Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kerja Sama Transisi Energi Sampai di Sini

Program JETP tak berjalan sesuai dengan rencana karena minim pencairan bantuan. Indonesia malah menambah pembangkit batu bara.

 

15 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kantor Sekretariat JETP makin sepi setelah Kementerian Maritim dan Investasi bubar.

  • Dana US$ 20 miliar yang dijanjikan dalam KKT G20 dua tahun lalu hanya janji manis negara kaya.

  • Transisi energi yang mengandalkan pendanaan JETP pun terancam gagal.

SUDAH saatnya Indonesia menghapus mimpi mendapat dana besar dari Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP). Sebab, dua tahun berlalu sejak angin surga itu mulai berembus dalam Konferensi Tingkat Tinggi Group of Twenty (KTT G20) di Bali pada November 2022, realisasinya sangat sedikit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di awal kemunculannya, kemitraan ini menghapus kritik terhadap KTT G20 yang disebut termegah sepanjang sejarah dan menghabiskan lebih dari Rp 800 miliar dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tersebut. Lewat JETP, Indonesia dijanjikan pendanaan senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun untuk menghentikan operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Pinjaman dan hibah itu berasal dari International Partners Group (IPG) yang terdiri atas sepuluh negara, di antaranya Amerika Serikat, Jepang, dan Kanada serta Uni Eropa. Skema pembiayaan ini pun dianggap sebagai prestasi Presiden Joko Widodo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, karena pencairan dananya seret, wajar Luhut Binsar Pandjaitan, saat masih menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, malah menganggap JETP omong kosong. Sebab, dari nilai yang dijanjikan, baru sekitar 5 persen yang disalurkan. 

Kerangka pendanaan JETP membidik lima program transisi energi, termasuk pembangunan pembangkit energi listrik terbarukan. Indonesia memilih program pensiun dini PLTU batu bara sebagai prioritas.

Masalahnya, hingga kini belum ada satu pun pembangkit yang disetop operasinya. Rencana penutupan PLTU Palabuhanratu dan PLTU Cirebon di Jawa Barat, yang masuk skema JETP, mandek karena persoalan alih kepemilikan. Negara-negara IPG menolak membiayai skema pensiun dini dengan alasan langkah itu sama dengan mendanai bisnis batu bara. Padahal dibutuhkan dana US$ 20-30 miliar untuk memensiunkan dini 5,2 gigawatt PLTU batu bara di Indonesia.

Sebaliknya, Indonesia malah terus membangun pembangkit listrik captive, sumber setrum yang dibangun dan dioperasikan perusahaan swasta untuk kebutuhan energi sendiri. Misalnya berbagai industri smelter nikel di Sulawesi. Ini menunjukkan ketidakseriusan Indonesia dalam JETP.

Menjamurnya PLTU mendongkrak emisi karbon. Per akhir 2023, negara ini menghasilkan 704,4 juta ton setara karbon dioksida. Angka ini membuat Indonesia menjadi negara keenam penghasil emisi terbesar sedunia—di bawah Cina dan Amerika Serikat. Jika emisi karbon tidak dikurangi, anak-cucu kita yang akan menanggung akibatnya. Salah satunya berupa kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius dalam lima tahun. IPG disebut gerah melihat banyaknya PLTU batu bara baru di berbagai wilayah Indonesia.

Jika saja Indonesia menepati janji, akankah dana US$ 20 miliar bisa hadir? Rasanya tidak juga. Afrika Selatan, misalnya, mendapat kucuran kurang-lebih US$ 733 juta dari janji US$ 8,5 miliar atau sekitar 8,5 persen. Polanya mirip, sebagian besar berupa pinjaman komersial, sementara porsi hibah cuma sekitar 5 persen.

JETP yang dulu kerap dilabeli inovatif nyaris tidak berbeda dengan hitung-hitungan bisnis biasa. Pinjaman hanya akan mengucur bagi proyek yang menguntungkan. Soal hibah, lupakan saja. Amerika Serikat, yang empat tahun terakhir menjadi aktor utama transisi energi, bakal dipimpin Presiden Donald Trump. Dia menyebut energi hijau sebagai penipuan terbesar sepanjang sejarah.

Melirik kantor sekretariat mereka di Jakarta yang terus dirundung sepi, kita bisa menyimpulkan JETP cukup sampai di sini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus