Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Stempel Halal Bikin Mahal

Kewajiban sertifikasi halal menuai penolakan. Protes datang dari pelaku usaha di Tanah Air dan mancanegara.

31 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEGELISAHAN Dewi Rijah Sari berangsur surut setelah menerima surat elektronik dari anggota timnya yang sedang berada di Kementerian Agama, Jakarta Pusat. Pada Senin pekan lalu, Ketua Bidang Teknis dan Ilmiah Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia (Perkosmi) ini mendapat kabar bahwa jadwal penerapan wajib sertifikasi halal untuk produk kosmetik ditangguhkan.

Kepastian penundaan itu diperoleh setelah Perkosmi mengadakan rapat dengan Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Muhammad Thambrin. Sejak Juni lalu, kelompok pelaku usaha kosmetik bolak-balik ke Kementerian. Tujuannya meminta kejelasan soal penerapan sertifikasi halal bagi industri produk kecantikan. "Mungkin karena kami proaktif, kewajiban sertifikasi halal untuk produk kosmetik akhirnya diterapkan pada tahun ketiga bersamaan dengan obat," kata Dewi, Kamis pekan lalu.

Perubahan jadwal itu tercantum dalam draf terbaru rancangan peraturan pemerintah tentang produk halal yang tengah disusun pemerintah. Dalam rancangan tersebut, kewajiban sertifikasi halal untuk kelompok industri kosmetik baru berlaku pada awal 2019.

Dewi rajin memantau proses penggodokan rancangan peraturan pemerintah karena produk hukum ini ditargetkan rampung pada akhir Oktober. Menurut amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang diteken pada Oktober 2014, aturan pelaksana beleid tersebut harus terbentuk dalam dua tahun. Dengan aturan ini, semua produk kosmetik, makanan-minuman, vaksin, dan obat-obatan harus memperoleh sertifikasi halal.

Meski Kementerian Agama telah meloloskan penangguhan jadwal sertifikasi halal produk kosmetik, Dewi masih belum sepenuhnya lega. Soalnya, sertifikasi halal wajib untuk semua produk kosmetik yang masuk, beredar, ataupun diperdagangkan di Indonesia. "Anggota yang terkena dampak pasti dari hulu ke hilir," katanya. Menurut catatan Dewi, anggota Perkosmi bukan hanya dari industri, melainkan juga pemasok bahan baku, kemasan, produsen, distributor, dan hingga pelaku retail.

Data Kementerian Perindustrian menunjukkan jumlah perusahaan kosmetik yang tercatat di Indonesia ada 760 perusahaan. Dari angka tersebut, sebagian besar merupakan kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hanya 23 perusahaan yang masuk kategori berskala besar. "Artinya, kalau kebijakan ini tetap diberlakukan, yang kena adalah pelaku UMKM," ujarnya.

Belum lagi soal persaingan bisnis dengan produk kosmetik asing. Menurut Dewi, produk-produk kecantikan Tanah Air bisa terancam kurang kompetitif karena kebijakan sertifikasi halal membuat proses verifikasi suatu produk molor hingga 42 hari kerja. Sebagai komoditas yang selalu mengikuti tren, tambahan waktu ini jauh lebih lama daripada ketentuan Asean Harmonized Cosmetic Regulatory Scheme. Aturan itu menyebutkan produk kecantikan cukup melewati proses notifikasi selama 14 hari kerja sebelum akhirnya dipasarkan.

Pelaku usaha industri farmasi juga sempat menyampaikan penolakan menerapkan sertifikasi halal. Kelompok industri ini bahkan meminta sektor farmasi dikeluarkan dari kebijakan sertifikasi halal. "Sikap industri farmasi sejalan dengan posisi yang diambil oleh Kementerian Kesehatan, yang menginginkan agar obat-obatan dan vaksin dikeluarkan atau dikecualikan dari kewajiban sertifikasi halal," kata Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturer Group Parulian Simanjuntak, Kamis pekan lalu.

Parulian beralasan, penerapan kewajiban sertifikasi halal berpotensi menimbulkan persoalan dalam pengadaan bahan baku obat-obatan. Akibat aturan itu, bahan baku yang mayoritas diimpor harus melewati proses sertifikasi halal lebih dulu sebelum diproduksi dan diedarkan. Saat ini ada 22 ribu izin edar obat-obatan di Indonesia. Jika kemampuan sertifikasi pemerintah per tahun hanya 1.000 izin, butuh waktu 22 tahun untuk merampungkan sertifikasi halal industri farmasi. "Kebijakan ini mengakibatkan kesempatan masyarakat untuk mendapat obat jenis terbaru menjadi tertunda," katanya.

Pelaku usaha, menurut Parulian, juga bakal ketiban beban biaya tambahan. Meski tak memberi angka perkiraan kenaikan ongkos, Parulian mengatakan investasi yang bengkak itu berasal dari belanja modal perusahaan untuk membangun kapasitas pengolahan khusus produk obat-obatan halal. "Undang-undang ini pada akhirnya mengharuskan kami mempunyai dua sistem supply chain," katanya. "Bukan hanya produk akhir yang disertifikasi, melainkan proses dari a sampai z."

Berbeda dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian tak mempersoalkan kewajiban sertifikasi halal. Namun, menurut Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Gati Wibawaningsih, pembahasan aturan pelaksanaan sertifikasi halal tidak boleh gegabah agar tidak membebani pelaku usaha. "Yang menjadi masalah sekarang, berapa biaya sertifikasinya," kata Gati saat ditemui di kantornya pada Rabu pekan lalu.

Kebijakan ini akan diterapkan pertama pada produk makanan dan minuman. Banyak industri di kelompok ini yang berskala kecil. "Jangan sampai hanya karena tak mampu memenuhi sertifikasi halal, industri-industri kecil sampai tutup," kata Gati.

Direktur Urusan Agama Islam Muhammad Thambrin mengatakan tak bisa menghilangkan kewajiban penerapan sertifikasi halal karena merupakan amanat undang-undang. Namun ia memastikan kebijakan sertifikasi halal bakal mempertimbangkan banyak hal. Dia tak akan membebani pelaku usaha, terutama dari kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana berharap pemerintah tak buru-buru menerapkan kewajiban sertifikasi halal tersebut. Toh, memiliki Undang-Undang Jaminan Produk Halal bukan garansi untuk mendongkrak posisi Indonesia sebagai negara penghasil produk halal. Merujuk data Global Islamic Economy Indicator 2015, peringkat Indonesia sebagai negara penghasil produk halal masih terpaut 10 jenjang dari Malaysia, yang menduduki peringkat pertama dalam kategori umum. Danang menyarankan Kementerian Agama, beserta tim perumus, menunda dulu penerbitan peraturan pemerintah sambil berfokus memperbaiki Undang-Undang Jaminan Produk Halal.

Kritik tak hanya datang dari dalam negeri. Negara-negara mitra dan kamar dagang asing menyampaikan hal serupa. "Beberapa kali perwakilan Kamar Dagang dan Industri Amerika, Kanada, Australia, dan beberapa negara datang ke Apindo menanyakan maksud kebijakan ini," kata Danang, Rabu pekan lalu.

Brasil, misalnya, menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) gara-gara kewajiban sertifikasi halal daging impor. Brasil menganggap kebijakan tersebut sebagai bentuk proteksi perdagangan. Sengketa perdagangan itu tercatat pada Indonesia-Measures Concerning the Importation of Chicken Meat and Chicken Products Nomor DS: 484. Sidang panel kedua (second substantive meeting) berlangsung di kantor WTO, Jenewa, Swiss, pada 11-12 Oktober 2016.

Saat datang ke Jakarta akhir Juli lalu, perwakilan Malaysia juga sempat mengeluh kesulitan mengurus sertifikasi halal. Padahal, menurut Menteri Perdagangan Internasional dan Industri Malaysia Dato' Sri Mustapa Mohamed, produk Malaysia sudah mendapat sertifikat halal dari Jabatan Kemajuan Islam Malaysia.

Ayu Prima Sandi, Pingit Aria

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus