Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jadilah partner ABRI

PT RTF (radio frequency communication), kini maju pesat, th 1982 mengerjakan sekitar 157 proyek sbk (stasiun bumi kecil) komsat (komunikasi satelit), sebagian pesanan ABRI. (eb)

8 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JEEP Landrover warna kelabu masuk ke tengah lapangan menyeret trailer loreng militer. Di atasnya, sebuah antena parabola berdiameter 5 m dalam keadaan terlipat. Lalu menyusul sebuah truk mini mengangkut boks aluminium putih, di dalamnya terdapat pesawat pemancar dan penerima komunikasi satelit yang disebut shelter. Setelah diutak-atik enam petugas berseragam ABRI, layar tv 14 inch pada shelter menghidangkan siaran pertandingan basket diselingi iklan film dan gula-gula. Jangan heran ada iklan. Ini acara TV Thailand yang ditangkap oleh pesawat penerima Stasiun Bumi Kecil (SBK) Komunikasi Satelit (Komsat) ABRI dari lapangan Wisma Buah Dua di Jalan Juanda, Bandung. Tertangkapnya siaran itu dengan bersih sebagai tanda antena SBK sudah tepat mengarah ke satelit Palapa A2 di ruang angkasa -- milik Perumtel -- yang khusus digunakan untuk sarana komunikasi ABRI dan disewakan pada beberapa negara seperti Filipina dan Thailand. Beberapa saat kemudian terjadi hubungan telepon dan teleks dengan Mabes Hankam di Jakarta. Ini hanya peragaan dalam upacara penutupan Pendidikan dan Latihan Teknik Operasi & Pemeliharaan SBK Komsat ABRI. Tapi di Selasa pagi akhir Desember lalu itu, Hardianto Kamarga, Dirut PT Radio Frequency Communication (RFC) kelihatan begitu gembira karena mulai dari pemasangan antena sampai menghubungkan SBK itu dengan Palapa, hanya dua jam sepuluh menit dari tiga jam waktu yang ditargetkan. Tentu saja kecepatan membongkar-pasang peralatan itu dibutuhkan ABRI dalam mobilisasi. Pada hal keistimewaan peralatan ini justru bisa dipindah-pindahkan dengan cepat (tranporuble) selain kualitasnya menurut standar ABRI. Misalnya antenanya tak akan roboh di tengah angin ribut berkecepatan 70 km per jam. "Di Cibinong antena kami masih berfungsi ketika kecepatan angin 72 km per jam," kata Kamara. Yang paling penting peralatan ini dirancang full red undant: ada sistem cadangan yang akan bekerja otomatis begitu sistem utama tiba-tiba rusak. Ini sangat perlu, suatu operasi militer sungguh celaka kalau komunikasi terputus. Tak heran ongkos produksi lebih mahal sampai Rp 150 juta per unit dibanding dengan SBK untuk keperluan sipil. Memenuhi keperluan Hankam sampai saat ini PT RFC sudah memproduksikan 50-an SBK termasuk yang fixed atau tak dipindah-pindah, mulai dari kapasitas 2 sampai 50 saluran dengan harga per unit Rp 275 sampai Rp 900 juta. Mahal kan? Pada hal harga itu bisa lebih melangit kalau diproduksikan menurut mil-spec (military specification), standar yang dipakai AB Amerika Serikat. Sebuah Integrated Circuit (rangkaian elektronik yang diperkecil) mil-spec harganya bisa 100 kali barang yang dipakai umum, karena komponen yang digunakan harus pilihan dan pengujian mutu dilakukan satu per satu. Tapi menurut Kamarga tak perlu dipersoalkan betul standar mil-spec itu, karena penggunaan peralatan oleh AB Amerika belum tentu sama dengan di sini. Maka dalam memproduksikan SBK pesanan ABRI, PT RFC menggunakan 60%: komponen lokal, malah antena sudah 100% dibikin dari bahan lokal. "Kami melihat dari sudut mil-spec yang lain," ujar Kamarga. Maksudnya: karena peralatan itu dibikin perusahaan nasional, maka ketergantunan pada pihak asing berkurang dan rahasia militer lebih terlindungi. "Ketergantungan pada luar negeri tak baik dari segi Hankam," ujar Asisten Komunikasi dan Elektronika Hankam, Marsekal Muda Tedjo Soewarno kepada TEMPO. Sebelumnya untuk sistem komunikasi satelit, Hankam bekerja sama dengan perusahaan swasta Amerika, Ford Aerospace. Belakangan Hankam meminta agar Ford meningkatkan penggunaan komponen lokal, tapi anak perusahaan mobil terkenal itu menolak, dan Hankam menoleh ke perusahaan nasional. Yang terpilih adalah PT RFC. Beberapa perusahaan beken seperti El Nusa kalah tender, "soalnya kami belum punya pabrik untuk tempat berproduksi," kata Drs. Muhardjo, salah seorang Wakil Direktur PT El Nusa. Sedang PT INTI lebih sibuk memenuhi pesdnan Perumtel, "sejak dua tahun lalu kami sudah membuat 21 stasiun bumi untuk Perumtel, dan 6 buah untuk Pemerintah Malaysia," ujar Usnadibrata, Ka Humas PT INTI. Nampaknya kelebihan RFC karena menggunakan banyak partner. Sekarang misalnya tak kurang 41 perusahaan elektronika asing dan 9 nasional jadi subkontraktor RFC. Caranya RFC merancang suatu sistem tapi memakai sub-sistem dari berbagai perusahaan yang berbeda. Ini membutuhkan teknologi yang lumayan, seperti kata Kamarga, "agar berbagai peralatan dari merk yang berbeda bisa kerja sama, terkadang kita harus bikin peralatan tambahan." Ketika Ford menolak memberikan sebagian komponennya, setelah Hankam teken kontrak dengan RFC, 1977, perusahaan yang punya banyak partner itu menggantinya dengan komponen buatan Hughes Aircraft, saingan Ford senegeri. Setahun kemudian SBK pesanan Hankam sudah diproduksi RFC. Tapi SBK yang mudah dipindah-pindah itu baru mulai dibikin setahun yang lalu untuk digunakan dalam Latgab ABRI 1982, dan setelah selesai ditempatkan di kawasan Indonesia. Hankam memang merupakan konsumen teknologi tinggi terbesar di Indonesia. Tak heran kalau setelah jadi langganan Hankam, bendera PT RFC betul-betul berkibar. Untuk tahun 1982, tak kurang 157 proyek yang dikerjakannya dengan omset Rp 8 milyar lebih. Ada juga proyeknya yang sipil. "Tapi yang terbesar dari 157 itu dari Hankam," ujar Dirut RFC. Di kantor dan pabriknya sekarang bekerja 30 tenaga insinyur dan 330 tamatan STM. Yang menarik, meski kerja sama dalam penelitian dengan Stanford University, AS, tak satu pun tenaga asing dipakai di situ. Dan pabriknya pun kian besar saja, karena dalam setiap kontrak, Hankam memberikan semacam ruang gerak yang dipakai untuk memperluas pabrik RFC. Selain merangsang sistem sendirl, membikin SBK, produksinya yang lain berupa tranceiver VHF, UIIF, HF-SSB, dan microwave. Hal ini tentu tak terbayangkan oleh 6 dosen jurusan Elektro ITB ketika pertama mendirikan PT RFC, 1969, dengan fasilitas PMDN dan hanya dibantu 5 pegawai tamatan STM.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus