Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYEJUK udara gedung MPR/DPR seakan tak sanggup mendinginkan Susilo Bambang Yudhoyono. Butiran keringat tampak membasahi dahi sang Presiden. Dua kali ia harus menyeka peluh dan meneguk air putih.
Terasa ada ketegangan yang menggelayut di sekujur ruangan ketika Yudhoyono menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009, Jumat dua pekan lalu. Semua anggota Dewan, jajaran menteri Kabinet Indonesia Bersatu, dan para tamu undangan menyimak serius.
”Kalau presidennya berkeringat begini, berarti serius, nih, Pak,” kata Yudhoyono, mencairkan suasana. Ia berhasil: kesunyian ruang paripurna Senayan ”meledak” seketika. Hadirin tertawa renyah.
Gurauan itu dilontarkan sesaat setelah Presiden mengucapkan sebuah janji besar: alokasi anggaran pendidikan tahun depan menjadi 20 persen dari total anggaran. Lha, ini hal baru.
Anggota Dewan, khususnya yang tergabung dalam Panitia Anggaran, terkejut. Soalnya, bujet pendidikan yang dinaikkan sampai Rp 46,1 triliun itu sama sekali belum pernah disampaikan pemerintah. Diskusi-diskusi sebelumnya antara pemerintah dan parlemen pun tidak menyenggol perkara ini.
Menurut Presiden, komitmen itu didasarkan pada keputusan Mahkamah Konstitusi yang dirilis hanya dua hari sebelum pidato Presiden. Majelis memutuskan agar pemerintah memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945, yakni mengalokasikan 20 persen anggaran untuk dana pendidikan.
Menaikkan anggaran pendidikan tentu saja komitmen bagus. Malah mungkin 20 persen belum cukup untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hanya—dan ini yang mungkin membuat Yudhoyono berpeluh—kemampuan anggaran sejatinya belum kukuh benar untuk membiayai komitmen itu.
Apalagi, ternyata, bukan hanya pos pendidikan yang dibikin melonjak. Gaji pegawai, belanja pusat, aliran uang untuk daerah, juga turut digenjot. Total belanja negara naik sampai 13,4 persen atau setara dengan Rp 132,7 triliun (lihat tabel).
Nah, persoalannya, proyeksi sumber pendapatan negara tak mengalami peningkatan bermakna. Pendapatan pajak, nonpajak, dan hibah hanya mampu menyetor Rp 1.022,6 triliun kepada negara. Dengan total belanja Rp 1.222,2 triliun, situasi yang dihadapi kini, apa boleh buat, adalah besar pasak daripada tiang.
Bujet pendidikan 20 persen telah membuat jurang defisit makin dalam. Defisit yang tadinya diperkirakan 1,5 persen (Rp 79,4 triliun) membengkak hingga 1,9 persen (Rp 99,6 triliun) produk domestik bruto.
Lalu, dari mana defisit ditambal? Pastilah dari sumber ”tradisional”: utang. Pinjaman luar negeri tetap ada meskipun porsinya diturunkan.
Jurus lain adalah menyerap pinjaman dari dalam negeri maupun luar negeri melalui penerbitan surat berharga. Porsi terbesar, yakni Rp 112,5 triliun, akan didapat dari penerbitan surat utang negara (SUN).
Skenario ini segera disambut kontroversi. Ramailah para analis, ekonom, dan politikus berkomentar. Maruarar Sirait dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menyatakan, ”Pidato Presiden Yudhoyono itu kampanye persiapan Pemilu 2009.”
Pidato itu, menurut Maruarar, anggota Panitia Anggaran Dewan, adalah pertanda Presiden telah kehabisan akal mencari dukungan politik.
Namun Maruarar yakin, rakyat tidak mudah termakan rayuan. Rakyat sudah paham bahwa anggaran ini dibebani utang amat besar. ”Memangnya APBN ini uangnya SBY? Enggak, ini uang rakyat,” katanya.
Dari Istana, Wakil Presiden Jusuf Kalla membantah tudingan bahwa pidato kenegaraan Yudhoyono merupakan kampanye menjelang Pemilihan Umum 2009. ”Orang saja berpikiran yang tidak-tidak,” katanya ringan.
Bantahan boleh dilontarkan. Tapi kritik terus berseliweran. Dradjad H. Wibowo, misalnya, menilai rencana anggaran tahun depan tidak lazim. Biasanya, anggaran disusun secara konservatif. ”Ini kok malah mau populis. Aneh,” katanya.
Dradjad, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional, mengkritik keras cara Yudhoyono mendanai anggaran pendidikan dengan menerbitkan surat utang negara. Langkah ini, menurut dia, cukup berbahaya karena surat utang dalam negeri itu sensitif terhadap lonjakan harga minyak dan komoditas.
Lonjakan harga pasti bakal memicu inflasi dan memaksa kenaikan suku bunga. Investor pembeli surat utang negara otomatis menuntut yield (imbal hasil) surat utang yang lebih tinggi dari standar suku bunga. ”Apalagi kalau investornya institusi,” kata Dradjad.
Tak berhenti di sini, investor juga akan memilih tenor yang lebih pendek demi mempercepat perputaran modal. Dan, yang paling parah, kata doktor ekonomi dari Universitas Queensland, Australia, itu, ”Investor tahu, Indonesia tidak bisa lepas dari surat utang negara.” Seperti gali lubang tutup lubang, surat utang akan terus-menerus diterbitkan demi membayar surat utang yang sudah jatuh tempo.
Ketergantungan tinggi pada surat utang, menurut Dradjad, bisa menjadikan Indonesia terpuruk seperti Argentina. ”Surat utang ini kan kayak narkoba. Tidak terkontrol, bisa membuat kecanduan.”
Menurut Dradjad, bujet pendidikan sebaiknya dibiayai sumber yang independen seperti pajak atau minyak. Itu sebabnya, lifting minyak tidak seharusnya dipatok pada 950 ribu barel per hari. ”Digenjot 1 juta barel per hari, dong.”
Utang luar negeri sebetulnya bisa menjadi alternatif. ”Bunganya lebih rendah,” kata Fadhil Hasan, ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef). Kisaran bunga utang luar negeri adalah 6,75 sampai 8,5 persen; bandingkan dengan SUN yang pasti bunganya di atas Sertifikat Bank Indonesia—yang saat ini mencapai 9 persen.
Bank Indonesia, Fadhil menyarankan, sebaiknya berhenti dulu menggenjot suku bunga. Sebab, pemicu inflasi saat ini bukanlah faktor moneter, melainkan tekanan harga (cost push inflation).
Penurunan suku bunga juga diharapkan mendorong pencairan duit yang tertanam dalam Sertifikat Bank Indonesia. ”Kalau bunga Bank Indonesia tidak lagi tinggi, orang juga tak akan meminta return surat utang negara yang tinggi terus,” Fadhil menambahkan.
Fauzi Ichsan, ekonom Standard Chartered Bank, menilai wajar saja mengalihkan beban sumber pembiayaan dari luar negeri ke dalam negeri. Tentu dengan tetap menimbang risiko pasar dan finansial. ”Itu soal pilihan,” katanya.
Namun, ada yang patut dipikirkan pemerintah. ”Yakni daya serap surat utang yang ditawarkan itu,” kata Ichsan. Ini terkait pula dengan daya serap anggaran—baik pusat maupun daerah—yang lamban dalam tiga tahun terakhir. Tahun depan, Ichsan yakin, defisit hanya akan 1,5-1,6 persen. Walhasil, kebutuhan pembiayaan bakal lebih kecil.
Jika memang pemerintah berencana melakukan optimalisasi utang, Ichsan menambahkan, komponen mata uang dolar Amerika Serikat harus lebih banyak. Soalnya, belanja negara juga termasuk impor yang butuh dolar. Jadi, logikanya, kata Ichsan, kenapa tidak berutang dalam dolar? ”Apalagi bunganya lebih rendah.”
Anggito Abimanyu membenarkan, bunga utang luar negeri memang lebih rendah. Tapi, jangan lupa, di situ ada risiko kurs valuta asing yang bisa membuat utang jauh melambung. ”Surat utang negara dalam rupiah tidak punya risiko ini,” kata Anggito.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan ini yakin, penerbitan surat utang negara bisa terlaksana menurut perhitungan. ”Syaratnya, didukung kondisi pasar yang bagus.”
Strategi penerbitan surat utang negara juga tidak lepas dari tekad pemerintah membebaskan ketergantungan pada utang lembaga asing. Misalnya Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia.
Itu sebabnya, rasio pembayaran bunga utang asing terhadap produk domestik bruto pun cenderung turun sejak 2005. ”Tiga tahun silam masih 2,3 persen, sekarang tinggal 2,1 persen,” kata Rahmat Waluyanto, Dirjen Pengelolaan Utang Departemen Keuangan.
Nah, dengan mengurangi ketergantungan pada lembaga asing, mau tidak mau memang pemerintah berpaling pada surat utang dalam negeri. Risiko tentu ada. Tapi, kata Rahmat, pemerintah akan menata ulang (reprofiling) dengan memperpanjang masa jatuh tempo surat utang.
Reprofiling membuat pemerintah punya lebih banyak waktu melunasi pokok surat utang. Tapi langkah ini sama halnya dengan menendang perkara ke tempat lain. Seperti kata Maruarar, ”Itu kan artinya membebani pemerintahan berikutnya.”
Anne L. Handayani, R.R. Ariyani, Amandra M. Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo