Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Jika Solar Dipetik dari Pohon

Pemerintah menyiapkan pelbagai insentif bagi produksi bioenergi. Konsumsinya juga harus didorong.

28 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Jika Solar Dipetik dari Pohon
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA yang meragukan niat pemerintah mengembangkan energi alternatif barang-kali harus tutup mulut—setidak-nya untuk sementara. Selasa pekan lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Boediono memencet sirene menandai dimulainya aksi pengadaan dan pemakaian bioenergi. ”Ini era baru kebangkitan energi Indonesia,” kata Pak Menteri, disambut tepuk tangan meriah 300-an pejabat tinggi yang hari itu berdatangan dengan sedan berbahan bakar bensin.

Sejalan dengan ”era baru” itu, peme-rintah menganggarkan dana Rp 1 tri-liun dalam RAPBN 2007 guna membantu petani mengebunkan kelapa sawit, singkong, tebu, dan jarak pagar, sebagai bahan baku bioenergi. Sebuah tim juga telah menyurvei lahan yang cocok bagi sumber energi hijau itu. Dari 58 juta hektare lahan kritis di Indonesia, ada 5,25 juta hektare yang bisa dimanfaatkan, selama empat tahun ke depan.

Selain itu, Menteri Dalam Negeri telah meminta 14 provinsi menjadi pionir perkebunan jarak pagar. Kepada pemodal yang berminat, pemerintah juga menawarkan insentif pajak. Enam tahun pertama, pajak penghasilan akan dihitung dari pendapatan bersih setelah dikurangi sebagian setoran modal. Jika memenuhi syarat tertentu, kompensasi kerugian bisa diberikan lebih lama dari yang semestinya.

Dengan pelbagai siasat itu, pemerintah menargetkan dalam empat tahun ke depan produksi bioenergi akan mencapai 11 juta kiloliter, sehingga konsumsi BBM bisa ditekan 10 persen. ”Kita bisa berhemat devisa hingga US$ 10 miliar,” kata Ketua Tim Nasional Pengembang-an Bahan Bakar Nabati, Al Hilal Hamdi-, optimistis.

Bisnis minyak bakar dari tanaman bukanlah cerita baru. Dua abad lalu, tahun 1900, dalam Paris World’s Fair, Rudolf Diesel memamerkan mesin baru buatannya dengan bahan bakar minyak kacang. Dalam skala kecil, konsumsi biodiesel telah dimulai di sana-sini sejak 1930 (saat itu Indonesia telah akrab dengan pemakaian minyak jarak pada zaman pendudukan Jepang).

Demam biodiesel kembali marak tahun 1973, ketika harga minyak bumi meledak. Dipelopori Brasil (yang miskin minyak tapi kaya tebu), dunia ramai-ramai membangun industri biodiesel (solar hijau dari biji-bijian) dan etanol (semacam alkohol dari gula). Namun pada akhir 1980-an, ketika harga mi-nyak bumi merosot, jutaan ton tebu kembali digiling di pabrik gula, yang jauh lebih menguntungkan.

Meskipun demikian, sejak saat itu upaya untuk mencari sumber energi- yang lestari, lebih murah, dan lebih bersih tak pernah mati. Pelan tapi pasti, pemakaian biodiesel (populer di Eropa) dan etanol (di Amerika) terus meningkat. Di AS, 15 persen panen jagung masuk ke kilang etanol. Di Jerman, produksi biodiesel tumbuh 50 persen per tahun. Dan di Kanada, sebuah perusahaan bahkan telah menggunakan rumput dan jerami sebagai pengganti tebu untuk membuat etanol.

Di Asia Tenggara demam serupa juga mewabah, tanpa kita sadari. Malaysia tengah membangun 52 pabrik pengolahan biodiesel yang hampir semua produksinya dipesan Jepang dan Uni Europa. Thailand, Myanmar, dan Filipina juga sedang berlomba menggalakkan perkebunan energi. Singapura? Meskipun tak punya kapling untuk kebun, negara kecil ini tak mau ketinggalan. Singapura bersiap membangun kilang biodiesel terbesar di Asia Tenggara guna meng-olah minyak negara tetangganya.

Lalu mengapa demam energi hijau yang mendunia itu baru mampir ke Jakarta satu-dua tahun belakangan? Mungkin Anda sudah tahu jawabnya: itu karena kita begitu terlena, keenak-an. Selama ini harga minyak amat murah, karena terus ”disubsidi” pemerintah. Keterlambatan dan ketololan baru kita sadari setelah harga dan konsumsi minyak kita terus meroket.

Sejak tahun lalu, konsumsi minyak kita telah melampaui produksi. Untuk pertama kalinya, Indonesia menjadi pengimpor neto dalam soal minyak (tanpa memperhitungkan gas). Kenaik-an harga minyak di pasar internasio-nal tidak lagi mendatangkan rezeki tiban seperti biasanya, tapi justru sebaliknya, membengkakkan biaya subsidi. Tahun depan, anggaran subsidi BBM telah mendekati angka Rp 70 triliun, hampir seperlima total RAPBN.

Ralph Sims, periset International Energy Agency, menaksir konversi biodiesel seharusnya dilakukan jika harga minyak bumi lebih dari US$ 50 per ba-rel. Dengan harga melampaui US$ 70 se-perti saat ini, kita tak punya pilihan lain kecuali berpaling pada energi hijau.

Selain mengurangi ketergantungan pada minyak bumi, bioenergi punya berkah lain: menciptakan lapangan kerja. Industri minyak sawit kita telah menyerap 1,5 juta pekerja. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono berharap, dalam empat tahun ke depan industri biodiesel menyerap tiga sampai lima juta pekerja.

Tentu saja mendorong pemakaian ”solar hijau” tak bisa dilakukan dengan sekadar memencet tombol, membangun kebun, menyubsidi petani, atau memotong pajak. Ini harus diikuti upaya lain yang menyeluruh, seperti aturan hukum yang mengikat dan pemberian insentif untuk konsumen dan juga untuk pembuat mobil.

Di beberapa negara, pemakaian solar hijau telah menjadi kewajiban. Di Montana, Hawaii, dan Minnesota, mi-salnya, semua bensin yang dijual wajib dicampur dengan 10 bahkan 20 per-sen etanol. Di Eropa, semua pabrik mobil diwajibkan membuat mobil berbahan bakar biodiesel, sekian persen dari total produksinya. Dengan aturan ini, konsumen merasa aman, mobil yang dibelinya memang benar-benar dirancang menggunakan bahan bakar hijau.

Harus pula dipahami, di balik ber-kahnya yang melimpah, konversi bahan pangan (minyak sawit, singkong, dan tebu) menjadi bahan bakar, pu-nya risiko. Konsumsi sawit sebagai bahan baku biodiesel, misalnya, akan mendongkrak harga minyak goreng. Ini bisa memberatkan golongan miskin. Meng-ubah fungsi tanaman pangan menjadi tanaman energi ketika rakyat masih kelaparan, bagi sebagai orang, mungkin ”sulit diterima”.

Selain itu, aktivis WWF Mubariq Ahmad mengingatkan, demam bioener-gi bisa disalahgunakan sehingga malah membahayakan lingkungan. Dia me-nunjuk pada model penyediaan lahan perkebunan yang lazimnya dilakukan dengan menggunduli hutan. Mubariq pernah memergoki usul pembukaan lahan 1,8 juta hektare untuk kebun sawit di perbatasan Kalimantan dengan Malaysia yang dilindungi. ”Jangan-jangan,” katanya mengingatkan, ”hutan sudah dibabat, eh, sawit juga tak didapat.”

Heri Susanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus