Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jatuh Karena Gubernur ?

Ekspor kodok Indonesia ke luar negeri mengalami penurunan drastis. Kalangan eksportir menduga hal itu disebabkan adanya larangan penangkapan kodok oleh gubernur Ja-tim, Sunandar Priyosudarmo. (eb)

10 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKSPOR kodok menurun drastis. Kalau tahun 1979 jumlahnya sekitar 1300 ton maka tahun berikutnya tinggal 700 ton. Kalangan eksportir menduga jatuhnya komoditi itu karena Gubernur Jawa Timur Sunandar Priyosoedarmo melarang penangkapan kodok sejak awal tahun 1980. Padahal daerahnya merupakan pengekspor terbesar, 60% dari seluruh ekspor. Tetapi seorang eksportir kodok dari Surabaya tidak menganggap larangan gubernur itu yang menjadi penyebab utama. "Kendatipun ada larangan toh jumlah penangkap kodok bertambah banyak. Cuma soalnya harga kodok memang lemah sekarang ini," kata pengusaha yang baru bergerak setahun dalam bisnis kodok. Karena pasaran melorot di luar negeri dia sendiri membatasi pembelian sampai 10% saja setiap hari. Sedangkan harga belinya turun dari Rp 1100/kg menjadi Rp 1000. Buat perusahaan yang jauh lebih tua guncangan harga ekspor sekitar 10% tidak begitu berpengaruh bagi produksi PT Sekar Bumi yang bergerak sejak tahun 1975 tiap hari tetap memproses 4 sampai 6 ton paha kodok. Pasar tempat pelemparannya rupanya cukup kuat. "Karena kelebihan stokl biasanya negara-negara penglmpor tetap mau menglmpor sekalipun dengan harga yang lebih rendah," kata Singamurti, manajer Sekar Bumi. Perusahaan yang berdiri di atas tanah 1 ha dengan buruh 150 orang itu saban bulan rata-rata mengekspor 50 ton paha kodok. Harga ekspor perbungkus @ 2,27 kg US$4. Perusahaan yang memiliki gudang pendingin berkapasitas 200 ton dan merupakan yang terbesar di Jawa Timur, mengekspor kodok ke Belanda, Prancis, Belgia, Italia, Spanyol dan Singapura. Lebih Murah Dua - tiga tahun yang lalu dia juga mengekspor ke Amerika Serikat. Tapi karena paha kodok Indonesia (termasuk juga India) dilarang masuk ke AS karena mengandung kuman salmonella yang bisa bikin muntah-muntah dan kram, akhirnya Sekar Bumi kehilangan pasarannya yang terpenting. Hilangnya AS sebagai pasaran waktu itu tidak hanya memukul perusah aan yang terbesar di Jawa Timur tersebut, tapi juga sempat membuat lesu bisnis kodok di berbagai daerah selama 2 tahun Sekarang pecandu kodok di AS masih tetap mencicipi paha kodok dari Indonesia, lewat Belanda yang menjadi perantara. Di negeri bunga tulip itu kodok-kodok tadi kabarnya diradiasi dulu supaya suci-hama, baru dikirim ke AS. Untuk mencegah paha kodok tidak tercemar kuman, pihak Badan Pengembangan Ekspor Nasional pernah menganjurkan kepada pabrik untuk tidak membeli kodok yang sudah mati. Sebaiknya dibeli dalam keadaan masih hidup. Beberapa perusahaan setuju. Tetapi sebagian besar yang beroperasi di Surabaya lebih senang menerima kodok mati yang terdiri dari paha dan punggung. Karena harganya lebih murah dibanding yang hidup. Ada kalangan eksportir yang menganggap Indonesia masih ketinggalan dalam pengelolaan kodok dibandingkan India dan Bangladesh. Di sana kodok sudah diternakkan. Tidak seperti di sini ang masih tetap ditangkap dengan cara berburu di sawah. "Bagus kalau pemerintah ikut memikirkan sistem peternakan ini. Sebab dangan cara ini selain lebih menjamin kebersihan, kalau harga jatuh seperti sekarang tak perlu kalang-kabut, kata mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus