Tiba-tiba harga kertas koran dinaikkan, menyusul izin untuk terbit sebanyak 16 halaman tiap hari. Siapa yang terpukul? SEJAK awal April ini, para penerbit koran harus membuat kalkulasi baru. Menteri Perdagangan Arifin Siregar telah menaikkan harga kertas koran -- demi stabilitas produksi -- dari Rp 1.050 menjadi Rp 1.300 per kg. Stabilitas produksi yang dimaksudkan tentulah berkait dengan kesinambungan pemasokan kertas koran dalam negeri, yang selama ini dipercayakan pada PT Kertas Leces (Probolinggo, Jawa Timur) dan PT Aspex Paper (Cibinong, Jawa Barat). Mengapa naik? Tentang ini tak ada penjelasan lebih jauh, juga tidak dari SPS. Direktur Utama Leces Amirul Yusuf membenarkan bahwa industri kertas koran masih belum menguntungkan. "Masih negatif," katanya kepada Supriyantho Khafid dari TEMPO. Selama 1990, keuntungan Leces yang Rp 14 milyar seluruhnya dipetik dari kertas tulis cetak, tisu, dan kertas pembungkus. Padahal, 50% dari seluruh kapasitasnya digerakkan untuk memproduksi kertas koran (7.500 ton tiap bulan). PT Aspex, usaha patungan swasta nasional dengan Korea Selatan, memproduksi kertas koran kira-kira 7.000 - 8.000 ton tiap bulan. Sekarang Aspex siap memasang mesin baru agar kapasitasnya menjadi 240 ribu ton per tahun -- diperkirakan September tahun ini sudah beroperasi. Dengan kenaikan harga per 1 April, diharapkan kedua pabrik itu bisa mengenyam keuntungan lebih, apalagi kebutuhan kertas koran belakangan makin banyak, terutama sejak Departemen Penerangan membolehkan setiap koran terbit 16 halaman tiap hari. Adapun tahun 1989/1990, kebutuhan, kertas koran tiap bulan 11.513.114 kg, sedangkan periode 1990/1991 menjadi 12.901.587 kg, per bulan. Kenaikan harga kertas koran yang hampir 25% itu bagi kalangan penerbit tentulah memberatkan. Dengan Rp 1.300/kg ditambah PPn 10% dan ongkos tata niaga Rp 30, minimal harga kertas Rp 1.460/kg. Tak dapat tidak ongkos produksi harus naik, tapi para penerbit sampai kini belum menaikkan harga langganannya. Harian Jawa Pos misalnya, dengan oplah 380 ribu eksemplar, ongkos produksinya per tahun perlu ditambah Rp 4 milyar. Ini berarti, dari biaya produksi Rp 18 milyar per tahun, Rp 14 milyar tersedot untuk pengadaan kertas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini