Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jangan Tunggu Tahun 2004

Mencemaskan. Indonesia terancam krisis anggaran yang akut gara-gara penerbitan obligasi yang tidak hati-hati dan lonjakan bunganya yang harus dibayar kini dan nanti. Mungkinkah diatasi?

25 November 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH akhirnya buka kartu. Beban pembayaran utang dalam negeri diramalkan akan mengguncang perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Pada mulanya anggaran negara akan diimpit oleh beban pembayaran bunga obligasi yang makin besar. Setelah itu, pada gilirannya utang pokok akan membebani anggaran negara karena jatuh temponya yang tidak seimbang. Puncaknya adalah tahun 2004 hingga tahun 2009. Pada masa itu, pembayaran utang pokok yang jatuh tempo akan melejit jauh di atas Rp 75 triliun. Celakanya, pada periode yang sama, pembayaran bunga obligasi diperkirakan akan berkisar pada angka Rp 50 triliun. Gambaran kelam itu diungkapkan oleh Kepala Pusat Manajemen Obligasi Negara Departemen Keuangan, A. Fuad Rahmany. Dalam sebuah seminar di Jakarta Kamis dua pekan silam, Fuad mengungkapkan angka-angka yang mencemaskan. Sementara pada tahun 2003 pembayaran utang pokok yang jatuh tempo hanya Rp 14 triliun, tahun berikutnya akan melonjak lima kali lipat menjadi Rp 75 triliun. Angka itu terus membesar sampai tahun 2007, ketika jumlahnya hampir mencapai Rp 100 triliun. Tanpa basa-basi, Fuad mengatakan bahwa tekanan fiskal akibat utang dalam negeri ini akan memunculkan efek spiral dan komplikasi yang mendalam yang bisa memicu ledakan krisis berikutnya. Sementara itu, Menteri Keuangan Boediono mengakui bahwa beban utang dalam negeri memang sangat berat, sama beratnya dengan utang luar negeri. Bahkan bunga utang dalam negeri pemerintah, yang di atas 10 persen, masih jauh lebih tinggi ketimbang utang luar negeri. Saat ini pemerintah telah menerbitkan surat utang senilai Rp 675 triliun yang terdiri dari obligasi, dalam rangka penjaminan untuk rekapitalisasi perbankan dan kredit program. Ditambah dengan utang luar negeri sekitar Rp 700 triliun, total utang Indonesia mencapai 90 persen dari produk domestik bruto (PDB). "Salah besar jika fokus kita hanya utang luar negeri, karena utang dalam negeri juga sangat besar dengan bunga yang lebih tinggi," Boediono menegaskan. Ledakan utang dalam negeri ini sebetulnya sudah diprediksi sejak dulu. Biaya rekapitalisasi perbankan di Indonesia ternyata sangat besar, bahkan terbesar dalam sejarah krisis ekonomi yang pernah melanda suatu negara. Biaya awal rekapitalisasi di Indonesia mencapai 71 persen dari PDB. Bandingkan dengan dua negara Asia yang sama-sama dilanda krisis, yakni Thailand (34 persen) dan Korea Selatan (28 persen). Selain itu, kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga masih membawa bekas hingga kini dengan nilai yang tidak bisa dibilang kecil. Tak aneh jika pemerintah harus mengeluarkan obligasi dalam jumlah sangat besar hanya dalam tempo dua tahun, dan dengan jangka waktu (maturity) hanya lima tahun. Angka-angka itu pasti membingungkan pemerintah sendiri, terutama saat jatuh tempo kelak. Deputi Gubernur Bank Indonesia, Miranda Goeltom, mengatakan bahwa pemerintah sebetulnya sudah merancang jangka waktu obligasi dengan matang. Ketika obligasi itu dirancang pada 1999, situasi perekonomian memang membaik, program rekapitalisasi perbankan mulai berjalan, kondisi perbankan juga membaik, dan penjualan aset sudah banyak dilakukan. "Sehingga, pembayaran obligasinya pun bisa dirinci dan profilnya memang seperti yang sekarang ada," katanya. Sayangnya, setelah itu perekonomian Indonesia kembali memburuk. Seiring dengan itu, kondisi perbankan tidak kunjung membaik. Biaya rekapitalisasi malah membengkak. Rekapitalisasi Bank Bali, misalnya, menghabiskan dana Rp 5,3 triliun, padahal semula diperkirakan hanya akan menelan Rp 1,8 triliun. Begitu pula Bank Mandiri, yang pada awalnya dihitung hanya membutuhkan Rp 138 triliun, ternyata menghabiskan Rp 178 triliun. Selain itu, masih ada penutupan bank seperti Bank Putera Multikarsa dan Unibank. Di luar itu, masih ada proses merger dan akuisisi bank-bank rekapitalisasi yang ternyata juga membutuhkan suntikan dana sehingga pemerintah harus mengeluarkan obligasi baru. Kalaupun obligasi daur ulang (recycled bond) yang dipakai, pemerintah juga tidak bisa mendapatkan manfaat dari obligasi yang sudah ditebus itu. Apalagi, dalam kondisi perekonomian seperti sekarang, beban pemerintah semakin berat saja, terutama karena suku bunga terus menanjak sepanjang tahun ini. Tingkat bunga, yang pada awal tahun ini diprediksi hanya 11 persen, ternyata sekarang bertahan pada angka 17 persen. Ini akan menambah beban pembayaran bunga paling tidak sekitar Rp 13 triliun dari rencana awal tahun 2001 sebesar Rp 55,8 triliun. Setiap suku bunga meleset satu persen, dampaknya ke anggaran sekitar Rp 2,2 triliun. Rupiah juga terus melemah hingga di bawah Rp 10.500 per dolar AS dan inflasi mungkin juga akan menembus dua digit. Akibatnya, Bank Indonesia masih belum berani menurunkan suku bunga. Jika situasi tidak berubah, bukan tidak mungkin tingkat suku bunga tinggi akan bertahan hingga tahun depan. Meskipun demikian, Boediono dan Fuad tetap yakin bahwa masalah itu bisa diatasi. Menurut Boediono, kunci untuk mengatasi masalah itu adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan cara itu, pemerintah akan bisa membayar kembali obligasi dan menurunkan tekanannya terhadap anggaran negara. Menaikkan pertumbuhan ekonomi, katanya, bisa ditempuh antara lain dengan meningkatkan ekspor, mengamankan pasar dalam negeri dari serbuan negara pesaing seperti Cina, dan menarik investasi asing sebesar-besarnya. Repotnya, yang disebut Boediono saat ini masih jauh dari harapan. Laju ekspor tengah menurun, sementara serbuan barang dari Cina bak air bah, mulai barang elektronik hingga kendaraan bermotor. Sementara itu, kita tak bisa pula berharap pada investasi asing. Miranda juga sejalan dengan Boediono. Ekonomi yang tumbuh menjadi prasyarat penting bagi penyelesaian masalah obligasi. Tapi prasyarat ini sangat sulit diraih. Belum lagi berbagai prediksi yang meramalkan perekonomian dunia pada tahun ini akan suram. Sehingga, agak berlebihan mengharapkan perekonomian Indonesia bisa tumbuh lebih baik dibanding tahun ini. Langkah yang diusulkan Fuad lebih masuk akal, kendati bakal menimbulkan bahaya yang jauh lebih besar di kemudian hari. Menurut Fuad, salah satu caranya adalah membayar obligasi dengan obligasi yang baru atau semacam penjadwalan kembali (rescheduling). "Gali lubang, tutup lubang," katanya. Cuma, jika bunga obligasi yang sekarang sudah cukup tinggi, obligasi yang diterbitkan berikutnya harus lebih tinggi. Dengan solusi seperti ini, jika tidak berhati-hati Indonesia bisa terjerumus dalam perangkap utang dalam negeri. Dan usulan Fuad ini juga hanya akan efektif bila pasar obligasi sudah tumbuh. Inilah repotnya. Pasar obligasi di Indonesia masih sangat kecil. Selain itu, belum ada benchmark berupa yield curve sehingga investor masih belum memiliki acuan dalam membeli obligasi. Jadi, buntukah jalan untuk mengatasi ledakan krisis? Menurut Miranda, masalah obligasi ini sebetulnya bisa tak membebani anggaran negara. Tapi, syaratnya sangat berat, yakni harga minyak mentah di pasar internasional bisa melonjak ke US$ 40 per barel. Meng-harapkan harga minyak setinggi itu samalah seperti pungguk merindukan bulan. Apalagi kini harga minyak dunia hanya 15-16 per barel. Di samping itu, faktor harga minyak internasional praktis tak bisa dikontrol karena sangat bergantung pada pasar dan para pemain minyak dunia, termasuk negara-negara penghasil minyak yang bukan anggota Organisasi Negara Eksportir Minyak (OPEC). Sebetulnya masih ada satu jalan yang bisa mempercepat pengurangan obligasi, yakni penjualan aset di BPPN. Sayangnya, aset yang berasal dari kredit macet perbankan dan setoran dari para bankir tak semuanya moncer sehingga tak pula gampang dijual. Memang, tahun ini, dengan target yang dipatok dalam APBN 2001 sebesar Rp 27 triliun, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sudah mengantongi Rp 24 triliun. Tapi, bagaimana tahun depan? Banyak pihak ragu karena aset yang tersisa banyak yang tidak likuid atau nilainya jatuh. BPPN sendiri memprediksi tingkat pengembalian aset yang berada di tangannya hanya sekitar 32 persen. Alhasil, jalan masih gelap untuk mencari penyelesaian bagi obligasi pemerintah. Tapi, bagaimanapun, masalah obligasi ini harus dipecahkan. Dengan beban yang semakin berat, Indonesia pun terseok-seok menuju tahun 2004. Jika tidak segera dicarikan jalan keluarnya sekarang, Indonesia akan sama sekali tidak siap mengatasinya kelak. M. Taufiqurohman, Dewi Rina Cahyani, Agus S. Riyanto, Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus