Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Ombudsman Republik Indonesia Hery Susanto menyatakan rencana kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi atau BBM subsidi tidak tepat. Pasalnya, mayoritas kelas masyarakat yang mengonsumsi BBM jenis pertalite dan solar adalah menengah ke bawah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal tersebut Hery sampaikan berdasarkan kajian cepat atau rapid assessment Ombudsman ihwal pembatasan BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar melakui aplikasi MyPertamina. Kajian cepat itu menggunakan metode survei langsung ke masyarakat dan peninjauan di BBM penugasan di 31 provinsi yang tersebar di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Opsi menaikkan harga BBM subsidi bukanlah pilihan yang tepat dan bijak saat ini," ujar Hery saat konferensi pers di kantornya, Kamis, 25 Agustus 2022.
Alasan pendapat ini muncul, kata Hery karena mayoritas pengguna BBM tersebut saat disurvei langsung di berbagai stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) adalah kalangan menengah ke bawah dengan penghasilan berkisar antara Rp 500 ribu sampai dengan Rp 4,5 juta.
"Ini ceruk terbesar masyarakat yang masih butuh BBM subsidi jenis Pertalite dan Solar. Kalau ini dinaikkan pasti akan menyulitkan kondisi perekonomian masyarakat yang kebanyakan menengah ke bawah dan tentu akan mendorong inflasi," ucap dia.
Oleh karena itu, dia meminta supaya pemerintah tidak mengambil opsi kenaikan harga BBM bersubsidi di tengah semakin menipisnya kuota BBM bersubsidi dan pengaruh gejolak harga minyak mentah dunia yang semakin menambah berat beban anggaran negara dalam hal belanja subsidi energi.
Selanjutnya: "Pemerintah perlu menjaga optimisme rakyat agar bangkit dari keterpurukan ekonomi."
"Pemerintah perlu menjaga optimisme masyarakat, optimisme rakyat, agar bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi yang menjadi tanggung jawabnya. Pemerintah harus cermat menggali seluruh sumber pendapatan negara dan menutup kemungkinan terjadinya kebocoran anggaran," ujar Hery.
Dia lalu menjelaskan, kajian yang menjadi landasan rekomendasi ini menggunakan metode survei yang dilakukan pada periode 8 - 12 Agustus 2022 dengan cara wawancara langsung terhadap 781 responden di 31 provinsi. Para responden tersebar di 38 kota dan 6 kabupaten di SPBU dengan pengambilan sampel secara puprosive random sampling.
Responden yang disurvei merupakan pengendara mobil pribadi di bawah 1.500 cc, pengendara angkutan umum, pengendara angkutan barang, dan sepeda motor di bawah 250 cc. Selain itu juga ada responden yang merupakan petugas SPBU yang mendapat penugasan implementasi aplikasi MyPertamina dengan jumlah sebanyak 66 petugas.
Dari situ, dia mendapatkan data bahwa 76,4 persen responden merupakan konsumen jenis BBM Pertalite dan 21,4 persen Solar. Adapun profesi responden 38,4 persennya adalah supir, 20,3 persen usaha sendiri, dan 17 persen karyawan swasta. Pendapatan mereka 58 persennya bergaji di bawah Rp 4,5 juta dan 14 persen di atas Rp 4,5 juta sampai Rp 7 juta.
"Mayoritas responden, 82 persennya, adalah pekerja dengan penghasilan berkisar Rp 500.000 sampai Rp 4,5 juta. Hal tersebut menunjukkan bahwa responden konsumen SPBU didominasi oleh golongan masyarakat menengah ke bawah," kata Hery lebih jauh soal hasil survei cepat yang dilakukan Ombudsman soal BBM subsidi.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.