PANEN raya kelapa sawit sedang menggelora di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Tapi 3.000 petani sawit di sana malah terpuruk dalam kesulitan. Ketimpangan kian terasa kalau dibandingkan dengan harga minyak sawit alias CPO (crude palm oil) di dunia yang melonjak naik, sementara di Labuhanbatu anjlok dari Rp 150/kg menjadi Rp 50Rp 80/kg. Lebih mengenaskan, kendati harga jatuh, tetap tak ada yang mau membeli kelapa sawit rakyat. ''Biasanya pabrik kelapa sawit milik PTP mau membeli sawit rakyat, tapi sekarang mereka menolak,'' ujar Kasman Harahap, petani pemilik 12 hektare kebun sawit di Simpangempat, Labuhanbatu. Memang, kapasitas pabrik di Labuhanbatu yang 450 ribu ton per bulan tak mampu menampung hasil panen yang 750 ribu ton. Tak heran bila truk-truk sawit harus menunggu 3 sampai 4 hari sebelum bisa mengangkut sawit ke dalam pabrik. Bisa dimaklumi jika pabrik pengilangan biasanya milik perkebunan besar akan memprioritaskan hasil kebun sendiri. ''Kapasitas pabrik kami cuma cukup untuk mengolah hasil kebun sendiri,'' kata Rasyidin Anwar, asisten pengolahan PKS milik PTP III di Aek Nabara Selatan. Lain lagi alasan Ramly Hasibuan, Humas PTP VI di Berangir. ''Kami berat menerima sawit rakyat. Mutunya rendah dan kadar minyaknya sedikit,'' ujarnya ringan. Tapi petani Kasman berpendapat, alasan penolakan itu mengada- ada. Setahu dia, dulu-dulu pabrik PTP selalu menampung produksi mereka. Tentang mutu kelapa sawit, ia tak mau disalahkan. ''Selama ini kami tak dibimbing untuk menghasilkan sawit bermutu baik,'' Kasman berdalih. Beberapa petani lalu mencoba menjual sawitnya ke daerah lain. Ternyata, ongkos angkutnya lebih mahal dari harga jualnya. Tak heran bila Kasman mendambakan pabrik yang khusus menampung sawit rakyat. Kini, petani terpaksa menyerah. Suparlan, pemilik 3 hektare kebun sawit di Aer Korsik, nekat membuang sebagian hasil kebunnya. Seperti diketahui, sawit tak tahan lama. Begitu dipetik, buah sawit harus diproses. Kalau tidak, ia akan membusuk. ''Tadinya tak pernah terbayangkan jadi begini,'' keluh Suparlan. Semula penduduk Labuhanbatu berharap banyak dari kelapa sawit, karena sekitar tahun 1988 harga sawit terus membaik. Pemerintah sendiri ikut mendorong perkebunan sawit rakyat lewat PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Lalu petani pun latah, dan mengganti kebun karet mereka dengan kelapa sawit. Kesalahannya, semangat membuka kebun sawit tidak dibarengi dengan upaya membangun pabrik minyat sawit. Ketika ditanyakan komentarnya tentang penderitaan petani sawit di Labuhanbatu, Menteri Pertanian Sjarifudin Baharsjah menyatakan, kapasitas pabrik sawit di PTP IV dan PTP VII akan ditingkatkan dengan menambah jam kerja. Sedangkan untuk keperluan jangka panjang, Pemerintah berencana membangun sebuah pabrik pengolahan sawit di lingkungan PTP VII, yang nilai investasinya mencapai Rp 13 miliar. Menteri Baharsjah menambahkan bahwa kapasitas pabrik itu nanti akan mampu menampung hasil sawit dari kebun seluas 10.000 hektare. Hendaknya uluran Pemerintah itu masih sempat menyelamatkan sawit rakyat yang tersisa di Labuhanbatu. Adapun pabrik baru itu, kelak, barangkali khusus diperuntukkan bagi pengolahan sawit rakyat, seperti yang diharapkan Kasman dan teman- temannya. Bambang Sujatmoko dan Mukhlizardy Mukhtar (Rantauprapat)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini