JEEP Landrover warna kelabu masuk ke tengah lapangan menyeret
trailer loreng militer. Di atasnya, sebuah antena parabola
berdiameter 5 m dalam keadaan terlipat. Lalu menyusul sebuah
truk mini mengangkut boks aluminium putih, di dalamnya terdapat
pesawat pemancar dan penerima komunikasi satelit yang disebut
shelter.
Setelah diutak-atik enam petugas berseragam ABRI, layar tv 14
inch pada shelter menghidangkan siaran pertandingan basket
diselingi iklan film dan gula-gula. Jangan heran ada iklan. Ini
acara TV Thailand yang ditangkap oleh pesawat penerima Stasiun
Bumi Kecil (SBK) Komunikasi Satelit (Komsat) ABRI dari lapangan
Wisma Buah Dua di Jalan Juanda, Bandung.
Tertangkapnya siaran itu dengan bersih sebagai tanda antena SBK
sudah tepat mengarah ke satelit Palapa A2 di ruang angkasa --
milik Perumtel -- yang khusus digunakan untuk sarana komunikasi
ABRI dan disewakan pada beberapa negara seperti Filipina dan
Thailand. Beberapa saat kemudian terjadi hubungan telepon dan
teleks dengan Mabes Hankam di Jakarta.
Ini hanya peragaan dalam upacara penutupan Pendidikan dan
Latihan Teknik Operasi & Pemeliharaan SBK Komsat ABRI. Tapi di
Selasa pagi akhir Desember lalu itu, Hardianto Kamarga, Dirut PT
Radio Frequency Communication (RFC) kelihatan begitu gembira
karena mulai dari pemasangan antena sampai menghubungkan SBK itu
dengan Palapa, hanya dua jam sepuluh menit dari tiga jam waktu
yang ditargetkan.
Tentu saja kecepatan membongkar-pasang peralatan itu dibutuhkan
ABRI dalam mobilisasi. Pada hal keistimewaan peralatan ini
justru bisa dipindah-pindahkan dengan cepat (tranporuble) selain
kualitasnya menurut standar ABRI. Misalnya antenanya tak akan
roboh di tengah angin ribut berkecepatan 70 km per jam. "Di
Cibinong antena kami masih berfungsi ketika kecepatan angin 72
km per jam," kata Kamara.
Yang paling penting peralatan ini dirancang full red undant: ada
sistem cadangan yang akan bekerja otomatis begitu sistem utama
tiba-tiba rusak. Ini sangat perlu, suatu operasi militer sungguh
celaka kalau komunikasi terputus.
Tak heran ongkos produksi lebih mahal sampai Rp 150 juta per
unit dibanding dengan SBK untuk keperluan sipil. Memenuhi
keperluan Hankam sampai saat ini PT RFC sudah memproduksikan
50-an SBK termasuk yang fixed atau tak dipindah-pindah, mulai
dari kapasitas 2 sampai 50 saluran dengan harga per unit Rp 275
sampai Rp 900 juta. Mahal kan?
Pada hal harga itu bisa lebih melangit kalau diproduksikan
menurut mil-spec (military specification), standar yang dipakai
AB Amerika Serikat. Sebuah Integrated Circuit (rangkaian
elektronik yang diperkecil) mil-spec harganya bisa 100 kali
barang yang dipakai umum, karena komponen yang digunakan harus
pilihan dan pengujian mutu dilakukan satu per satu.
Tapi menurut Kamarga tak perlu dipersoalkan betul standar
mil-spec itu, karena penggunaan peralatan oleh AB Amerika belum
tentu sama dengan di sini. Maka dalam memproduksikan SBK pesanan
ABRI, PT RFC menggunakan 60%: komponen lokal, malah antena sudah
100% dibikin dari bahan lokal.
"Kami melihat dari sudut mil-spec yang lain," ujar Kamarga.
Maksudnya: karena peralatan itu dibikin perusahaan nasional,
maka ketergantunan pada pihak asing berkurang dan rahasia
militer lebih terlindungi. "Ketergantungan pada luar negeri tak
baik dari segi Hankam," ujar Asisten Komunikasi dan Elektronika
Hankam, Marsekal Muda Tedjo Soewarno kepada TEMPO.
Sebelumnya untuk sistem komunikasi satelit, Hankam bekerja sama
dengan perusahaan swasta Amerika, Ford Aerospace. Belakangan
Hankam meminta agar Ford meningkatkan penggunaan komponen lokal,
tapi anak perusahaan mobil terkenal itu menolak, dan Hankam
menoleh ke perusahaan nasional. Yang terpilih adalah PT RFC.
Beberapa perusahaan beken seperti El Nusa kalah tender, "soalnya
kami belum punya pabrik untuk tempat berproduksi," kata Drs.
Muhardjo, salah seorang Wakil Direktur PT El Nusa. Sedang PT
INTI lebih sibuk memenuhi pesdnan Perumtel, "sejak dua tahun
lalu kami sudah membuat 21 stasiun bumi untuk Perumtel, dan 6
buah untuk Pemerintah Malaysia," ujar Usnadibrata, Ka Humas PT
INTI.
Nampaknya kelebihan RFC karena menggunakan banyak partner.
Sekarang misalnya tak kurang 41 perusahaan elektronika asing dan
9 nasional jadi subkontraktor RFC. Caranya RFC merancang suatu
sistem tapi memakai sub-sistem dari berbagai perusahaan yang
berbeda. Ini membutuhkan teknologi yang lumayan, seperti kata
Kamarga, "agar berbagai peralatan dari merk yang berbeda bisa
kerja sama, terkadang kita harus bikin peralatan tambahan."
Ketika Ford menolak memberikan sebagian komponennya, setelah
Hankam teken kontrak dengan RFC, 1977, perusahaan yang punya
banyak partner itu menggantinya dengan komponen buatan Hughes
Aircraft, saingan Ford senegeri. Setahun kemudian SBK pesanan
Hankam sudah diproduksi RFC. Tapi SBK yang mudah dipindah-pindah
itu baru mulai dibikin setahun yang lalu untuk digunakan dalam
Latgab ABRI 1982, dan setelah selesai ditempatkan di kawasan
Indonesia.
Hankam memang merupakan konsumen teknologi tinggi terbesar di
Indonesia. Tak heran kalau setelah jadi langganan Hankam,
bendera PT RFC betul-betul berkibar. Untuk tahun 1982, tak
kurang 157 proyek yang dikerjakannya dengan omset Rp 8 milyar
lebih. Ada juga proyeknya yang sipil. "Tapi yang terbesar dari
157 itu dari Hankam," ujar Dirut RFC.
Di kantor dan pabriknya sekarang bekerja 30 tenaga insinyur dan
330 tamatan STM. Yang menarik, meski kerja sama dalam penelitian
dengan Stanford University, AS, tak satu pun tenaga asing
dipakai di situ.
Dan pabriknya pun kian besar saja, karena dalam setiap kontrak,
Hankam memberikan semacam ruang gerak yang dipakai untuk
memperluas pabrik RFC. Selain merangsang sistem sendirl,
membikin SBK, produksinya yang lain berupa tranceiver VHF, UIIF,
HF-SSB, dan microwave.
Hal ini tentu tak terbayangkan oleh 6 dosen jurusan Elektro ITB
ketika pertama mendirikan PT RFC, 1969, dengan fasilitas PMDN
dan hanya dibantu 5 pegawai tamatan STM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini