Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Jika Pers Menggugat Pers

Diskusi "pertumbuhan pers sebagai industri" pada acara Hut Tempo menyinggung kehadiran pemilik modal besar dalam dunia pers. Aspek idiil & aspek komersial di pertanyakan. Sukamdani menjadi bahan tudingan.(md)

22 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUKAMDANI Sahid Gitosardjono merasa prihatin. Ketua Umum Kadin Indonesia dan Direktur Utama Sahid Group ini juga agak heran pada kecaman dan tudingan yang ditujukan pada koran Bisnis Indonesia yang dipimpinnya. "Saya ini hanya pejuang. Usaha saya ikut menerbitkan Bisnis Indonesia ini merupakan pengabdian, bukan untuk mencari uang," kata Pemimpin Umum BI tersebut. "Tuduhan-tuduhan yang ditujukan pada Bisnis Indonesia itu salah alamat," tambahnya. Yang dimaksud Sukamdani adalah berbagai tuduhan yang dilontarkan kepada BI dalam diskusi "Pertumbuhan Pers sebagai Industri" yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya pekan lalu. Diskusi itu diselenggarakan majalah TEMPO untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-15. Diskusi yang dihadiri sekitar seratus orang dari berbagai kalangan itu menampilkan Pemimpin Redaksi Kompas Jakob Oetama sebagai pembicara utama, serta Christianto Wibisono sebagai pembanding. Pertumbuhan pers Indonesia sebagai bisnis belakangan memang banyak dibicarakan. Munculnya sejumlah koran pusat dan daerah yang secara finansial dan kualitas dianggap berhasil, sementara sejumlah lain tetap kembang-kempis, menimbulkan istilah "pers di atas dan di bawah angin". Kehadiran munculnya pemilik modal besar dalam dunia pers, diawali dengan terbitnya Bisnis Indonesia yang ditopang modal Sahid Group, Jaya, dan Indocement Group, juga menimbulkan kegemparan. Ada yang serta-merta menuduh: pers di atas angin dan pers modal kuat merupakan "pers dagang", yang lebih mementingkan security dan aspek komersialnya, ketimbang aspek idiilnya. Berbagai masalah itu ternyata yang paling banyak dibicarakan dalam diskusi pekan lalu itu. Muncul berbagai istilah yang menarik. Antara lain: pertentangan "kapitalis dan wartawan", "pengusaha wartawan dan wartawan pengusaha", serta "industri mencaplok pers". Tumbuhnya pers Indonesia sebagai bisnis sendiri secara sistematis dan mendalam dikupas oleh Jakob dan Christianto dalam makalah mereka. Menurut Jakob, 54, komersialitas memang bagian dari pers. Bahwa pers secara ekonomis dapat berdiri sendiri dan membiayai diri sendiri merupakan suatu keharusan, termasuk keharusan agar dapat menjalankan tugasnya. Lalu, jika kemampuan ekonomi pers dapat berkembang sedemikian rupa sehingga berpotensi mengimpit peranan idiilnya, apa yang harus diperbuat? Jakob beranggapan, pers tidak bisa dikelola semata-mata sebagai bisnis, sebagai perusahaan yang semata-mata mencari keuntungan. "Prinsip yang diusahakan ialah: segi bisnis pers tunduk kepada aspek idiilnya. Perkembangan pers sebagai bisnis tidak usah mengubah tujuan pers itu," ujar Jakob. Jika usaha pers berhasil, surplus modalnya, menurut Jakob, perlu dibuat produktif dengan menanamkannya dalam berbagai usaha. Masuknya tokoh-tokoh bisnis dalam dunia pers, dengan membawa serta modal dan keahliannya, dianggap wajar oleh Jakob, karena memang tidak ada ketentuan hukum yang melarangnya. Ia juga memaklumi bila masyarakat pers merasa waswas atas munculnya fase baru ini, karena modal bisnis mempunyai dinamika dan mungkin juga ukuran yang berbeda. Namun, bila Jakob bisa menerima, sebagian peserta diskusi tampaknya berbeda pendapat. Sejumlah pertanyaan yang dilontarkan pada Jakob, juga kepada Sukamdani yang ikut hadir, menunjukkan betapa masih besarnya kekhawatiran serta tebalnya kecurigaan pada para pendatang baru itu. Bila pertanyaan itu datang dari koran-koran yang merasa tersaingi BI, tentu saja hal ini bisa dimaklumi. Wartawan Neraca, sebuah koran bisnis, misalnya, menanyakan pada Jakob, yang juga pimpinan SPS Pusat, apa tindakan SPS pada sebuah koran yang dibagikan gratis selama berbulan-bulan. Ia tidak menyebut nama, tapi semua mafhum, ia menuding ke BI. Dari pihak Jayakarta, sebuah koran bisnis lain, muncul penanyaan pada Sukamdani: Mengapa ia yang sudah sukses masih juga melirik bidang pers? "Lapangan Pak Kamdani masih cukup besar. Mengapa harus masuk ke pers? Kalau Bisnis Indonesia nantinya sukses, jangan-jangan ia akan dicatat sebagai koran yang nyaplok," kata G. Dwipayana, pembina Jayakarta. DALAM diskusi itu Sukamdani sendiri tidak menjawab. Tapi ofensif pemasaran memang BI cukup menggegerkan karena baru pertama kali dilakukan di Indonesia. Ketika pertama terbit pertengahan Desember 1985, BI dicetak 60 ribu eksemplar dan selama dua pekan dibagi gratis pada berbagai kalangan. Ternyata, taktik ini cukup berhasil. Sasaran pelanggan 5 ribu eksemplar pada Februari terlewati dengan mudah. Pertengahan Maret ini, sudah tercatat 9.500 pelanggan, sedang yang terjual eceran sekitar 5.500 eksemplar. Pembagian gratis memang masih ada, sekitar 10 ribu eksemplar untuk promosi. Menurut sebuah sumber, selama tiga bulan ini BI sudah menghabiskan dana Rp 600 juta dari Rp 800 juta yang disediakan. Apakah ofensif ini akan berhasil, masih harus ditunggu. Tidak semua peserta waswas pada masuknya pemilik modal besar. Goenawan Mohamad dari TEMPO, misalnya, menganggap ada batas kemampuan modal untuk mendikte. Ia sependapat dengan Jakob, sampai sejauh ini derajat pendiktean ini belum terasa. Dalam dunia pers Indonesia saat ini, katanya, ada kelangkaan tenaga yang mampu. "Banyak orang yang punya modal yang dengan angkuhnya bilang: 'Saya bisa bikin pers'. Itu hanya takabur saja," katanya. Goenawan menganggap, manajemen pers itu nantinya akan lebih kuat dari pemegang modal, apalagi kalau mereka punya modal seperti yang diatur menurut ketentuan SIUPP. Mengenai sikapnya sendiri, Goenawan menegaskan, kalau pihak pemilik modal, misalnya, mau mendikte terus, "kita akan berpikir apakah kita akan terus atau go to hell," yang disambut tepuk riuh peserta diskusi. Sebagian peserta juga membantah, tumbuhnya pers sebagai bisnis akan melunturkan aspek idiilnya. Yang juga dipersoalkan: mengapa masuknya pemilik modal dalam bisnis pers diramaikan, sedang masuknya kelebihan dana beberapa perusahaan pers ke bidang bisnis nonpers tidak diperhatikan. Belakangan beberapa perusahaan pers memang sudah melakukan diversifikasi usaha ke bidang yang "jauh", misalnya di bidang perbankan atau agribisnis. Apakah idealisme pers akan luntur? Tentang hal ini, Jakob sekali lagi menjawab tegas. "Perkembangan aspek bisnis dalam koran tidak boleh sampai mengalahkan bobot dan tanggung jawab idiil pers tersebut." Lalu ia menanyakan bagaimana seandainya dalam usaha di luar lingkungan pers itu masyarakat pers tetap membawa sikap dasar dan etos bisnisnya sebagai surat kabar. "Tidakkah kecuali menambah lapangan kerja dan produktivitas, mereka juga akan membawa pengarus berbisnis yang baik untuk usaha-usaha ekonomi di luar pers?".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus