Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAWARAN merdu itu berembus dari Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara pada suatu siang, Juni setahun lalu. Sebagai pemegang saham tunggal, pemerintah melalui Deputi Menteri Negara BUMN Bidang Usaha Energi, Roes Ariawijaya, menawarkan ”bonus” kepada komisaris, direksi, dan karyawan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Tawaran itu kontan disambut kor setuju peserta rapat umum pemegang saham (RUPS) pada 25 Juni 2004 itu. Roes agaknya sedang mencoba meredam kegelisahan karyawan perusahaan listrik itu. Sebelum RUPS, pemerintah menolak permintaan kenaikan gaji rata-rata 20 persen yang diajukan direksi PLN. ”Perusahaan masih rugi,” kata Roes.
Jika dituruti, kenaikan gaji itu akan menambah beban tetap PLN sampai Rp 700 miliar per tahun. Bukan jumlah yang sedikit untuk perusahaan yang pada 2003 rugi Rp 3,56 triliun itu. Setelah permintaan kenaikan gaji ditolak, direksi dan komisaris PLN sebetulnya sudah menyodorkan permintaan lain di RUPS.
Menurut mereka, pemerintah seharusnya memberikan penghargaan kepada manajemen dan karyawan PLN, yang bisa menekan kerugian lebih dari 40 persen, dari Rp 6,06 triliun pada 2002 menjadi Rp 3,53 triliun pada 2003. Jumlah ”uang penghargaan” yang diminta manajemen PLN sekitar Rp 234 miliar, kurang dari separuh jika gaji dinaikkan.
Permintaan itu dikabulkan Roes, yang hadir dalam RUPS mewakili Menteri Negara BUMN ketika itu, Laksamana Sukardi. Menurut Roes, kerja keras direksi, komisaris, dan karyawan PLN perlu dihargai. Untuk itulah dia lalu menawarkan uang jasa produksi sebagai bentuk pemberian penghargaan. ”Itu hak pemegang saham untuk memutuskan,” ujarnya.
Dalam salinan risalah RUPS yang diperoleh Tempo, direksi dan komisaris memperoleh uang jasa produksi—diberikan dalam bentuk tantiem (bonus)—yang nilainya Rp 4,3 miliar. Penerima tertinggi adalah Direktur Utama PLN Eddie Widiono (Rp 579,45 juta). Anggota komisaris dan direksi yang lain menerima Rp 43 juta-Rp 521 juta.
Di antara penerima terdapat nama Menteri Perindustrian Andung Nitimihardja, yang ketika itu menjadi komisaris utama PLN. Karyawan mendapat uang jasa 1,5 kali gaji. Siapa nyana, nyanyi merdu setahun lalu itu kini berubah menjadi lagu gundah-gulana di Gedung Bundar, kantor Kejaksaan Agung.
Adalah Serikat Pekerja PLN yang melaporkan dugaan korupsi itu. Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Hendarman Supandji, bagi-bagi ”bonus” itu melanggar Pasal 62 UU No. 1/1995 tentang Perseroan Terbatas: ”Tantiem diambil dari laba perusahaan”. Nah, kok perusahaan yang masih merugi membagikan tantiem?
Kalaupun hendak disebut jasa produksi, kata Hendarman, istilah itu tidak tertera dalam UU Perseroan Terbatas. Tim penyidik masih terus merumuskan siapa individu yang paling bertanggung jawab. ”Harus dilihat siapa yang menyuruh dan berperan mengeluarkan uang itu,” ujar Hendarman. Kejaksaan sudah memeriksa Roes Aryawijaya dan sejumlah anggota direksi PLN.
Menurut Koordinator Sektor Energi Infid (International NGO Forum on Indonesian Development), Fabby Tumiwa, keputusan rapat itu juga menabrak Pasal 14 UU No. 19/2003 tentang BUMN: ”Untuk hal-hal tertentu penerima kuasa wajib terlebih dulu mendapat persetujuan Menteri sebelum diputuskan RUPS”. Roes berkilah, keberadaannya di RUPS memiliki otoritas penuh sebagaimana yang dimiliki Menteri Negara BUMN.
Eddie sendiri mengatakan, pemberian bonus merupakan hak pemegang saham. ”Saya anggap itu sebagai suatu pengakuan atas prestasi kami,” katanya. Sedikit pembelaan meluncur dari Menteri Negara BUMN Sugiharto. Menurut dia, ada aturan tentang bentuk tantiem bagi perusahaan merugi, tapi kejaksaanlah yang tahu di mana bedanya.
Stepanus S. Kurniawan, Muchamad Nafi, Astri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo