HAMBURGER, yang kini mulai disukai kaum muda di Jepang, ternyata ikut menggemukkan kantung di Indonesia. Soalnya: bumbunya serbuk pala, dari Maluku. Konsumsi pala di sana terus meningkat. Menurut statistik departemen keuangan Jepang, orang Jepang pada 1985 membelanjakan 143 juta yen untuk mengimpor 335 ton pala, 98% dari Indonesia. Tahun silam Jepang mengimpor 441 ton, sekitar 96% (422 ton) dari Indonesia, senilai 324 juta yen. Hanya impor tahun ini menurun. Sampai September, baru sekitar 262 ton, dan hanya 91% (237 ton) eks Indonesia. Akhir-akhir ini pala Indonesia memang sedang kena citra buruk. Dikatakan, pala Indonesia mengandung aflatoxin B-I, sejenis lumut penyebab kanker. Ceritanya bermula pada tepung pala produksi pabrik Stange Japan di Kawagoe, kota di utara Toko. Akhir Oktober lalu, petugas badan kesehatan menemukan aflatoxin B-1 sebanyak 35 ppb pada pala yang diimpor dari Indonesia pada 3 Juni 1987, dan 22 ppb pada pala yang diimpor pada 1 Juli 1987. Akibatnya, seluruh tepung pala produksi Stange Japan langsung ditarik dari peredaran dan dimusnahkan. Kasus ini sebenarnya pernah juga ditemukan pada bubuk pala produksi pabrik Dashin Co., Oktober tahun silam. Waktu itu 1.337 botol serbuk pala berisi @ 17 gram dan 61 botol @ 5 gram dimusnahkan. Tetapi tindakan itu dilakukan secara diam-diam. Yang terjadi kini diberitakan luas. Hasilnya: importir pala Jepang cemas kalau konsumen emoh makan bumbu hamburger dari Indonesia. Ternyata, serbuk pala dari pabrik Daishin Co. dan Stange Japan tadi berasal dari perusahaan importir Tokyo Koshin Co. Ltd. Kabarnya, pala yang diimpor Tokyo Koshin pada dua 3 Juni dan 1 Juli lalu itu berjumlah 35 ton. Noriaki Matsubara, direktur pengelola Tokyo Koshin yang dihubungi wartawan TEMPO di Tokyo, khawatir kalau seluruh impornya itu terbukti nanti juga mengandung aflatoxin yang ditakuti itu. Berarti ia harus mengganti rugi kepada pabrik langganannya. Sedangkan biaya yang dikeluarkannya untuk mengimpor 35 ton pala, yang dibeli dengan harga sekitar US$ 7.000 per ton, tak bisa diklaimnya. Sebab, "Sewaktu pala itu masuk ke pelabuhan Jepang, petugas karantina tak menemukan aflatoxin itu," kata Matsubara. Semua pala itu berasal dari Maluku, tetapi 15 ton dibeli lewat broker Singapura dan 20 ton lewat broker Jerman. Jantje A. Worotitjan, Ketua Aspin (Asosiasi Pala Indonesia), tampaknya kalem saja. "Aflatoxin yang diributkan di Jepang itu saya sangka hanya alasan untuk klaim saja. Sebab, menurut penelitian di Jerman, kalaupun ditemukan aflatoxin pada pala, kadarnya tak membahayakan manusia," kata Worotitjan. Lagi pula, Jepang bukan penyerap pala terbesar. Menurut Worotitjan, pasar ekspor pala Indonesia adalah AS dan Eropa. Perkembangan ekspor pala cukup sedap sejak lahirnya Badan Koordinasi Pemasaran Bersama Asosiasi Pala Indonesia (BKPB Aspin). Aspin atau Inas (Indonesian Nutmegs Association) terbentuk tahun lalu. Kini beranggotakan 51 perusahaan yang kompak, hingga bisa mengendalikan harga pasar. Manisnya terasa sampai ke petani dan devisa Republik. Menurut Ketua Aspin, petani kini bisa menerima harga sekitar Rp 3.700 per kg pala berkulit. Sebelum lahirnya Aspin, harga itu paling tinggi Rp 200 per kg. Devisa dari pala dulunya hanya bisa sekitar 10 juta dolar, kini jadi lima kali lipat. Aspin memang boleh berbangga. Tapi anjuran agar dilakukan pengetatan mutu, apa salahnya. Selain itu, peraturan Aspin, setidaknya bagi Tokyo Koshin, perlu ditinjau. Keharusan membeli dari Aspin, minimum 200 ton satu kontrak, menyulitkan impor langsung dari Indonesia. Orang Jepang terpaksa membeli pada perantara di Singapura dan Jerman. M.W., Tri Budianto Soekarno (Jakarta), Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini