Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERKAUS biru, bercelana pen-dek, dan hanya bersandal je-pit, rupa Theo Toemion terlihat letih dan layu. Dia mengisap sebatang rokok dalam-dalam, lalu me-ngepulkan asapnya ke udara. ”Saya percaya pada mukjizat,” ujarnya di ruang tahanan Kepolisian Daerah M-etro Jaya, Kamis malam pekan lalu. Esok hari-nya dia akan menerima vonis. Dan Theo berharap mukjizat dan kemujuran akan melepaskan dari hukuman.
Tapi Jumat pekan lalu lewat ta-npa mukjizat yang diharapkan. Theodo-rus Fransisco Toemion, 49 tahun, divonis enam tahun penjara. Hukuman bagi mantan Kepala Badan Koordinasi Pe-nanaman Modal (BKPM) itu dijatuh-kan oleh majelis hakim Pengadilan T-indak Pidana Korupsi Jakarta. Di-pim-pin -hakim Moefri, majelis hakim juga meng-hukum dia denda Rp 300 juta plus mengganti kerugian negara Rp 23,1 mi-liar. Besarnya hukuman penjara untuk Theo sama dengan yang diminta jaksa.
Pria kelahiran Manado ini dinyata-kan terbukti melakukan korupsi dalam proyek Tahun Investasi Indonesia (TII) 2003 dan 2004. Ia dianggap memperkaya diri sendiri lewat pendirian salur-an televisi Trang Channel, yang sa-ham-nya ia miliki, tapi dananya diambil dari bujet pelaksana TII, PT Catur Dwikar-sa Indonesia. Selain itu, ia juga diang-gap memperkaya orang lain karena me-me-rintahkan memberikan komisi dan ha-diah ke sejumlah pejabat di BKPM, Bank Mandiri, dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta dengan jumlah sekitar Rp 750 juta.
Menurut hakim, penunjukan Catur Dwikarsa dilakukan Theo tanpa te-nder. Padahal perusahaan kehumasan itu tak punya dana. Namun, selama dua tahun program TII, Theo membantunya de-ngan mencarikan talangan kredit dari Bank Mandiri. Semula kredit diminta langsung oleh BKPM. Hanya belakang-an, pinjaman itu dijamin dengan surat perintah kerja Catur Dwikarsa.
Kredit ini dilunasi dengan anggar-an kegiatan yang diterima BKPM dari KPKN. Dalam kesaksiannya di persidangan, Presiden Direktur Catur Dwikarsa, Geisye Yulianti Dowling, 39 tahun, mengaku adanya kredit dengan nilai sekitar Rp 42 miliar itu. Hanya, ujar Geisye, yang ia terima Rp 13,2 miliar. Selebihnya diserahkan ke Theo.
Sementara itu Theo punya alasan sen-diri. Ia mengaku menunjuk perusahaan tersebut karena Geisye pada 2001 me-ngenalkannya pada investor dari Barkley, perusahaan asuransi di bursa Wall Street Amerika. Kepada Theo mereka mengaku tertarik menjajaki investasi di Indonesia. ”Saya pemain pasar uang. Saya angkat topi. Itu perusahaan besar di Amerika,” kata Theo kepada Tempo.
Karena takjub akan kemampuan itu, Catur dipercaya menjadi pelaksana TII pada 2003 dan 2004. Bapak lima anak ini mengaku mencoret sejumlah pengeluaran yang diusulkan Catur Dwikarsa dalam term of reference mereka. ”Ini untuk penghematan, karena ada pengadaan yang berlebihan,” tutur Theo. Dana itu dialihkan untuk biaya promosi.
Untuk kegiatan itu, menurut Theo, mustahil Catur Dwikarsa bekerja sen-diri. ”Saya melakukan take over supa-ya hasilnya maksimal,” kata Theo dalam pembelaannya. Ia lalu turun sendi-ri melakukan talk show dan promosi di televisi lokal dan asing. Karena kepentingan promosi itu juga, Theo terpikir membuat televisi khusus yang bisa menyiarkan potensi investasi di d-aerah. ”Kalau bisa 24 jam dan jangkauannya sampai ke luar negeri,” katanya. Tapi, lantaran tak ada dana, rencana itu mandek di tengah jalan lantas terhenti total karena pemilihan umum 2004.
Di persidangan, semua kegiatan itu- dianggap hakim sumir. Theo me-mang- -menyerahkan cakram video berisi re-kam-an talk show, lagu, dan liput-an dae-rah. ”Rekaman tersebut hanya-lah petun-juk. Diperlukan bukti lain un-tuk menge-tahui apakah program terse-but dibiayai dari anggaran Tahun Investasi,” kata majelis hakim dalam pertimbangannya.
Harga kegagalan itu kini ditimpa-kan ke Theo. Komisi Pemberantasan Ko-rupsi, berdasarkan audit Badan Peng-awasan Keuangan dan Pembangunan, menuduh Theo merugikan keuangan negara Rp 27 miliar. ”Audit itu ha-nya -sepihak berdasarkan laporan Catur Dwikarsa. Tanpa konfirmasi ke BKPM dan Theo pribadi,” kata Dwi Ria Latifa, kuasa hukum Theo.
Theo sendiri menyatakan banding atas putusan hakim. ”Saya dihukum karena kekuasaan,” kata dia seusai vonis. -Selama delapan bulan kasusnya berjalan, tak ada tersangka lain. Kesak-sian sekitar 28 saksi juga cuma dijadikan hakim untuk membenarkan dakwaan jaksa. ”Fakta-fakta yang meringan-kan, bahkan yang didapat dari pertanyaan hakim sendiri pada saksi, tak disinggung,” ujarnya.
Hakim juga sama sekali tak mempertimbangkan ”memburuknya” investasi setelah meledaknya bom di Kuta Bali, Oktober 2002. Setahun menjabat Ketua BKPM, sejak diangkat pada 2001, Theo menyatakan berhasil mengerek reali-sasi penanaman modal asing menjadi US$ 9,52 miliar, dari nilai ”hanya” US$ 2,79 miliar tahun sebelumnya. Suatu ke-naikan lebih dari 300 persen. Pada 2003, realisasi melorot menjadi US$ 5,4 miliar. Tahun berikutnya menurun lagi menjadi US$ 4,6 miliar.
Di tengah krisis itu, investasi dalam negeri masih bisa dipacunya. Dari Rp 7,54 triliun pada 2001 meningkat menjadi Rp 15, 2 triliun pada 2004. Theo mengaku bekerja keras untuk mencapai angka-angka itu. ”Saya banting tulang di kantor yang sebelumnya sarang tikus dan ular,” kata Theo.
Namun, menurut Moefri, hal itu b-u-kan fakta yang wajib dipertimbang-kan. ”Itu tak terkait dengan materi persidang-an,” katanya. Investasi yang menurun karena aksi teroris juga bukan pembenar untuk menyimpang dari aturan pengada-an -barang dan jasa di instansi pemerin-tah.
Moefri menyayangkan sikap Theo yang minim membela diri. Dalam per-sidang-an, mantan Ketua Komisi Ke-uangan DPR ini hanya mengajukan dua sak-si. Itu pun tak jadi dihadirkan. Nasib-nya pun ter-gantung saksi-saksi dari -jaksa. ”Se-harusnya dia mengguna-kan hak-nya itu secara maksimal,” kata Moefri.
Vonis majelis tindak pidana korupsi- ini bak menambah drama pilu Theo pada akhir-akhir keterlibatannya dalam kekuasaan. Setelah Presiden Megawati lengser, publik dikejutkan berita pemukulan yang dilakukan mantan politisi PDI Perjuangan itu terhadap seorang wasit, remaja Australia berumur 14 tahun, karena mengeluarkan Daniel Toe-mion, anaknya, dari lapangan basket Jakarta International School, pada 17 April 2005.
Insiden ”kecil” itu menjadi soal besar saat wartawan Donald Greenlees me-nuliskannya di koran International Herald Tribune edisi 28 April 2005. Judulnya dramatis: ”A Literal Blow to Investors in Indonesia” (Suatu pukulan harfiah ter-hadap para investor di Indonesia). Menurut koran Amerika tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudho-yo-no ”marah” dan ”terganggu”. Koran itu menambahkan, ”Para pejabat peme-rintah Indonesia telah mengkonfirmasi bahwa Toemion bakal digantikan oleh seorang sekutu dekat Presiden Yudho-yono. Keputusan itu bahkan telah diambil sebelum insiden....”
Pada Mei 2005, Theo memutuskan mundur dari BKPM. Enam bulan berselang, ia diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Persis pada hari ulang tahun kedua KPK, 29 Desember 2005, pria kelahiran Manado ini ditahan.
Menurut jaksa penuntut Soeharto, Theo dijerat karena dialah aktor utamanya. ”Yang lain kan cuma suruhan. Makanya mereka tidak dituntut,” kata-nya. Padahal, hakim berpandangan sebaliknya. ”Mereka yang menerima suap, terutama pegawai negeri, seharusnya turut didakwa,” kata Moefri. Dan menurut Moefri, tugas KPK untuk mencari tersangka lain itu.
Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo