Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Head of Research Colliers Indonesia, Ferry Salanto, menyatakan bahwa program Presiden Terpilih Prabowo Subianto yang menargetkan pembangunan 3 juta rumah, dengan 1 juta di antaranya berupa hunian vertikal tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Ia menilai bahwa angka tersebut terlalu besar untuk segmen properti apartemen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saat ini totalnya hanya tidak sampai 300 ribu unit. Jadi kalau misalnya 1 juta unit itu, bangunnya perlu waktu yang sangat panjang," katanya dalam acara Colliers Virtual Media Briefing yang diadakan Rabu, 2 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selanjutnya, Ferry memandang bahwa rencana tersebut lebih baik dibangun di tengah-tengah perkotaan dan memanfaatkan aset kosong. Ia juga menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan opsi penyewaan sebelum pembelian, sehingga mempermudah akses masyarakat untuk memiliki hunian, terutama karena program ini ditujukan bagi golongan menengah ke bawah.
"Masih di tengah kota sehingga produktivitas penghuni terjaga dengan tidak terlalu banyak menghabiskan waktu ketika berangkat kerja," Katanya.
Bagi Ferry, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk membangun hunian vertikal di kawasan perkotaan. Namun, hal ini harus disertai dengan harga yang terjangkau, agar masyarakat Indonesia dapat menikmati manfaat dari program 1 juta hunian vertikal tersebut.
Sebelumnya, Prabowo Subianto telah berjanji akan merealisasi program tiga juta rumah setiap tahun pada masa pemerintahannya. Dua juta unit rumah akan dibangun di pedesaan dan satu juta unit apartemen di perkotaan. Program tersebut diperkirakan akan menyedot anggaran sebesar Rp 60 triliun.
Selain persoalan target waktu yang tidak mungkin memakan waktu sebentar, apalagi satu tahun seperti yang direncanakan, program ini juga diragukan efektivitasnya oleh sejumlah kalangan. Salah satunya Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Elly Rosita Silaban yang ragu program ini dapat membantu pekerja memiliki hunian. Pasalnya, produktivitas yang ada sering tak sesuai dengan kebutuhan pekerja, seperti lokasi yang jauh dari tempat kerja.
Selain itu, sejumlah ekonom tak yakin program tersebut bisa mengatasi masalah backlog perumahan atau kesenjangan antara total hunian terbangun dan jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat di Indonesia. Apalagi angka backlog perumahan pada 2023 hanya turun tipis 6 persen di level 12,7 juta unit dibanding pada 2010 yang mencapai 13,5 juta unit.