Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mundurnya Wirontono

Pembangunan mbau dialihkan ke RNI, sedangkan bot diganti ruilslag. ganti rugi oleh RNI Rp 110 miliar.

4 Juni 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IMPIAN Grup Wirontono kandas di meja direksi PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Singkatnya, pengusaha swasta pribumi ini harus menyerah kepada BUMN dalam hal membisniskan lahan Markas Besar Angkatan Udara (MBAU) yang terletak di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Perihal pengalihan itu diungkapkan sendiri oleh Direktur Utama RNI Sumargono, Jumat pekan silam, kepada TEMPO. Tapi, mengapa pengalihan sampai terjadi, padahal Grup Wirontono sudah setengah jalan membangun MBAU yang baru di Cilangkap? Menjadi tanda tanya memang. Apalagi Wirontono menggunakan sistem BOT (build, operation, transfer) -- yaitu bangun, operasikan, dan alihkan -- yang berarti akan lebih menguntungkan MBAU. Soalnya, di samping MBAU akan kembali memperoleh lahan seluas 41 hektare selepas 25 tahun, Wirontono juga diwajibkan membayar royalti dari keuntungan usaha kepada MBAU. Sedangkan biaya yang disisihkan Wirontono untuk membangun MBAU baru itu mencapai Rp 82 miliar. Bandingkan dengan RNI yang mendapat lahan MBAU dengan ruilslag alias tukar guling murni. Jadi, begitu RNI selesai membangun MBAU baru di Cilangkap, lahan MBAU lama di Pancoran resmi beralih ke BUMN ini. Tugas RNI juga relatif ringan. Perusahaan ini tinggal meneruskan sisa proyek yang telah dibangun Wirontono di Cilangkap. Di atas tanah 40 hektare itu, RNI tak perlu repot membuat konstruksinya, karena bangunan MBAU yang baru sudah menjulang di sana. Paling tidak, sudah ada tiga bangunan yang siap untuk dimanfaatkan. Seperti diketahui, pada mulanya Wirontono harus membangun lima gedung MBAU baru di Cilangkap -- tiga di antaranya berlantai sembilan -- dan perumahan bagi sekitar 100 perwira tinggi dan menengah. Tapi karena ruilslag, tugas untuk menyelesaikan pembangunan beralih ke RNI. Namun, Sumargono, yang sudah 33 tahun mengabdi di RNI, belum tahu akan diapakan tanah bekas MBAU yang di Pancoran itu. "Mungkin toko, mungkin apartemen. Semuanya masih dalam penelitian," katanya. Tapi prestasi RNI sebagai kontraktor tak perlu diragukan. Hampir semua pembangunan kantor perwakilan negara asing di kawasan Kuningan, Jakarta, ditangani oleh RNI. Selain itu, BUMN ini juga memiliki beberapa pabrik gula di Jawa Timur dan Sumatera. Namun, apa kesalahan Wirontono? Konon, setelah MOU (Memorandum of Understanding) antara kelompok itu dan KSAU (Kepala Staf Angkatan Udara) Siboen ditandatangani awal Februari 1992, para kontraktor dan pemasoknya tak pernah menerima duit sepeser pun dari Wirontono. Kabarnya, utang Wirontono -- antara lain kepada Pembangunan Perumahan dan Jaya Konstruksi -- mencapai Rp 30 miliar. Agaknya Wirontono dilanda krisis keuangan. Tak jelas benar apa yang terjadi, namun peluang emas telah lepas dari Wirontono Group. Ambisi Wirontono membangun Aerocentre (terdiri atas pusat perbelanjaan, hotel, perkantoran, dan taman rekreasi) di atas lahan MBAU yang 41 hektare itu, oleh beberapa pengusaha dianggap kelewat berani. Setidaknya proyek Aerocentre itu dinilai "terlalu besar" untuk Wirontono. Padahal pengusaha swasta ini memiliki 25 perusahaan -- dari pabrik sepatu sampai real estate -- dan ditaksir omzet tahunannya sekitar Rp 150 miliar. Toh, Moch. Hidayat, sebagai Ketua REI, pernah mengatakan bahwa ia ragu apakah modal Rp 200 miliar yang dianggarkan Wirontono untuk membangun aerospace itu akan bisa kembali dalam 25 tahun. Sejak awal Wirontono memang sudah dipandang sebelah mata oleh kalangan pengusaha. Selain itu, Wirontono juga digedor oleh "protes" Menteri Keuangan saat itu, Sumarlin, dan Pemerintah Daerah (Pemda) DKI. Alkisah, pada akhir Februari 1991, saat Rapat Kerja dengan Komisi IX, Sumarlin mengungkapkan, rencana pembangunan MBAU ternyata belum pernah diajukan ke Departemen Keuangan. Padahal, setiap aset milik negara yang akan dialihkan pengelolaannya harus lebih dulu mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Keberatan Sumarlin tadi didukung juga oleh Amanullah, Direktur Pembinaan Anggaran Lain-lain dan Kekayaan Negara, Departemen Keuangan. "Harusnya MBAU, melalui Markas Besar (Mabes) ABRI, mengajukan permohonan. Kami merasa di-fait- accompli," kecam Amanullah. Pukulan keras juga dilayangkan oleh Pemda DKI Jakarta. Menurut Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Pemda DKI, kompleks MBAU di Jalan Gatot Soebroto, Pancoran, Jakarta Selatan, itu sudah diberi kode merah. Ini berarti, lokasi itu sudah ditetapkan untuk kantor pemerintah. Boleh jadi penyebab kandasnya impian Wirontono justru RUTR itu. Soalnya, untuk permohonan pengubahan RUTR, Wirontono harus membayar denda lebih dari Rp 100 miliar. Ini sesuai rumus Pemda DKI (Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 1985). Tak jelas apakah kini RNI juga dikenai kewajiban itu. Yang pasti, kata Sumargono, "Pokoknya akhir tahun ini, proyek harus sudah selesai." Bagi RNI, dana sebesar Rp 110 miliar - Rp 30 miliar di antaranya untuk membayar utang Wirontono - yang dibutuhkan untuk membangun MBAU di Cilangkap, bukanlah masalah serius. "Tanah yang kami dapatkan berada di kawasan yang baik, harganya bisa semakin tinggi. Lihat saja Kuningan, sekarang kami sudah jual dengan harga US$ 2.000 per meter persegi," kata Sumargono, optimistis.Andi Reza Rohadian dan Linda Djalil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum