HARI-hari seputar Natal dan Tahun Baru 1983, seperti biasa,
pelabuhan udara cukup ramai. Frekuensi pesawat yang naik turun
lebih banyak dibandingkan hari biasa. Petugas parkir pesawat pun
ikut sibuk. Tengok saja Djahmadi, lelaki berusia 40 tahun yang
berkulit kehitaman itu.
Ketika sebuah pesawat Bouraq hampir mendarat di Pelabuhan Udara
Juanda, Surabaya, ia keluar dari pos penjagaan. Lalu menggenjot
sepeda menuju arah barat. Bersamaan dengan itu Sang Bouraq yang
landing, tiba di ujung run way, kemudian berbalik dan perlahan
melintasi taxi way untuk menuju apron (pelataran parkir
pesawat).
Sejak di mulut taxi way, jalan yang menghubungkan apron dan run
way, Djahmadi mulai pegang peranan. Dua buah bed warna merah,
besar sedikit dari bed pingpong, ia gerakkan maju mundur.
Pesawat pun berjalan lurus ke arahnya. Lalu Djahmadi meluruskan
tangan kanannya ke samping, dan burung raksasa dari besi itu pun
belok kanan. Pesawat berhenti ketika bed diangkat ke atas kepala
dalam posisi bersilang.
Setelah petugas lain memblok roda pesawat, Djahmadi memainkan
lagi kedua bed merahnya dengan gerakan seperti menggorok leher.
Perlahan, deru mesin pesawat mengundur, lalu berhenti. Terakhir
Djahmadi mengacungkan jempol tangan kanannya, tanda bagi pilot
bahwa pesawat sudah tepat dalam posisi parkir. Kini petugas
parkir yang mengenakan seragam oranye itu bisa tersenyum puas,
karena semua aba-aba yang ia berikan ditaati pilot. "Tapi hanya
kalau di sini, lho mas," katanya tertawa.
Sudah 15 tahun menjadi juru parkir pesawat, sebenarnya ia
berstatus pegawai sipil TNI-AL golongan II A. Bersama rekannya
Syarnsi, M. Soleh dan Supnanto, ia senang pada pekeraannya itu.
Ia menilai penghasilan Rp 65 ribu sebulan, cukup untuk
menghidupi keluarganya. Hanya, kini ia suka mengeluh:
pendengaran dan penglihatannya mulai terasa berkurang.
Itu rupanya akibat sering mendengar deru pesawat dari jarak
dekat -- karena ia rupanya termasuk juru parkir yang belum
dilengkapi penutup telinga. Bila hari panas terik, pemandangan
di lapangan terbang juga cukup menyilaukan. Sebaliknya bila
cuaca buruk, hujan campur angin, jas hujan seolah tak berdaya
melindungi tubuh dan matanya. Apalagi bila pesawat hendak
parkir di apron timur. Juru parkir harus mengayuh sepeda di
bawah hujan sejauh sekitar 1 1/2 km.
Tapi yang susah bila helikopter hendak mendarat. "Tekanan
anginnya kuat sekali," kata Djahmadi, bapak empat anak itu.
Sampai-sampai topinya pernah terlempar jauh. Syukurlah, ia belum
pernah membuat kesalahan dalam memandu pesawat yang hendak
parkir.
Meski kerjanya boleh dibilang hanya jalan-jalan di lapangan
terbang, tanggung jawab juru parkir pesawat atau marshalling man
alias parking master, besar juga. "Pesawat itu ibarat emas,"
kata Ali Imran di Pelabuhan Udara Polonia Medan. Bila pesawat
yang diberi aba-aba maju atau mundur sampai bersenggolan dengan
sesuatu, "Saya akan langsung mendapat titel DRS alias di rumah
saja," kata Suganda, teman Imran.
Selain telinga yang menjadi agak tuli, Suganda juga sudah punya
kebiasaan bicara agak keras kalau di rumah, hingga tetangga
mengira dia sedang marah. Padahal itu akibat kebiasaan di
lapangan terbang, bila berbicara saat mesin pesawat
menderu-deru. "Terkadang saya malu karena terbiasa bicara
keras," kata ayah empat anak tamatan SMA itu.
Di pelabuhan udara, pekerjaannya ternyata tak hanya memarkir
pesawat terbang. Ia juga bertugas menyediakan tangga, alat
pemadam kebakaran, membereskan barang-barang sampai mengangkat
whell chock, alat pengganjal roda pesawat.
Namun Imran, bujangan berpenghasilan Rp 55 ribu lebih itu,
merasa bangga. Paling tidak, karena dengan tugasnya itu ia
sering melihat wajah pejabat penting -- yang bila pesawat yang
dinaikinya mendarat, mesti mendapat pelayanan lebih dahulu.
Apalagi karena tetangga dan teman-temannya menyangka ia "pegawai
bonafid": biasa menghadapi pesawat terbang dan sekali waktu bisa
menaikinya. Tak heran bila teman-teman ceweknya, yang mengira
gajinya besar, suka minta ditraktir. "Kalau ke tulan lagi
bokek, malu juga," kata Imran.
Rusito, 24 tahun, yang menjabat Kepala Rampt Handling Mandala
Airlines di Lapangan Terbang Kemayoran, Jakarta, terkadang juga
dibujuk kawan-kawannya minta ditraktir. Bujangan asal Banyumas
itu semula bercita-cita menjadi pramugara Garuda. "Kan bangga
bisa keliling dunia, naik pesawat, memakai seragam dan berdasi
pula," ia mengenang cita-citanya dulu. Sayang ketika dites,
tinggi badannya hanya 162 cm, kurang 3 cm dari ketentuan. Ia
hanya diterima di bagian pasasi Garuda dan bertugas di Ngurah
Rai, Denpasar. Merasa tak cocok dengan gaji yang Rp 40 ribu, ia
melamar di Mandala dan diterima sebagai kepala petugas traffic.
Kini ia sudah naik pangkat. Gajinya Rp 87 ribu sebulan. "Cukup
untuk bujangan dan bisa membantu orang tua sedikit," katanya.
la biasa bekerja 10 jam sehari. Lalu lintas pesawat paling sibuk
di Kemayoran, adalah sekitar pukul 12.00 dan pukul 16.00. Bila
kebetulan bertugas malam, tak jarang waktunya mulur, terutama
kalau pesawat terlambat datang. Apalagi bila saat itu kebetulan
turun hujan. Soalnya, menurut Rusito, memarkir pesawat terbang
tak semudah memarkir mobil.
Memang. Untuk memandu pesawat Garuda Airbus 300, misalnya, juru
parkir di Kemayoran menyongsong sampai taxi way, naik traktor
kecil yang dilengkapi dengan gandengan berisi peralatan untuk
mengganjal roda pesawat. Kalau kurang. hati-hati, pesawat
bertubuh besar itu bisa bersenggolan, dan urusan bisa jadi
panjang.
Seperti juga rekan mereka di Medan, petugas di Jakarta tak hanya
mengurusi parkir pesawat. "Kami bertanggung jawab sejak
pendaratan sampai masuk hanggar dan mengeluarkannya, kemudian
mengecek mesin, sampai pesawat siap berangkat," kata Hendrik
Liklikwatil, 49 tahun, Kepala Bagian Pertolakan Pesawat GIA di
Kemayoran. Kalau pesawat hendak berangkat, katanya, dua jam
sebelumnya ia dan anak buahnya sudah menyiapkan segalanya,
seperti menaikkan barang-barang dan menghidupkan AC. Khusus
untuk bisa memarkir pesawat, Hendrik dan kawan-kawannya
sebelumnya harus mengikuti pendidikan selama tiga bulan.
Ayah seorang gadis itu beberapa waktu lalu pernah mengalami
musibah. Mengendarai sebuah traktor, ia bertugas menggandeng
pesawat keluar dari hanggar. Tiba-tiba, sayap pesawat menyentuh
bibir hanggar. Meski hal itu kesalahlan petugas wing, katanya,
tak urung Hendrik kena skors. Selama enam bulan ia
dialihtugaskan sebagai kuli angkut barang. Syukur ketika itu,
tahun 1960-an, ada gerakan nasionalisasi. Ia kembali pada
jabatannya semula, sebab "setelah orang asing pergi, kepandaian
saya sangat dibutuhkan."
Kini, Hendrik bertekad tak akan meninggalkan pekerjaannya sampai
pensiun. "Pekerjaan itu pilihan yang diberikan Tuhan untuk
ditekuni," kata pemeluk Protestan itu. Keinginannya hanya satu,
yaitu agar anak gadis satu-satunya yang kini menjadi mahasiswi
Fakultas Sastra UI jurusan Sastra Prancis, merangkap jadi
mahasiswi ASMI itu, kelak bisa jadi ahli bahasa. Hendrik sendiri
kini mengakui sedikit-sedikit bisa berbahasa Inggris, Belanda
dan Jerman. Itu berkat pergaulannya dengan orang asing.
Memang, katanya, orang asing cukup menaruh perhatian pada
petugas di lapangan udara. Pilot luar negeri dari perusahaan
penerbangan besar, kata Hendrik, amat menaati aba-aba yang
diberikan petugas parkir. "Mereka tahu betul, itu tanggung jawab
kami," katanya. Beda dengan pilot bangsa sendiri yang terkadang
merasa kurang percaya pada petugas di lapangan terbang.
Dudung S.P., 31 tahun, terkadang mengalami perlakuan hal serupa
di lapangan terbang Husein Sastranegara, Bandung. Tapi meski
kurang enak bila ada pilot yang tak mau mengikuti petunjuknya,
ayah lima anak itu tak bisa berbuat apa-apa. Malahan dia yang
mengalah, menyesuaikan diri dengan kemauan pilot. Bagi pilot
yang membandel seperti itu, "kami tak bisa memberi sanksi.
Paling hanya menegur halus," kata Purwadi, purnawirawan Kapten
TNI-AU, yang kini menjadi atasan Dudung.
Di Lanuma Husein Sastranegara, sehari rata-rata hanya ada
delapan pesawat vang mendarat. Empat pesawat Garuda dan empat
lagi dari perusahaan penerbangan Bouraq. Maka cukup waktu bagi
Dudung melakukan pekerjaan lain di tempatnya bekerja, PT
Megapura, yang dikelola sebuah yayasan milik TNI-AU. Perusahaan
ini bergerak di bidang round handling service.
Tamatan ST itu dulunya ikut bekerja pada pemborong, menangani
bagian teknik, seperti instalasi dan pompa air. Tahun 1977 ia
melamar di Lanuma Husein, ditempatkan di bagian kebersihan.
Terkadang ia mengambil inisiatif menjadi juru parkir pesawat,
bila petugasnya kebetulan tak ada di tempat. Purwadi lalu
membimbingnya. Dudung berpenghasilan Rp 24.500 sebulan, ditambah
Rp 7.500 uang transpor dan Rp 400 sehari untuk makan.
Meski berpenghasilan lebih besar, Rp 60 ribu, nasib Kacung di
pelabuhan udara Adi Sutjipto, Yogyakarta, tak jauh berbeda. Tapi
ia cukup hemat menggunakan uang, hingga bisa menyekolahkan
anaknya sampai SMTA. Ia sendiri hanya tamat SD. Laki-laki
berusia 52 itu beranak lima orang. Untuk menghindari sinar
matahari dan debu yang beterbangan, ia biasa memakai kacamata
gelap. Yang kedua telinganya dipasang alat peredam bunyi, hingga
ia merasa tak begitu diganggu deru mesin pesawat. "Saya sudah
akrab dengan bunyi deru pesawat," kata lelaki berkulit hitam
legam itu.
Dengan bangga ia biasa bercerita kepada tetangganya bahwa ia
sering melihat langsung wajah para pejabat negara. Bahkan
bintang film Christine Hakim, meski ia mengaku hampir tak pernah
nonton film, "saya hapal betul wajahnya."
Untuk menjaga kesehatannya, Kacung mengaku suka minum jamu Jawa
bercampur telur setengah matang. Tubuhnya memang tak mau gemuk
juga. Dan barangkali karena melihat penampilannya yang nampak
memelas, suatu kali ia ketiban rezeki. Serombongan turis turun
dari pesawat di Adi Sutjipto. Salah seorang di antaranya
menghampiri Kacung, memberikan sebuah bungkusan dan uang US$5.
Bungkusan itu berisi cokelat, kembang gula dan satu pak rokok
putih. Mata Kacung berkaca-kaca menerima. "Bukan pemberian itu
yang mengesankan, tapi perhatian dan penghargaan merekalah yang
membuat saya terharu," kata Kacung mengenang.
Kini ia hampir pensiun. Rencananya nanti mau berdagang
kecil-kecilan. Tapi terlintas juga di benaknya untuk menjadi
tukang parkir mobil. Apa ia tidak merasa "turun pangkat"? Memang
begitu. Tapi, katanya sambil tertawa, "siapa tahu menjadi tukang
parkir mobil penghasilan saya justru lebih besar."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini