Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Perang teluk: doa ibu theresa

13 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perang Teluk usai sudah. Ratusan ribu jiwa manusia telah mati sebagai korban, suatu harga yang tak ternilai yang harus dibayar. Kini, dapatkah kita, sebagai orang yang tidak menjadi korban, membayangkan berapa ratus ribu anak kecil dan remaja yang kehilangan ayahbundanya? Mampukah kita merasakan pilu hati ratusan ribu kaum ibu yang terpaksa berpisah dengan kematian suaminya tercinta? Akan kuatkah kita mendengar sisa-sisa isakan tangis ratusan ribu orangtua yang harus "merelakan" kepergian putranya yang pernah ia lahirkan dan ia besarkan? Dua malam sebelum batas akhir ultimatum DKPBB, seorang nenek berwajah keriput di suatu kawasan kumuh dengan khusyuknya berdoa: "Tuhan Maha Pengasih, aku mohon kiranya Engkau menghindarkan dunia dari malapetaka peperangan". Kemudian, hanya beberapa detik dari batas waktu ultimatum itu, perang pecah dan korban pun berjauhan. Pasti kita bertanya: "Tidak dikabulkan Tuhankah doa nenek tersebut? Kenapa Tuhan membiarkan manusia menghancurkan ciptaan-Nya?" Seribu satu pertanyaan boleh diajukan, namun hanya Tuhanlah yang tahu. Daya pikir manusia yang terbatas dengan konsep logika, rasionalitas, dan kausalitas tidak akan pernah mampu mendekatinya. Kita lihat si nenek pendoa itu. Betapa tulus permohonannya. Ia seolah tahu betapa sakitnya suatu penderitaan bagi orang yang mengalami malapetaka perang. Rasa pilu, haru, tangis, dan perpisahan karena kematian seseorang yang dikasihi seolah sudah terbayangkan dalam benak dan bola matanya. Memang demikian adanya. Sikap dan doanya lahir dari pengalaman hidupnya yang panjang, keterlibatan yang berakar di tengah-tengah orang telantar, miskin, dan papa di kawasan kumuh di Calcutta. Menghadapi ancaman penderitaan sesamanya di Teluk, ia tidak berkeliling dunia naik jet khusus di atas uang rakyat. Ia tidak berpidato di depan wartawan, tidak muncul di layar televisi, tidak menulis karikatur, tajuk rencana atau analisa perang, tidak berdemonstrasi, dan tidak baca puisi. Ia tidak menghakimi dan menyalahkan siapa pun. Ringkasnya, ia tidak mengatualisasikan rasio dan logikanya dengan bahasa dan ungkapan populer dunia (biadab, setan, bedebah, dan sebagainya) yang justru cenderung encouraging orang-orang suka perang untuk berperang. Ia, Ibu Theresa, hanya datang secara bersahaja dengan tubuh dan hati yang membungkuk. Ia datang bukan kepada para pemimpin dan politisi dunia yang sudah dipenuhi dengan sikap emosional dan rasional. Tapi ia datang ke hadapan Tuhan, yang merupakan sumber kehidupan spiritualnya. Sebuah keterlibatan ideal yang tidak hampa. Sebuah perhatian yang berisi nilai-nilai kemanusiaan, yang terbukti dengan tindakan nyata. Disadari atau tidak, pelayanannya sendiri di lembah kumuh itu adalah bentuk lain dari isi doanya: menghindarkan dunia dari malapetaka perang. SAHALA OLOAN MANIK BNI 1946 Telp. 5702785 Jalan Sudirman Kav. 1 Jakarta 10001

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus