Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bila ia mengeluarkan jempol

Pengalaman seorang juru parkir pesawat terbang atau mershalling man. penglihatan dan pendengaran sering rusak akibat suara pesawat yang terlalu dekat. (sd)

8 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-hari seputar Natal dan Tahun Baru 1983, seperti biasa, pelabuhan udara cukup ramai. Frekuensi pesawat yang naik turun lebih banyak dibandingkan hari biasa. Petugas parkir pesawat pun ikut sibuk. Tengok saja Djahmadi, lelaki berusia 40 tahun yang berkulit kehitaman itu. Ketika sebuah pesawat Bouraq hampir mendarat di Pelabuhan Udara Juanda, Surabaya, ia keluar dari pos penjagaan. Lalu menggenjot sepeda menuju arah barat. Bersamaan dengan itu Sang Bouraq yang landing, tiba di ujung run way, kemudian berbalik dan perlahan melintasi taxi way untuk menuju apron (pelataran parkir pesawat). Sejak di mulut taxi way, jalan yang menghubungkan apron dan run way, Djahmadi mulai pegang peranan. Dua buah bed warna merah, besar sedikit dari bed pingpong, ia gerakkan maju mundur. Pesawat pun berjalan lurus ke arahnya. Lalu Djahmadi meluruskan tangan kanannya ke samping, dan burung raksasa dari besi itu pun belok kanan. Pesawat berhenti ketika bed diangkat ke atas kepala dalam posisi bersilang. Setelah petugas lain memblok roda pesawat, Djahmadi memainkan lagi kedua bed merahnya dengan gerakan seperti menggorok leher. Perlahan, deru mesin pesawat mengundur, lalu berhenti. Terakhir Djahmadi mengacungkan jempol tangan kanannya, tanda bagi pilot bahwa pesawat sudah tepat dalam posisi parkir. Kini petugas parkir yang mengenakan seragam oranye itu bisa tersenyum puas, karena semua aba-aba yang ia berikan ditaati pilot. "Tapi hanya kalau di sini, lho mas," katanya tertawa. Sudah 15 tahun menjadi juru parkir pesawat, sebenarnya ia berstatus pegawai sipil TNI-AL golongan II A. Bersama rekannya Syarnsi, M. Soleh dan Supnanto, ia senang pada pekeraannya itu. Ia menilai penghasilan Rp 65 ribu sebulan, cukup untuk menghidupi keluarganya. Hanya, kini ia suka mengeluh: pendengaran dan penglihatannya mulai terasa berkurang. Itu rupanya akibat sering mendengar deru pesawat dari jarak dekat -- karena ia rupanya termasuk juru parkir yang belum dilengkapi penutup telinga. Bila hari panas terik, pemandangan di lapangan terbang juga cukup menyilaukan. Sebaliknya bila cuaca buruk, hujan campur angin, jas hujan seolah tak berdaya melindungi tubuh dan matanya. Apalagi bila pesawat hendak parkir di apron timur. Juru parkir harus mengayuh sepeda di bawah hujan sejauh sekitar 1 1/2 km. Tapi yang susah bila helikopter hendak mendarat. "Tekanan anginnya kuat sekali," kata Djahmadi, bapak empat anak itu. Sampai-sampai topinya pernah terlempar jauh. Syukurlah, ia belum pernah membuat kesalahan dalam memandu pesawat yang hendak parkir. Meski kerjanya boleh dibilang hanya jalan-jalan di lapangan terbang, tanggung jawab juru parkir pesawat atau marshalling man alias parking master, besar juga. "Pesawat itu ibarat emas," kata Ali Imran di Pelabuhan Udara Polonia Medan. Bila pesawat yang diberi aba-aba maju atau mundur sampai bersenggolan dengan sesuatu, "Saya akan langsung mendapat titel DRS alias di rumah saja," kata Suganda, teman Imran. Selain telinga yang menjadi agak tuli, Suganda juga sudah punya kebiasaan bicara agak keras kalau di rumah, hingga tetangga mengira dia sedang marah. Padahal itu akibat kebiasaan di lapangan terbang, bila berbicara saat mesin pesawat menderu-deru. "Terkadang saya malu karena terbiasa bicara keras," kata ayah empat anak tamatan SMA itu. Di pelabuhan udara, pekerjaannya ternyata tak hanya memarkir pesawat terbang. Ia juga bertugas menyediakan tangga, alat pemadam kebakaran, membereskan barang-barang sampai mengangkat whell chock, alat pengganjal roda pesawat. Namun Imran, bujangan berpenghasilan Rp 55 ribu lebih itu, merasa bangga. Paling tidak, karena dengan tugasnya itu ia sering melihat wajah pejabat penting -- yang bila pesawat yang dinaikinya mendarat, mesti mendapat pelayanan lebih dahulu. Apalagi karena tetangga dan teman-temannya menyangka ia "pegawai bonafid": biasa menghadapi pesawat terbang dan sekali waktu bisa menaikinya. Tak heran bila teman-teman ceweknya, yang mengira gajinya besar, suka minta ditraktir. "Kalau ke tulan lagi bokek, malu juga," kata Imran. Rusito, 24 tahun, yang menjabat Kepala Rampt Handling Mandala Airlines di Lapangan Terbang Kemayoran, Jakarta, terkadang juga dibujuk kawan-kawannya minta ditraktir. Bujangan asal Banyumas itu semula bercita-cita menjadi pramugara Garuda. "Kan bangga bisa keliling dunia, naik pesawat, memakai seragam dan berdasi pula," ia mengenang cita-citanya dulu. Sayang ketika dites, tinggi badannya hanya 162 cm, kurang 3 cm dari ketentuan. Ia hanya diterima di bagian pasasi Garuda dan bertugas di Ngurah Rai, Denpasar. Merasa tak cocok dengan gaji yang Rp 40 ribu, ia melamar di Mandala dan diterima sebagai kepala petugas traffic. Kini ia sudah naik pangkat. Gajinya Rp 87 ribu sebulan. "Cukup untuk bujangan dan bisa membantu orang tua sedikit," katanya. la biasa bekerja 10 jam sehari. Lalu lintas pesawat paling sibuk di Kemayoran, adalah sekitar pukul 12.00 dan pukul 16.00. Bila kebetulan bertugas malam, tak jarang waktunya mulur, terutama kalau pesawat terlambat datang. Apalagi bila saat itu kebetulan turun hujan. Soalnya, menurut Rusito, memarkir pesawat terbang tak semudah memarkir mobil. Memang. Untuk memandu pesawat Garuda Airbus 300, misalnya, juru parkir di Kemayoran menyongsong sampai taxi way, naik traktor kecil yang dilengkapi dengan gandengan berisi peralatan untuk mengganjal roda pesawat. Kalau kurang. hati-hati, pesawat bertubuh besar itu bisa bersenggolan, dan urusan bisa jadi panjang. Seperti juga rekan mereka di Medan, petugas di Jakarta tak hanya mengurusi parkir pesawat. "Kami bertanggung jawab sejak pendaratan sampai masuk hanggar dan mengeluarkannya, kemudian mengecek mesin, sampai pesawat siap berangkat," kata Hendrik Liklikwatil, 49 tahun, Kepala Bagian Pertolakan Pesawat GIA di Kemayoran. Kalau pesawat hendak berangkat, katanya, dua jam sebelumnya ia dan anak buahnya sudah menyiapkan segalanya, seperti menaikkan barang-barang dan menghidupkan AC. Khusus untuk bisa memarkir pesawat, Hendrik dan kawan-kawannya sebelumnya harus mengikuti pendidikan selama tiga bulan. Ayah seorang gadis itu beberapa waktu lalu pernah mengalami musibah. Mengendarai sebuah traktor, ia bertugas menggandeng pesawat keluar dari hanggar. Tiba-tiba, sayap pesawat menyentuh bibir hanggar. Meski hal itu kesalahlan petugas wing, katanya, tak urung Hendrik kena skors. Selama enam bulan ia dialihtugaskan sebagai kuli angkut barang. Syukur ketika itu, tahun 1960-an, ada gerakan nasionalisasi. Ia kembali pada jabatannya semula, sebab "setelah orang asing pergi, kepandaian saya sangat dibutuhkan." Kini, Hendrik bertekad tak akan meninggalkan pekerjaannya sampai pensiun. "Pekerjaan itu pilihan yang diberikan Tuhan untuk ditekuni," kata pemeluk Protestan itu. Keinginannya hanya satu, yaitu agar anak gadis satu-satunya yang kini menjadi mahasiswi Fakultas Sastra UI jurusan Sastra Prancis, merangkap jadi mahasiswi ASMI itu, kelak bisa jadi ahli bahasa. Hendrik sendiri kini mengakui sedikit-sedikit bisa berbahasa Inggris, Belanda dan Jerman. Itu berkat pergaulannya dengan orang asing. Memang, katanya, orang asing cukup menaruh perhatian pada petugas di lapangan udara. Pilot luar negeri dari perusahaan penerbangan besar, kata Hendrik, amat menaati aba-aba yang diberikan petugas parkir. "Mereka tahu betul, itu tanggung jawab kami," katanya. Beda dengan pilot bangsa sendiri yang terkadang merasa kurang percaya pada petugas di lapangan terbang. Dudung S.P., 31 tahun, terkadang mengalami perlakuan hal serupa di lapangan terbang Husein Sastranegara, Bandung. Tapi meski kurang enak bila ada pilot yang tak mau mengikuti petunjuknya, ayah lima anak itu tak bisa berbuat apa-apa. Malahan dia yang mengalah, menyesuaikan diri dengan kemauan pilot. Bagi pilot yang membandel seperti itu, "kami tak bisa memberi sanksi. Paling hanya menegur halus," kata Purwadi, purnawirawan Kapten TNI-AU, yang kini menjadi atasan Dudung. Di Lanuma Husein Sastranegara, sehari rata-rata hanya ada delapan pesawat vang mendarat. Empat pesawat Garuda dan empat lagi dari perusahaan penerbangan Bouraq. Maka cukup waktu bagi Dudung melakukan pekerjaan lain di tempatnya bekerja, PT Megapura, yang dikelola sebuah yayasan milik TNI-AU. Perusahaan ini bergerak di bidang round handling service. Tamatan ST itu dulunya ikut bekerja pada pemborong, menangani bagian teknik, seperti instalasi dan pompa air. Tahun 1977 ia melamar di Lanuma Husein, ditempatkan di bagian kebersihan. Terkadang ia mengambil inisiatif menjadi juru parkir pesawat, bila petugasnya kebetulan tak ada di tempat. Purwadi lalu membimbingnya. Dudung berpenghasilan Rp 24.500 sebulan, ditambah Rp 7.500 uang transpor dan Rp 400 sehari untuk makan. Meski berpenghasilan lebih besar, Rp 60 ribu, nasib Kacung di pelabuhan udara Adi Sutjipto, Yogyakarta, tak jauh berbeda. Tapi ia cukup hemat menggunakan uang, hingga bisa menyekolahkan anaknya sampai SMTA. Ia sendiri hanya tamat SD. Laki-laki berusia 52 itu beranak lima orang. Untuk menghindari sinar matahari dan debu yang beterbangan, ia biasa memakai kacamata gelap. Yang kedua telinganya dipasang alat peredam bunyi, hingga ia merasa tak begitu diganggu deru mesin pesawat. "Saya sudah akrab dengan bunyi deru pesawat," kata lelaki berkulit hitam legam itu. Dengan bangga ia biasa bercerita kepada tetangganya bahwa ia sering melihat langsung wajah para pejabat negara. Bahkan bintang film Christine Hakim, meski ia mengaku hampir tak pernah nonton film, "saya hapal betul wajahnya." Untuk menjaga kesehatannya, Kacung mengaku suka minum jamu Jawa bercampur telur setengah matang. Tubuhnya memang tak mau gemuk juga. Dan barangkali karena melihat penampilannya yang nampak memelas, suatu kali ia ketiban rezeki. Serombongan turis turun dari pesawat di Adi Sutjipto. Salah seorang di antaranya menghampiri Kacung, memberikan sebuah bungkusan dan uang US$5. Bungkusan itu berisi cokelat, kembang gula dan satu pak rokok putih. Mata Kacung berkaca-kaca menerima. "Bukan pemberian itu yang mengesankan, tapi perhatian dan penghargaan merekalah yang membuat saya terharu," kata Kacung mengenang. Kini ia hampir pensiun. Rencananya nanti mau berdagang kecil-kecilan. Tapi terlintas juga di benaknya untuk menjadi tukang parkir mobil. Apa ia tidak merasa "turun pangkat"? Memang begitu. Tapi, katanya sambil tertawa, "siapa tahu menjadi tukang parkir mobil penghasilan saya justru lebih besar."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus