Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mewaspadai Akses Cina di Pasar Dunia

Setelah Republik Rakyat Cina resmi menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia, persaingan dipastikan akan lebih ketat. Posisi Indonesia terancam?

25 November 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBERAPA siap Indonesia menghadapi Republik Rakyat Cina (RRC), yang medio November lalu "naik kelas" menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization atau WTO)? Jawabannya bisa bervariasi. Yang pasti, kita harus mewaspadai dampaknya yang kelak bisa merugikan ekspor Indonesia. Soalnya, sebagai anggota WTO, RRC punya hak dan kewajiban yang sama dengan anggota WTO lainnya dalam mengakses pasar dunia. Pendek kata, produk RRC akan lebih leluasa menyerbu pasar anggota WTO yang lain dan berbagai kesulitan yang dulu merintangi laju ekspornya di pasar dunia sekarang tak lagi ada. Namun, Kepala Badan Ekspor Nasional, Gusmardi Bustami, melihat bergabungnya RRC ke WTO justru menguntungkan. Alasannya, selain wajib membuka pasarnya, negeri itu mesti menurunkan tarif bea masuk. Produk Indonesia seperti kopi siap minum, minyak sawit, serta beberapa komoditi pertanian yang selama ini dikenai bea masuk 15-30 persen kelak akan mudah lolos ke pasar RRC. Harganya pun lebih kompetitif. Hanya, barang-barang Indonesia yang masuk ke sana tidak seberapa dibandingkan dengan produk RRC yang masuk ke negeri ini. Bukan rahasia lagi, produk RRC yang berjaya di sini mencapai ratusan jenis, dari sandal plastik, mainan anak-anak, sampai aneka obat dan sepeda motor. Menghadapi potensi ekspor Cina yang begitu hebat, produk Indonesia yang jumlahnya terbatas itu tentulah kalah bertarung. Tak aneh bila pakar perdagangan internasional Mari Pangestu dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) sejak dini mengingatkan agar Indonesia memiliki strategi yang komprehensif untuk menghadapi RRC. Tanpa strategi, produk Indonesia hanya akan menjadi bulan-bulanan produk RRC. Dan Mari menyesalkan Indonesia yang belum memiliki strategi bersaing itu. Padahal, jika Indonesia pandai memanfaatkan peluang masuknya RRC ke WTO, surplus perdagangan semu negeri ini terhadap RRC bisa dihilangkan. Maksudnya? Seperti diketahui, sejak 1994, neraca perdagangan Indonesia-RRC selalu surplus. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Oktober 2000, surplus perdagangan Indonesia-RRC mencapai US$ 776,4 juta?naik dibandingkan dengan periode yang sama pada 1999, yang besarnya US$ 766,7 juta. Namun, kalkulasi BPS ini tidak menyinggung produk RRC yang masuk secara gelap. Contohnya barang elektronik. "Jika impor gelap ini juga dihitung, sangat boleh jadi neraca perdagangan Indonesia-RRC minus," kata Soy M. Pardede, Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Perdagangan. "Sekarang mereka tidak boleh lagi memasukkan barang secara ilegal. Bisa kena sanksi WTO," ujarnya. Namun, mengekspor produk Indonesia ke RRC bukanlah pekerjaan mudah. Banyak kesamaan di antara produk yang dihasilkan kedua negara dan biasanya produk RRC lebih murah. Ini dimungkinkan karena struktur industri yang kuat?dari hulu sampai hilir?plus biaya produksi yang lebih rendah, yang membuat produk Cina sangat kompetitif. Sebaliknya, produk Indonesia seperti tekstil, garmen, sepatu, dan barang elektronik akan sulit bersaing karena dari segi kualitas ataupun harga umumnya tidak lebih baik atau bahkan tidak sebaik barang-barang RRC. Akibatnya, di Amerika Serikat dan Uni Eropa?pasar utama Indonesia?tekstil dan pakaian jadi dari Indonesia kelak menghadapi persaingan yang ketat dengan RRC, yang juga menikmati peningkatan kuota. Bukan mustahil segmen pasar Indonesia akan diserobot Cina. Di sektor industri sepatu, keanggotaan Cina di WTO, menurut Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia Anton J. Supit, akan mempersempit ruang gerak sepatu Indonesia di pasar dunia. Soalnya, harga produk RRC lebih murah karena kandungan impor sepatu RRC sangat rendah, sedangkan kandungan impor sepatu Indonesia amat tinggi. Produk kulit Indonesia memang melimpah, tapi kualitasnya tidak memadai sehingga industri sepatu di sini selalu menggunakan kulit impor. Penyebabnya terutama ada pada bahan kimia untuk penyamakan kulit yang begitu mahal karena berbagai pungutan pajak. Akibatnya, biaya menggunakan kulit lokal lebih tinggi dari kulit impor. Di RRC, beban pajak yang "membunuh industri lokal" itu tak di-temukan. Selain itu, dengan keanggotaan WTO-nya, akan semakin banyak investasi asing mengalir ke RRC. Berbagai insentif pajak dan besarnya pasar domestik?1,2 miliar jiwa?adalah daya pikat RRC yang tak tertandingi negara mana pun. "Skala ekonominya mudah tercapai. Mau produksi televisi satu juta unit setahun, pasarnya ada," kata Soy. Nah, selain dalam banyak hal lebih efisien, kesiapan RRC untuk menjadi negara industri setingkat Korea dan Jepang tak diragukan lagi. Ketika dunia usaha Indonesia masih meributkan upah minimum, RRC sudah mampu membayar buruhnya lebih tinggi tanpa menyebabkan harga produknya jadi lebih mahal. Ibarat berlomba, kendati belum dimulai, Indonesia sudah ketinggalan. Hartono, Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus