Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Direktorat Jenderal Pajak menerapkan sistem Coretax untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Pandjaitan yakin sistem Coretax menambah penerimaan negara.
Sejumlah ekonom menilai dibutuhkan lebih dari sekadar penerapan sistem Coretax untuk meningkatkan penerimaan pajak.
UNTUK menambah pemasukan negara, pemerintahan Prabowo Subianto melakukan berbagai upaya untuk menggenjot penerimaan pajak. Salah satunya menerapkan sistem Core Tax Administration System (CTAS) atau Coretax atau sistem pajak inti. Sistem ini mengotomatiskan layanan administrasi pajak dan memberikan analisis data berbasis risiko untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Implementasi sistem pajak inti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan yang terbit pada 14 Desember 2024. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Coretax dibangun sebagai upaya reformasi perpajakan dengan mengintegrasikan semua sistem administrasi perpajakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menerapkan sistem Coretax per 1 Januari 2025. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti menjelaskan bahwa Coretax merupakan bagian dari reformasi perpajakan di bidang teknologi informasi dan basis data. "Sistem Coretax menyederhanakan proses kerja di Direktorat Jenderal Pajak sehingga pegawai mempunyai efisiensi waktu kerja yang pada gilirannya dapat mengoptimalkan penggalian potensi," kata Dwi kepada Tempo, Kamis, 16 Januari 2025.
Coretax mengintegrasikan beberapa aplikasi perpajakan yang selama ini digunakan secara terpisah, khususnya untuk pemotongan pajak penghasilan (PPh) dan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN). Direktorat Jenderal Pajak berharap integrasi ini dapat mempercepat prosedur pemungutan pajak sehingga lebih efisien.
Selain itu, Dwi mengungkapkan bahwa fitur prepopulasi data, yakni pengisian otomatis data dari pihak-pihak terkait, akan memudahkan wajib pajak menyusun dan melaporkan surat pemberitahuan (SPT). Dengan data yang sudah terisi otomatis, ia yakin potensi kesalahan input dapat diminimalkan.
Kementerian Keuangan memproyeksikan sistem Coretax dapat meningkatkan rasio pajak hingga 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dengan posisi rasio pajak saat ini yang sebesar 10,02 persen, Indonesia bisa mencetak rasio pajak hingga 11,5 persen dengan sistem inti tersebut. Rasio pajak Indonesia dalam satu dekade terakhir stagnan di kisaran 10 persen terhadap PDB. Sedangkan rata-rata rasio pajak negara-negara di Asia Tenggara melampaui 15 persen dari PDB.
Tahun ini pemerintah membidik penerimaan pajak sebesar Rp 2.189,3 triliun atau setara dengan 9 persen dari PDB. Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan kenaikan 13,29 persen atau Rp 256,9 triliun dari realisasi pada 2024, yang sebesar Rp 1.932,4 triliun.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan memberikan keterangan seusai rapat dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jakarta, 5 Desember 2024. BPMI Setpres/Rusman
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan pun yakin penggunaan sistem Coretax mampu menambah penerimaan negara secara signifikan. "Melalui implementasi Coretax, pemerintah dapat memperkuat fondasi ekonomi Indonesia untuk menghadapi tantangan global di masa depan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa, 14 Januari 2025.
Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi itu merujuk pada pandangan Bank Dunia yang menyatakan pemungutan pajak di Indonesia tidak efisien. Berdasarkan laporan Bank Dunia yang bertajuk "Indonesia Economic Prospects December 2024: Funding Indonesia’s Vision 2045", buruknya sistem di Indonesia membuat pajak yang belum dipungut (tax gap) mencapai 6,4 persen dari PDB atau senilai Rp 1.500 triliun.
Dalam laporan tersebut, tingginya tax gap di Indonesia disebabkan oleh tingkat kesenjangan kepatuhan pajak (compliance gap) yang mencapai 3,4 persen. Ditambah tingkat ketidaktepatan kebijakan (policy gap) yang mencapai 2,7 persen dari PDB.
Karena itu, Luhut mengklaim sistem digitalisasi perpajakan ini dapat mengoptimalkan pajak hingga Rp 1.500 triliun dalam lima tahun ke depan. Artinya, setiap tahun sistem Coretax diharapkan mampu menarik pajak hingga Rp 300 triliun.
Namun sejumlah pihak ragu sistem Coretax bisa menambah penerimaan negara sebesar itu. Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis, Fajry Akbar, menjelaskan bahwa sistem Coretax memang dapat memperbaiki pengawasan terhadap wajib pajak. Misalnya menggunakan manajemen risiko untuk memilih wajib pajak yang berisiko tinggi untuk diperiksa, terutama mereka yang tidak melaporkan SPT.
Contoh lain, kata Fajry, sistem Coretax akan memperbaiki proses di Direktorat Jenderal Pajak sehingga pengawasan terhadap wajib pajak menjadi lebih efisien dan bisa berlangsung secara berkelanjutan. "Namun, kalau dibilang mampu menghasilkan penerimaan sampai Rp 1.500 triliun, menurut saya, angka itu terlalu fantastis," ucapnya kepada Tempo, Kamis, 16 Januari 2025.
Fajry menilai kunci untuk meningkatkan penerimaan pajak justru adalah penggunaan data pihak ketiga. Artinya, pengawasan tidak bisa hanya bergantung pada data perbankan, tapi juga perlu memanfaatkan data kementerian, pemerintah daerah, atau bahkan sektor swasta. Dengan begitu, otoritas pajak dapat lebih tepat memantau dan meningkatkan kepatuhan pajak.
Keraguan atas besaran potensi tambahan penerimaan pajak dari penerapan Coretax juga diungkapkan ekonom Bright Institute, Awalil Rizky. Ia mengatakan perkiraan tambahan penerimaan pajak sebesar Rp 1.500 triliun hanya didasarkan pada potensi pajak yang ada dan kemungkinan perbaikannya. "Tanpa penerapan Coretax pun, secara alamiah penerimaan pajak cenderung meningkat. Namun lajunya yang terkadang melambat," ujarnya.
Menurut Awalil, penerapan Coretax memang berpotensi memperbaiki sistem administrasi perpajakan secara signifikan. Namun hal itu belum cukup untuk bisa meningkatkan penerimaan pajak agar mencapai target.
Awalil berpandangan, ada tiga hal yang perlu diterapkan pemerintah untuk memperbaiki perpajakan di Tanah Air. Pertama, membuat peraturan yang efektif meminimalkan penghindaran pajak dan mendorong kepatuhan. Kedua, kemampuan aparat fiskal yang terlatih secara teknis dan memiliki integritas moral. Ketiga, penegakan hukum yang lebih ketat terhadap pelanggaran pajak.
Selain itu, Awalil menekankan bahwa penerimaan pajak sangat bergantung pada kinerja ekonomi secara keseluruhan. Jika pertumbuhan ekonomi tidak meningkat, penerimaan pajak tidak akan tumbuh pesat. Pertumbuhan ekonomi yang meningkatkan pendapatan masyarakat diperlukan untuk mendukung peningkatan penerimaan pajak. Potensi penerimaan pajak juga perlu dianalisis berdasarkan sektor-sektor ekonomi tertentu yang bisa memberikan kontribusi besar.
Untuk mencapai target penerimaan pajak yang ambisius tahun ini, Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menyarankan pemerintah berfokus pada pajak kelas atas yang potensinya besar dan biaya pengumpulannya rendah. Hal itu juga harus disertai dengan penutupan kebocoran pajak yang selama ini dianggap signifikan, seperti di sektor perumahan dan otomotif, yang sering digunakan orang kaya untuk menyembunyikan kekayaannya dengan memanipulasi harga properti serta kendaraan.
Yusuf juga mendorong pemerintah memaksimalkan penerimaan pajak dari sektor pertambangan. Meski sektor pertambangan menerima insentif perpajakan, seperti pada program penghiliran nikel, penerimaan pajaknya rendah akibat manipulasi pengurangan kewajiban pajak. Praktik pertambangan dan ekspor ilegal juga memperburuk potensi penerimaan pajak dari sektor ini.
Pada 14 November 2024, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, untuk menambah pemasukan negara, pemerintah mempertimbangkan pungutan pajak dari ekonomi bawah tanah atau underground economy. Organization for Economic Co-Operation and Development mendefinisikan ekonomi bawah tanah sebagai kegiatan-kegiatan ekonomi, baik secara legal maupun ilegal, yang terlewat dalam penghitungan PDB.
Pada 2022, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mengungkapkan bahwa perekonomian Indonesia sangat terbebani oleh ekonomi bawah tanah, termasuk dari aktivitas tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme. PPATK memperkirakan ekonomi bawah tanah di Indonesia sebesar 8,3-10 persen dari PDB atau sekitar Rp 417,5 triliun. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo