Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sudah Jatuh Tertimpa Mimpi

Bisnis inti Krakatau Steel jeblok sejak 2012. Perusahaan berharap pabrik pengolah bijih besi bisa mendongkrak profit. Pabrik tak kunjung berproduksi, perusahaan malah merugi.

6 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim (berhelm kuning) saat penyalaan perdana blast furnace di Cilegon, Banten, Desember 2018./bumn.go.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fajar Harry Sampurno sebetulnya telah lama memantau panas-dingin bisnis PT Krakatau Steel Tbk (KRAS). Saat ia pertama kali ditugasi menjadi Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara pada 2015, Krakatau Steel sedang menggarap pendirian pabrik pengolahan bijih besi dengan teknologi batu bara. Perseroan akan menekan penggunaan gas, komponen ongkos produksi terbesar dalam pembuatan baja.

 

Disusun sejak empat tahun lalu, nyatanya pabrik itu baru berdiri pada Desember 2018, meleset dari target awal Maret 2017. Kepastian operasi pabrik diharapkan bisa menjadi obat demam bagi Krakatau. Fajar yakin, dengan beroperasinya pabrik seluas 55 hektare itu, Krakatau akan makin mudah merestrukturisasi tumpukan utangnya di bank. Penandatanganan dokumen persetujuan pokok restrukturisasi dengan tiga bank baru dilakukan pada medio Maret lalu. “Padahal ini semestinya sudah selesai pada 2016,” kata Fajar di kantornya, Jumat, 5 April lalu.

Sejak 2016 itu pula Krakatau masuk pantauan Kementerian BUMN. Namun, sebelum restrukturisasi dilakukan, Fajar tetap meminta Krakatau Steel mengoperasikan pabrik peleburan baja tanur tinggi atau blast furnace untuk meyakinkan para kreditor. “Bank pasti berpikir, Anda punya strategi panjang apa untuk hidup? Ini saja masih mangkrak,” ujar Fajar. Makanya saat itu manajemen Krakatau belum mengusulkan restrukturisasi. Walhasil, tiap tahun kredit terus mengucur dengan bunga pinjaman yang terus berjalan.

Pabrik peleburan baja itu menjadi harapan utama Krakatau Steel. Pabrik ini digadang-gadang mampu menghasilkan 1,2 juta ton metal panas per tahun. Penggunaan metal panas ini akan mengurangi ongkos produksi pembuatan baja dengan turunnya konsumsi listrik. Sebab, bahan baku metal panas dimasukkan dalam bentuk cair pada temperatur tinggi dengan energi dari batu bara. Dalam jangka panjang, pabrik tersebut juga menekan ketergantungan pada slab impor. Kajian lembaga PricewaterhouseCoopers menyebutkan peleburan baja tanur tinggi bisa menurunkan biaya operasi US$ 58 per ton.

Badan Pemeriksa Keuangan memiliki temuan lain. Studi kelayakan proyek dinilai tidak memadai. Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu atas Pengelolaan Beban Pokok Pendapatan dan Investasi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Tahun Buku 2015 dan 2016, yang terbit pada Desember 2017, menyatakan investasi pabrik peleburan baja membengkak hingga US$ 8,4 juta. Nilai investasi awal US$ 674 juta meningkat menjadi US$ 682 juta karena keterlambatan penyelesaian proyek.

Adapun potensi penghematan biaya produksi yang hilang akibat keterlambatan proyek selama sebelas bulan mencapai US$ 96,7 juta. Krakatau Steel juga terbebani- pinjaman pembiayaan lokal sebesar Rp 683 miliar.

Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan investasi pabrik peleburan baja tanur tinggi memang cukup besar. Khusus untuk modal kerja pabrik itu, perusahaan membutuhkan hingga US$ 300 juta. “Tapi, kalau impor bahan baku, nilai tambahnya ada di peleburan baja tanur tinggi itu,” tutur Silmy.

Dewan Komisaris Krakatau Steel pernah membahas soal investasi peleburan baja itu. Komisaris Ridwan Jamaluddin sempat mempertanyakan efektivitas dan efisiensi produk pabrik ketika penyelesaian proyek molor dari target. “Karena tidak mungkin investasi sebesar itu tapi produknya tidak bisa dimaksimalkan,” katanya. Ridwan meminta nantinya harga jual produk metal panas tidak jauh dari harga pasar. Hingga saat ini, struktur harga jual masih dirundingkan oleh manajemen.

Proyek pembangunan pabrik peleburan baja tanur tinggi yang pelaksanaannya dibebankan kepada PT Krakatau Engineering- juga berpotensi menghambat penyelesaian proyek baja canai panas atau hot strip mill. Sebab, keuangan anak usaha Krakatau Steel ini rupanya juga jeblok. Aktiva lancar Krakatau Engineering menurun sejak 2014, sementara utang lancarnya meningkat. Laba perusahaan ini anjlok per 2012.

Persis seperti anak usahanya, bisnis inti Krakatau Steel pun merah sejak 2012. Kepala Riset PT Koneksi Kapital Alfred Nainggolan mencatat, Krakatau masuk kategori bangkrut berdasarkan model Altman Z-score sejak 2014 dan mencapai titik terendahnya pada 2015.

Ketika harga baja US$ 780 per metrik ton pada 2011, Krakatau Steel masih bisa meraih profit. Harga baja yang terus menurun—mencapai level US$ 285 per metrik ton pada 2015—membuat penjualan Krakatau jeblok. Dalam kondisi itu, Krakatau juga harus menghadapi serangan baja impor. Ongkos produksi baja Cina lebih murah. Adapun di dalam negeri Krakatau terbebani harga gas industri. “Ketika EBITDA sudah negatif, bisnis inti bermasalah, mereka baru teriak,” ucap Alfred. Krakatau kemudian meminta pemerintah menahan laju baja impor dan menurunkan harga gas.

Pada 2016-2017, sektor industri baja mulai positif ditandai dengan konsumsi baja impor yang menurun menjadi 52 persen. Pada 2018, komposisinya meningkat lagi sekitar 67 persen. “EBITDA ada perbaikan, tapi belum bisa profit karena harga baja rendah,” ujar Alfred. EBITDA adalah pendapatan sebelum dipotong pajak, bunga, dan penyusutan.

Dengan kondisi ini, mau tak mau Krakatau terus mengandalkan pinjaman untuk modal kerja. Rasio utang terus meningkat, termasuk bunganya. Kewajiban bunga kredit mencapai US$ 88 juta pada 2015. Pada 2018, beban bunga utang mencapai US$ 112 juta. 

Perusahaan pun, Alfred melanjutkan, akhirnya banyak mengandalkan pinjaman jangka pendek. Pada 2018, hampir 37 persen dana jangka pendek justru dipakai untuk aktiva jangka panjang atau tidak lancar. Salah satunya untuk proyek peleburan baja tanur tinggi. Kas internal tak bisa lagi membiayai belanja modal dan operasional.  “Ini ada salah sasaran,” katanya.

Menurut Alfred, proyeksi pabrik peleburan baja tanur tinggi yang diperkirakan mendongkrak bisnis Krakatau terlihat jauh panggang dari api. Ia khawatir teknologi yang dirancang empat tahun lalu tak bisa menghasilkan produk yang mumpuni saat ini. Walhasil, penghematan yang digadang-gadang akhirnya tidak terealisasi. Setelah dinyalakan perdana pada 20 Desember 2018, proyek pengolahan bijih dengan batu bara itu masuk tahap uji coba.

Sepanjang 2018, kerugian perseroan tercatat menurun dari US$ 81,74 juta pada 2017 menjadi US$ 74,8 juta. Ekuitas turut menurun dari US$ 1,85 juta menjadi US$ 1,8 juta. Sedangkan pendapatan bersihnya meningkat menjadi US$ 1,7 juta dari US$ 1,4 juta pada 2017. Angka ini belum cukup menggembirakan di mata pasar alias investor. Sebab, pertumbuhan EBITDA tahun lalu yang mencapai US$ 62 juta tak sekinclong 2017, yang menyentuh US$ 120 juta.

Neraca keuangan Krakatau inilah yang juga mempengaruhi nilai saham KRAS. Saham Krakatau berpotensi terus merosot dari level 460 apabila perseroan terus merugi dan menyebabkan nilai buku berkurang. Kasus suap yang melibatkan Direktur Teknologi dan Produksi Krakatau Steel Wisnu Kuncoro, pertengahan Maret lalu, hanya menurunkan 2-3 persen harga saham perseroan. Selebihnya, menurut Alfred, harga saham KRAS akan bergantung pada pertumbuhan pasar baja dan keuangan perseroan.

Kementerian BUMN berupaya mendorong industri baja nasional tumbuh pesat. Fajar Harry meminta sinergi antar-BUMN kembali dilakukan untuk mendongkrak konsumsi baja nasional. Pemerintah menargetkan pabrik Krakatau Steel dan Posco bisa bekerja sama memproduksi baja hingga 10 juta ton. “Kita juga harus membenahi impor dan pengembangan jaringan pemasaran,” tutur Fajar.

PUTRI ADITYOWATI, KHAIRUL ANAM, RETNO SULISTYOWATI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus