Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Defisit neraca transaksi berjalan yang terjadi belakangan ini menjadi tantangan tersendiri bagi sejumlah lembaga keuangan yang bertumpu pada kegiatan ekspor, salah satunya Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Namun, lembaga yang berdiri atas amanah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia ini tetap optimistis melangkah, meskipun dengan menjaga agar pertumbuhan ekspor tak terlalu besar.
Untuk menggali lebih dalam tentang kiat-kiat lembaga ini menghadapi kondisi perekonomian yang belum pasti ini, Direktur Utama Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia,I Made Gde Erata, menerima R.R. Ariyani dan Linda Hairani dari Tempo beberapa waktu lalu. Berikut ini petikan wawancaranya.
Di saat nilai tukar rupiah yang jeblok seperti ini, adakah tanda-tanda perlambatan pada kredit pembiayaan?
Pembiayaan langsung ekspor kami lebih banyak ke komoditas. Memang harga komoditas kemarin sempat turun, tapi sekarang sebagian sudah pulih. Penurunan kinerja manufaktur tak banyak berdampak ke kami karena kebanyakan kontrak jangka panjang.
Sektor terbesar yang kami tangani kini tekstil. Tapi belakangan mereka juga lebih banyak melayani jangka panjang, terutama garmen menengah ke atas. Pembiayaan tekstil ini di antaranya melayani pabrik pakaian seragam tentara dan benang ban yang masih cukup bagus prospeknya, lantaran ekspor jangka panjang dan investasinya banyak di tingkat produsen.
Bisa digambarkan bagaimana pertumbuhan kinerja perusahaan hingga kuartal ketiga ini?
Posisi pertumbuhan kami pada laporan tanggal 13 September, nilai aset total kami mencapai Rp 44,6 triliun. Sementara itu, pembiayaan dan piutang mencapai Rp 34,2 triliun. Aset Rp 44,6 triliun, pembiayaan Rp 34,2 triliun, penjaminan Rp 1,6 triliun, dan asuransi Rp 242 miliar.
Kalau kredit seret (nonperforming loan) NPL dari usaha kecil-menengah (UKM), apakah cukup besar?
Kami kan baru masuk ke UKM, jadi NPL dan dananya tidak besar. Net NPL 1,79 persen. Kemarin sebenarnya ada kesempatan menurunkan suku bunga menjelang penghentian quantitative easing. Tapi akhirnya bertahan di 5,6 persen sejak Desember 2011.
Bagaimana porsi pembiayaan UKM?
Sekarang porsinya masih 2,7 persen. Kami ingin berkonsentrasi ke pembiayaan untuk mengendalikan para eksportir. Selanjutnya, secara bertahap untuk teman-teman UKM. Ada tiga cara mengembangkan UKM, yakni linkage dengan korporat eksportir dan infrastruktur, langsung berhubungan dengan UKM yang berorientasi ekspor, dan refinance eksportir yang sudah mendapat kredit dari bank lain.
Tujuan LPEI untuk menggenjot ekspor. Nah, saat krisis seperti ini, apa yang dilakukan?
Sebenarnya tujuan dari pembentukan LPEI adalah mengisi kekosongan yang tak bisa disediakan oleh bank umum, yaitu agar eksportir yang masih nonbankable bisa mengajukan kredit.
Ekspansi kami di luar negeri di antaranya ada di Singapura, Australia, Virginia, dan di Chicago. LPEI juga membantu eksportir memasok daerah-daerah non-traditional countries. Di samping memerlukan kredit pembiayaan, mereka memerlukan asuransi. Tugas LPEI menyediakan keduanya. Kami membantu teman-teman konstruksi, di antaranya untuk renovasi Masjidil Haram, lalu onshore gas pipeline di Malaysia, di Timor Leste, dan di Azerbaijan.
Kami juga menjamin investasi-investasi yang dilakukan secara mandiri oleh pengusaha kita di luar negeri.
Bagaimana Anda melihat kinerja selama 2009-2013 ini?
Sekarang fokusnya menjaga pertumbuhan agar tak terlalu besar, karena dikhawatirkan kemampuan teman-teman tidak cukup baik. Akhirnya, risk kami menjadi terlalu tinggi. Semua perlu dijaga.
Kenapa growth dijaga agar tidak terlalu besar?
Kemampuan dari menghimpun dana ini kan datangnya juga dari kemampuan kami untuk menjaga rasio kebutuhan penyediaan modal minimum. Hal ini juga bergantung dari equity kami yang dari dalam negeri hampir sebagian besar diperoleh dari obligasi.
Nah, obligasi juga harus dilihat kemampuan kami, karena dana datangnya dari rupiah. Sekarang SBI saja sudah 7,25 persen. Kami dapat sekitar Rp 3,8 triliun baru sebelum BI Rate naik. Kami baru saja memperoleh kredit sindikasi US$ 500 juta, dengan bunga di bawah 2 persen kemarin, saat roadshow ke Singapura, Taiwan, dan Jepang.
Biografi
Pendidikan:
- 1979, Institut Ilmu Keuangan
- 1985, S-2, Ekonomi dari Vanderbilt University, Amerika Serikat
- 1987, S-3, Ekonomi dari Vanderbilt University, Amerika Serikat
Karier:
-2001, Direktur Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jenderal Pajak
-2003-, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara
-2007-, pejabat pengganti sementara Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Departemen Keuangan
-2008, Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan
-11 November 2009, Ketua Dewan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo