Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK terbayangkan ini terjadi semasa Orde Baru. Bahkan sejak reformasi bergulir pun, agak jarang pidato tahunan presiden, yang menyampaikan nota ke-uang-a-n- negara sehari menjelang peringatan Proklamasi di DPR, berbuntut ”seru”. Acara pidatonya sendiri mulus tanpa interupsi. Polemik justru muncul dua hari kemudian.
Para ekonom yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit mempersoalkan data kemiskinan dan pengangguran yang dikutip Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka curiga Presiden mencoba menutupi, atau bahkan sengaja memanipulasi kesan, dengan menggunakan data kemiskinan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2005. Dengan begitu, seolah terlihat angka kemiskinan turun signifikan dari 23,4 persen pada 1999 menjadi tinggal 16 persen.
Begitu pula dengan data penganggur-an-, yang dibandingkan antara data Novem-ber 2005 dan Februari tahun ini. Di situ tampak angkanya menurun lumayan, dari 11,2 persen jumlah penduduk menjadi 10,4 persen. Masalahnya, para ekonom itu mengaku punya data lebih baru dari sumber yang sama. Data menunjukkan bahwa fakta kemiskinan dan pengangguran tak secerah yang disam-paikan Presiden. Dari sini, muncul wasangka: Presiden telah berbohong. Beberapa politisi bahkan menganggap telah terjadi klaim atas keberhasilan pemerintahan sebelumnya.
Boleh jadi, ini memang buntut lain dari keterbukaan. Setelah Orde Baru jatuh, akses terhadap data hasil survei BPS makin mudah. Lembaga-lembaga riset dan universitas biasa membeli data mentah hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) atau sensus. Melalui cara resmi itu pula, Iman Sugema, ekonom Institut Pertanian Bogor, mendapat data yang memakan memori komputer hingga lima gigabyte dari BPS. Isinya, hasil survei sosial ekonomi atas 60 ribu lebih responden rumah tangga, dari 440 kabupaten/kota di 33 provinsi, yang -dilakukan lembaga itu pada Juli 2005.
Setelah data diolah, kata Iman, -di-ketahui bahwa tingkat kemiskinan- telah meningkat menjadi 18,7 per-sen. Lalu, awal Oktober tahun lalu, pe-merintah menaikkan harga bahan bakar minyak rata-rata dua kali lipat le-bih. Inflasi pun meroket beberapa bulan- -kemudian ke level 17,9 persen. ”Tertinggi sejak 2001,” kata Kepala BPS saat itu, Choiril Maksum. Berkaca pada kenyataan itu, ”Angka kemiskinan pasti akan lebih tinggi,” kata Iman. Ia memper-kirakan per Maret tahun ini angkanya sudah 22,6 persen.
Dalam soal data pengangguran, si-tuasinya pun akan berbeda bila data terbaru pemerintah itu dibandingkan -de-ngan angka per Februari 2005—ketika pengangguran terbuka tercatat sedikit lebih rendah, yakni 10,3 persen. Banyak pihak menduga, lonjakan angka-angka inilah yang membuat pemerintah enggan mengutipnya dalam nota keuangan, agar tak muncul kesan kurang berhasil.
Kecurigaan memuncak manakala- ber-edar kabar bahwa dua pekan sebelum pembacaan pidato itu, beberapa menteri dan ekonom pemerintah telah me-ngundang BPS dalam sebuah rapat di kantor Menteri Koordinator Perekonomian. Hadir pula di sana dua ahli statistik dari luar pemerintahan, yang khusus diundang untuk mempresentasikan metode penghitungan angka kemiskin-an yang berbeda dengan yang biasa -digunakan BPS.
Adakah ini upaya untuk mempe-ngaruhi penghitungan BPS? Para pe-jabat- di pemerintahan, termasuk Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, me-ngakui pertemuan itu memang terjadi. Tapi, kata Paskah, ”Kami hanya bicara soal metode.” Itulah pembicaraan terjauh yang boleh dilakukan pe-merintah dengan- BPS. Selebihnya, terlarang me-nurut Undang-Undang Statistik 1997.
Paskah lalu menyodorkan naskah pidato Presiden sehari menjelang Hari Proklamasi setahun lalu. ”Waktu itu pun dipakai data kemiskinan tahun sebelum-nya,” ujarnya. ”Kenapa tak ada yang protes?” Bicara soal data kemiskinan dan pengangguran, Paskah menegaskan, berapa pun angkanya, pemerintah akan menggunakan data terbaru BPS. Persoalannya, sampai tenggat akhir -penyusunan nota keuangan, BPS belum juga rampung menghitung hasil survei mereka Maret lalu.
”Ada beberapa faktor yang harus diperhitungkan ulang,” kata Kepala BPS Rusman Heryawan. Salah satunya adalah kenaikan harga bahan-bahan pokok sebagai dampak melambungnya harga minyak. ”Semua itu berpengaruh pada patokan garis kemiskinan yang akan dipakai.” Data keluarga miskin sebanyak 19,2 juta, hasil survei untuk pembagian bantuan langsung tunai, pun tak bisa begitu saja dipakai karena- dasar penghitungan yang berbeda. Peng-hitungan Susenas didasarkan pada besaran- belanja konsumsi makanan—sebesar 2.100 kalori per hari per orang—dan kebutuhan dasar nonpangan.
Sedangkan penentuan keluarga mis-kin penerima bantuan langsung diukur berdasarkan 14 variabel, seperti pekerjaan, kondisi rumah, frekuensi makan dalam sehari, dan lain-lain. Faktor lainnya, ada motivasi besar bagi bany-ak keluarga untuk dianggap miskin agar memperoleh bantuan. Karena itu, meski- berkali-kali diverifikasi, ”Tetap saja jumlahnya lebih besar dari angka Susenas,” ujar Rusman.
Rusman, yang dilantik 28 Juni lalu, membantah ada tekanan untuk -mengubah hasil surveinya, karena itu sama artinya menghina hasil kerja 14 ribu anggotanya yang tersebar hingga ke 5.623 kecamatan di seluruh Tanah Air. Ia pun menjamin proses peng-hitungan berjalan seperti biasa. September nanti, angka resmi sudah akan keluar. Dan kalaupun nanti ada lembaga lain yang memiliki data berbeda soal kemiskinan, kata Rusman, tak jadi soal. Siapa pun bisa menguji: mana data yang paling mencerminkan kondisi riil dan mana yang berisi sampah.
Y. Tomi Aryanto
Kemiskinan dalam Ukuran (%)
Tahun | Metode BPS | Metode SMERU* |
---|---|---|
1996 | 17,70 | 15,74 |
1999 | 23,50 | 27,00 |
2002 | 18,20 | 12,22 |
2003 | 17,42 | 10,66 |
2004 | 16,66 | 12,61 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo