana fleksibel alias bisa digunakan kapan saja. Sebab, pelaksanaan acara-acara besar ini tak menentu. Jika hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sudah diatur ketat pemanfaatannya, Indonesia akan kesulitan.
Seperti yang sudah dijelaskan Odo, dana pariwisata ini akan berfokus mendukung kegiatan yang berkelanjutan. "Makanya, dari pembahasan di level menteri itu, kemungkinan besar dana ini akan diampu oleh BPDLH (Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup)," kata Rizki.
Suasana Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang, Sumatera Selatan, 9 April 2024. TEMPO/Febri Angga Palguna
BPDLH merupakan badan layanan umum di bawah Kementerian Keuangan. Tugasnya BPDLH mengelola dana lingkungan hidup di berbagai bidang, seperti kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan perikanan, serta bidang lainnya yang terkait dengan lingkungan hidup.
Merujuk pada situs Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pendanaan BPDLH berasal dari banyak sumber. Di dalamnya ada dana publik dan swasta di dalam negeri dan luar negeri, termasuk dukungan bilateral, lembaga internasional, maupun filantropi.
Untuk bisa memanfaatkan dana tersebut di bidang pariwisata, pemerintah perlu berembuk dengan legislatif. "Ini juga masih kami godok program apa yang bisa didukung, kriterianya apa, bagaimana mekanisme pendanaannya," kata Rizki.
Selain menggunakan dana abadi BPDLH, pemerintah membuka opsi penggalangan dana dari donor. "Kan sekarang banyak dana internasional yang mendukung ke arah sustainable. Jadi, dana dari donor yang mendukung quality tourism," tuturnya.
Saat ini banyak negara sudah mulai menjual destinasi wisata berkelanjutan untuk menarik minat pelancong. "Thailand, misalnya, sudah mempromosikan diri sebagai destinasi regenerative tourism sehingga aktivitas yang ada kaitannya dengan pengelolaan lingkungan dijadikan tema untuk kunjungan wisatawan."
Konsep dana pariwisata di antaranya dipakai Singapura dan Arab Saudi. Pada 2020, misalnya, pemerintah Arab Saudi merancang dana pengembangan pariwisata yang nilai investasi awalnya menembus US$ 4 miliar atau lebih dari Rp 57 triliun. Selain berupa dana abadi, devisa pariwisata bisa menjadi alternatif sumber dana. Nilai awal dana pariwisata yang ditargetkan pemerintah mencapai Rp 1-2 triliun.
Pemerintah tengah menyiapkan peraturan presiden soal dana abadi pariwisata tersebut. Aturan tersebut dijadwalkan rampung tahun ini.
Soal potensi pengumpulan dana pariwisata dari masyarakat langsung, Rizki mengatakan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sampai saat ini belum punya rencana. "Kami tidak mau membuat beban langsung kepada pelanggan langsung," tuturnya. Saat ini pihaknya sedang berupaya mengoptimalkan peluang pendanaan program berkelanjutan dari pihak ketiga di luar negeri yang kebanyakan belum mengalokasikan dana untuk sektor pariwisata.
Ketika dimintai konfirmasi mengenai rencana memungut iuran pariwisata lewat tiket pesawat, Rizki mengatakan pihaknya belum pernah membahasnya. Dia memperkirakan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi baru sekadar menginisiasi rencana tersebut.
"Tapi sebenarnya kalau bicara pungutan dari wisatawan ini, banyak negara yang sudah melakukan ini," kata Rizki. Contohnya Kota Venesia di Italia yang mewajibkan wisawatan yang datang menyetorkan sejumlah dana untuk mengatasi dampak pariwisata. Bhutan juga menerapkan skema yang sama. Negara tersebut menarik iuran dari turis untuk menjaga kualitas lingkungan mereka.
Adapun Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno meminta masyarakat tidak perlu khawatir soal iuran wisata yang disisipkan di tiket pesawat. Dia mengatakan pemerintah tidak akan membebani masyarakat yang saat ini mengeluh soal mahalnya harga tiket pesawat. Menurut Sandiaga, rencana pengenaan iuran pariwisata sedang dikaji lebih matang. "Pemerintah tidak akan menambah beban untuk membuat tiket ini mahal," katanya seperti dikutip Antara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Novali Nugroho, Yudono Yanuar, dan Riani Sanusi Putri berkontribusi dalam penulisan artikel ini