EKSPOR kodok menurun drastis. Kalau tahun 1979 jumlahnya sekitar
1300 ton maka tahun berikutnya tinggal 700 ton. Kalangan
eksportir menduga jatuhnya komoditi itu karena Gubernur Jawa
Timur Sunandar Priyosoedarmo melarang penangkapan kodok sejak
awal tahun 1980. Padahal daerahnya merupakan pengekspor
terbesar, 60% dari seluruh ekspor.
Tetapi seorang eksportir kodok dari Surabaya tidak menganggap
larangan gubernur itu yang menjadi penyebab utama. "Kendatipun
ada larangan toh jumlah penangkap kodok bertambah banyak. Cuma
soalnya harga kodok memang lemah sekarang ini," kata pengusaha
yang baru bergerak setahun dalam bisnis kodok. Karena pasaran
melorot di luar negeri dia sendiri membatasi pembelian sampai
10% saja setiap hari.
Sedangkan harga belinya turun dari Rp 1100/kg menjadi Rp 1000.
Buat perusahaan yang jauh lebih tua guncangan harga ekspor
sekitar 10% tidak begitu berpengaruh bagi produksi PT Sekar Bumi
yang bergerak sejak tahun 1975 tiap hari tetap memproses 4
sampai 6 ton paha kodok. Pasar tempat pelemparannya rupanya
cukup kuat. "Karena kelebihan stokl biasanya negara-negara
penglmpor tetap mau menglmpor sekalipun dengan harga yang lebih
rendah," kata Singamurti, manajer Sekar Bumi.
Perusahaan yang berdiri di atas tanah 1 ha dengan buruh 150
orang itu saban bulan rata-rata mengekspor 50 ton paha kodok.
Harga ekspor perbungkus @ 2,27 kg US$4. Perusahaan yang memiliki
gudang pendingin berkapasitas 200 ton dan merupakan yang
terbesar di Jawa Timur, mengekspor kodok ke Belanda, Prancis,
Belgia, Italia, Spanyol dan Singapura.
Lebih Murah
Dua - tiga tahun yang lalu dia juga mengekspor ke Amerika
Serikat. Tapi karena paha kodok Indonesia (termasuk juga India)
dilarang masuk ke AS karena mengandung kuman salmonella yang
bisa bikin muntah-muntah dan kram, akhirnya Sekar Bumi
kehilangan pasarannya yang terpenting.
Hilangnya AS sebagai pasaran waktu itu tidak hanya memukul
perusah aan yang terbesar di Jawa Timur tersebut, tapi juga
sempat membuat lesu bisnis kodok di berbagai daerah selama 2
tahun Sekarang pecandu kodok di AS masih tetap mencicipi paha
kodok dari Indonesia, lewat Belanda yang menjadi perantara. Di
negeri bunga tulip itu kodok-kodok tadi kabarnya diradiasi dulu
supaya suci-hama, baru dikirim ke AS.
Untuk mencegah paha kodok tidak tercemar kuman, pihak Badan
Pengembangan Ekspor Nasional pernah menganjurkan kepada pabrik
untuk tidak membeli kodok yang sudah mati. Sebaiknya dibeli
dalam keadaan masih hidup. Beberapa perusahaan setuju. Tetapi
sebagian besar yang beroperasi di Surabaya lebih senang menerima
kodok mati yang terdiri dari paha dan punggung. Karena harganya
lebih murah dibanding yang hidup.
Ada kalangan eksportir yang menganggap Indonesia masih
ketinggalan dalam pengelolaan kodok dibandingkan India dan
Bangladesh. Di sana kodok sudah diternakkan. Tidak seperti di
sini ang masih tetap ditangkap dengan cara berburu di sawah.
"Bagus kalau pemerintah ikut memikirkan sistem peternakan ini.
Sebab dangan cara ini selain lebih menjamin kebersihan, kalau
harga jatuh seperti sekarang tak perlu kalang-kabut, kata
mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini