Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jerman punya kapal, Indonesia punya beban

Terjadi tawar-menawar antara Mar'ie dan B.J. Habibie. soalnya, harga 39 kapal perang bekas itu membengkak 62 kali.

4 Juni 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH ingat pembelian 39 kapal bekas eks Jerman Timur setahun lalu yang menghebohkan itu? Sekarang, 9 dari 39 kapal sudah tiba di Jakarta -- Senin pekan ini diinspeksi Wakil Presiden Try Sutrisno -- tapi Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad belum menyetujui anggarannya. Informasi yang cukup mengejutkan ini diterima TEMPO dari seorang konsultan pemerintah dalam hal kontrak-kontrak internasional. Ketika hal ini dikonfirmasi kepada Menteri Mar'ie, ia menolak bicara. "Nggak ada interpiu. Pokoknya saya nggak mau berkomentar soal itu," ujar Mar'ie di Jakarta, Kamis pekan lalu. Menko Eku-Wasbang Saleh Afiff bersikap sama. "Saya nggak tahu soal itu. Lebih baik menanyakan ke BPPT," tandas Afiff. Adapun kapal-kapal Jerman itu terdiri dari 15 korvet Parchim (a DM 600.000), 12 landing ship tanker (LST) Frosch 1 (a DM 600.000), 2 LST Frosch 2 (a DM 550.000), dan 9 penyapu ranjau Kondor 2 (a DM 300.000). Harganya kalau dikurs dalam dolar saat dibeli 2 tahun silam berjumlah DM 20.000 atau US$ 12.738.854 atau Rp 27,5 miliar. Anehnya, anggaran pembelian yang diajukan Menristek B.J. Habibie -- yang ditugasi oleh Presiden Soeharto untuk membeli kapal-kapal tersebut -- kepada Menteri Keuangan menggelembung luar biasa besar menjadi US$ 1,1 miliar. Pembengkakan biaya itu kabarnya perlu untuk: biaya perbaikan (US$ 314,4 juta) di Jerman, biaya penyeberangan dari Jerman (US$ 93,8 juta), pembangunan pangkalan (US$ 119,7 juta), penyiapan operasi dan pengadaan 2 tanker oleh PT PAL (US$ 379,7 juta), serta pembangunan pangkalan di Teluk Ratai dan cadangan (US$ 179,4 juta). Menristek B.J. Habibie, yang ditemui TEMPO pekan lalu di Markas Yon Zipur, Bandung, tidak bersedia bicara terus terang. Dengan gayanya yang teatral, Habibie mengatakan tidak ada masalah tentang harga. "Itu kata Anda saja. Problemnya bukan soal harga yang membengkak," kata Menristek, tanpa merinci alasannya. Tapi, katanya, kapal-kapal itu bukan besi tua, sebaliknya malah siap tempur. Ia lantas bercerita bahwa ketika Jerman Timur runtuh, tentaranya pun bubar, dan kapal-kapal tempurnya masuk pelabuhan tanpa pemeliharaan selama 2-3 tahun. Jadi, karena sudah 2-3 tahun tidak dirawat, maka kini perlu direparasi. Juga harus beli suku cadang dan amunisi seharga 20 juta DM. "Dana pembeliannya diperoleh dari pinjaman lunak KFP Jerman," kata Habibie lagi. Kapal-kapal tersebut mulai dikirim ke Indonesia sejak Januari 1994. Menempuh perjalanan jauh, bahkan sempat diterpa gelombang setinggi 9-12 meter. Tapi, "Ternyata selama perjalanan tidak apa-apa dan tiba sesuai jadwal. Berarti kapal-kapal itu sangat layak," tutur Habibie. Namun, ia tak mengatakan apakah betul Menteri Keuangan tak mau membayar harganya. Ketua Fraksi ABRI, Laksamana Madya Abu Hartono, menjelaskan bahwa bukannya pemerintah tidak mau membayar. "Pembelian kapal itu tidak ada masalah, sebab pemerintah tetap membayar harga kapal secara keseluruhan US$ 12 juta," tutur Abu Hartono kepada TEMPO . Hanya saja, menurut Ketua F-ABRI ini, Menteri Keuangan keberatan mengenai biaya perbaikan dan penyeberangan dari Jerman sebesar US$ 760 juta yang kemudian dibengkakkan lagi oleh Habibie hingga US$ 1,1 miliar. Katanya, biaya sebesar itu sempat menjengkelkan Mar'ie. "Ya, wajar saja. Yang menentukan pembayaran kan Menteri Keuangan," lanjut Abu. Mengetahui bahwa Mar'ie menolak anggaran itu, Habibie, yang sedang berada di AS guna mempersiapkan pabrik pesawat N-250, langsung pulang ke Jakarta. Menurut Abu Hartono, Habibie lalu bersedia menurunkan permohonan anggaran menjadi US$ 600 juta. Namun, Mar'ie kembali menolak. Habibie lagi-lagi menurunkan jadi US$ 400 juta, tapi itu pun ditolak Mar'ie. "Sampai sekarang pemerintah masih menunggu pengajuan harga yang pantas dari Habibie," kata Abu Hartono usai memimpin rapat F-ABRI di DPR, Sabtu lalu. Ia menambahkan, "Jika pada akhirnya pemerintah tak mampu menyediakan dana itu, ya, terpaksa kedatangan kapal tertunda." Pembelian kapal-kapal tadi dilakukan berdasarkan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 1992 yang dikaitkan dengan Program Induk ALUT Markas Besar TNI-AL, serta proyek BPPT tentang rencana induk pangkalan utama TNI-AL. Menteri Keuangan tampaknya hanya mau melaksanakan Inpres No. 3 Tahun 1992 itu, sedangkan program Mabes TNI-AL dan BPPT ia tak mau tahu. Jika dievaluasi lebih jauh, dengan anggaran US$ 1,1 miliar, tentu akan lebih baik dibelikan kapal perang yang baru sama sekali. Harga kapal baru tipe Parchim per unit US$ 23,8 juta, tipe Frosch US$ 17,3 juta, dan Kondor US$ 14,9 juta. Kalau TNI- AL beli 15 kapal Parchim, 14 Frosch, dan 9 kapal Kondor, maka total anggarannya cuma US$ 733,3 juta. Kapal-kapal itu lebih murah, lebih berdaya-guna, dan lebih penting lagi, tidak menimbulkan ketegangan antara Mar'ie dan Habibie.Max Wangkar dan Andi Reza Rohadian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum