Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMANYA Winda, 28 tahun, ibu satu anak. Asalnya Cianjur, Jawa Barat. Datang ke Arab Saudi berbekal visa umrah, mestinya Winda hanya bisa tinggal paling lama sebulan di sana. Tapi, siapa nyana, hingga kini ia telah hidup di negeri padang pasir itu tak kurang dari dua tahun.
Usai menunaikan ibadah umrah, Ramadan dua tahun lalu, Winda sengaja tak pulang ke Cianjur. Ia punya cita-cita lebih tinggi: naik haji. Tapi ongkos naik haji minimal sekitar Rp 24 juta. Dengan kocek tipis, tak mungkin Winda sanggup berhaji. Datanglah peluang itu dua tahun lalu: ada yang menawarinya naik haji dengan ongkos murah, cuma jalannya berlika-liku.
Caranya? Winda hanya perlu mengajukan visa umrah. Perjalanan "haji kecil" ini dilakukannya pada Ramadan, dua bulan menjelang musim haji. Ongkosnya cuma Rp 7 juta-Rp 8 juta sekali jalan. "Dibandingkan dengan ONH, jauh banget," katanya dengan logat Sunda yang kental. Selesai umrah, Winda menunggu musim haji. Selama itu ia tinggal di Jeddah.
Winda tak perlu khawatir akan biaya hidup selama menanti. Ada saja yang bisa dikerjakan untuk mengais riyal. Menjadi pembantu rumah tangga, misalnya. Kini cita-citanya sudah tercapai. Bahkan sudah dua kali Winda merasakan wukuf di Arafah. Namun, tak juga ia pulang ke Tanah Air. Riyal agaknya membuat Winda menambah panjang daftar cita-citanya: pulang membawa pundi-pundi lebih berat.
Maklum, gajinya sebagai pembantu lumayan tinggi, sekitar 1.500 riyal, setara dengan Rp 3,3 juta (Rp 2.200 per riyal) sebulan. Pendapatannya jauh lebih tinggi dari rata-rata upah pembantu, yang hanya 400-600 riyal per bulan, karena Winda pandai menjahit. Dari hari ke hari, bahasa Arab-nya pun semakin lancar.
Ditemui lepas asar akhir September lalu, Winda terlihat sedang sibuk melipat dan menyetrika baju. Ia tengah berbenah sebelum kembali ke rumah majikannya. Setiap pekan Winda, juga pembantu rumah tangga yang lain, mendapat ijazah atawa libur sehari. Kesempatan ini ia gunakan untuk berkumpul dengan teman-temannya di sebuah rumah sewaan di Distrik Hayya Naim?atau biasa disebut Al-Naim?sebuah sudut di Jeddah.
Pemilik rumah adalah pasangan Zainal dan Yati, juga pemukim asal Indonesia. Terletak di lantai dasar sebuah apartemen berlantai tiga, rumah itu cuma berkamar dua, masing-masing berukuran 4 x 5 meter. Di kalangan pemukim Indonesia di Arab Saudi, rumah seperti itu dikenal sebagai imarah. Di sanalah banyak pembantu asal Indonesia tinggal sebelum mendapat majikan.
Pada September itu, ada sepuluh perempuan tinggal di rumah Zainal. Imarah seperti milik Zainal banyak tersebar di seantero kota. Tentu saja statusnya gelap bin ilegal. Diperkirakan banyak pula Winda yang lain di Arab Saudi. Di kalangan pemukim Indonesia, mereka disebut dengan nada guyonan sebagai "jemaah haji sandal jepit". Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia. "Kebanyakan dari Banten, Jawa Barat, Banjarmasin, dan Madura," ujar seorang pengelola biro perjalanan haji dan umrah.
Istilah "haji sandal jepit" merujuk pada kesederhanaan dan juga kenekatan. Mereka cuma bermodal keinginan kuat menunaikan haji disertai bekal duit ala kadarnya. Biasanya mereka datang berkelompok, baik laki-laki maupun perempuan. Modusnya dengan mendaftar untuk pergi umrah beberapa bulan sebelum musim haji tiba.
Tentu saja ada yang mengorganisasi perjalanan itu. "Orang itu biasanya tahu soal pengurusan dokumen perjalanan dan sudah punya jaringan di Arab Saudi," ujar pengelola biro haji yang tak mau disebut namanya. Sesampai di Arab Saudi, mereka langsung menuju imarah. "Yang penting sampai di sini dulu. Soal cari kerja nanti diurus belakangan. Gampang, kok," kata Yati.
Status sebagai pendatang haram tak menjadi penghalang mencari pekerjaan. Menurut Winda, ada majikan yang justru lebih suka mempekerjakan orang-orang seperti dia. "Majikan tak perlu keluar uang banyak untuk pesan tenaga kerja lewat agen," katanya. Ada juga juragan yang senang karena tak perlu mengontrak pekerja dalam waktu lama sesuai dengan peraturan di Arab Saudi.
Di luar pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga atau sopir, masih terbentang sumber rezeki lain. Mereka bisa menggelar aneka dagangan di tepi-tepi jalan dan pasar. Penganan khas Indonesia, seperti sate ayam dan gado-gado, mudah dijumpai di kaki lima kawasan Aziziyah, Mekah. Beberapa anggota "jemaah haji sandal jepit" bahkan membekali diri dengan kain, pakaian jadi, dan barang kerajinan dari Tanah Air untuk dijual di Arab Saudi.
Sebetulnya, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Arab Saudi makin ketat memberikan izin haji. Bahkan warganya sendiri hanya diperbolehkan menunaikan ibadah haji kembali paling cepat lima tahun setelah haji terakhir mereka. Peraturan itu bertujuan mengatasi keterbatasan lahan dan daya tampung fasilitas pendukung di Kota Mekah. Soalnya, dari tahun ke tahun permohonan para calon haji di luar Arab Saudi terus meningkat.
Namun, "jemaah haji sandal jepit" punya akal panjang menyiasati aturan itu. Mereka yang sudah tinggal di Jeddah, Madinah, atau kota-kota di sekitarnya akan datang ke Mekah jauh hari sebelum musim haji. Setiba di Mekah, mereka menempati berbagai imarah orang Indo?sebutan bagi warga Indonesia yang telah lama bermukim di Arab Saudi?yang bertebaran hampir di tiap sudut Kota Suci.
Tanpa izin tinggal dan izin bekerja, mereka tentu harus bermain petak umpet agar tak dibekuk polisi Arab Saudi. Bila tertangkap, tanpa ampun mereka akan dibawa ke penjara imigrasi yang disebut tarhil sebelum dideportasi. Setiap tahun cukup banyak warga Indonesia yang tertangkap.
Tahun lalu, menurut Sabilillah Maqom, Konsul Informasi di Konsulat Jenderal RI di Jeddah, tahanan imigrasi yang dipulangkan ke Indonesia 12.401 orang. Sampai akhir September tahun ini, jumlah yang sudah ditahan 11.704 orang. "Ada musimnya jumlah itu meningkat pesat, yakni ketika polisi setempat gencar merazia. Biasanya pada musim haji," kata Sabilillah.
Para pejabat konsulat tak berani terang-terangan menunjuk siapa yang paling bertanggung jawab atas membeludaknya "jemaah haji sandal jepit" ini. Mereka hanya menyesalkan buruknya sistem administrasi di Indonesia dalam mendata warga negara yang meninggalkan Tanah Air. "Kami tak bisa berbuat banyak untuk mencegah. Kami hanya mengurus setelah masalah itu datang ke sini," kata Konsul Jenderal Tajuddien Noor Boli Malakalu.
Sebaliknya, pihak imigrasi di Jakarta pun merasa tak berbuat salah. Kepala Bagian Humas dan Tata Usaha Direktorat Jenderal Imigrasi, Soepriatna Anwar, mengatakan peraturan yang dilanggar adalah peraturan tinggal dan kerja di Arab Saudi, bukan peraturan imigrasi Indonesia. Imigrasi tak bisa mengenakan sanksi kepada jemaah umrah yang sengaja memperpanjang masa tinggal di Arab Saudi hingga bulan haji. "Bagi kami, yang penting paspor mereka asli dan punya visa," kata Soepriatna.
Ketika tiba kembali di Tanah Air dan melapor ke imigrasi, "jemaah haji sandal jepit" itu juga tak bisa ditahan, sekalipun paspornya sudah tak berlaku. "Asal saja paspor yang dibawa tetap asli dan datanya tidak menipu," ujar Soepriatna.
Jadi, tak aneh, bila tujuan sudah tercapai?menunaikan haji dan memiliki tabungan riyal?"jemaah haji sandal jepit" kerap membiarkan diri ditangkap polisi. Mereka sengaja tak menghindar, bahkan malah menghampiri, ketika polisi melakukan razia. Mereka langsung digelandang masuk tarhil.
Penjara imigrasi itu merupakan bangunan lima lantai bercat biru langit. Ukurannya kira-kira seluas lapangan sepak bola dan berlokasi di dekat bekas Bandar Udara Jeddah. Ketika bandar udara masih aktif, bangunan tarhil merupakan asrama penampungan jemaah haji asal Indonesia. Kini, setelah tak digunakan lagi, pintu-pintu dan jendela ba-ngunan dilengkapi terali besi.
Mengapa "jemaah haji sandal jepit" membiarkan diri digiring ke tarhil? "Dideportasi pemerintah Saudi berarti pulang gratis," ujar seorang pengunjung warung makan khas Indonesia di Al-Naim kepada Tempo. Jika pulang ke Jakarta dengan membeli tiket pesawat Garuda, mereka harus mengeluarkan 1.290 riyal. Kalau mau lebih murah, bisa menggunakan Yaman Air atau Brunei Air, yang menyediakan tiket seharga 800-900 riyal. Tapi jam tempuhnya panjang, karena singgah di banyak kota.
Nugroho Dewanto, Taufik Kamil, Y. Tomi Aryanto (Jeddah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo