Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hitam Nasib Aspal, Putih Nasib Semen

Separuh dari karyawan PT Sarana Karya yang memproduksi aspal buton harus berhenti. Persediaan asbuton masih banyak, sedang jalan raya akan lebih banyak memakai semen. Proyeksi pemerintah meleset.

5 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DRUM-DRUM hitam menumpuk di halaman Gedung Butas, kantor pusat PT Sarana Karya di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Halaman itu tampak kurang terawat. Memang memprihatinkan, karena lebih dari separuh di antara 866 karyawannya bakal tersingkir dari Sarana Karya. Kapan? "Tunggu saja," ujar Amir Darmin, direktur pemasaran perusahaan persero dl lingkungan Departemen Pekerjaan Umum itu. Langkah meringkas karyawan itu tak dapat dielakkan lebih lama. Soalnya, aspal alam dari Pulau Buton itu (diringkas: asbuton), hasil produksi Sarana Karya, tak akan bisa dijual. Selama ini, hampir seluruh produksinya digunakan Ditjen Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum untuk perbaikan jalan. Namun, APBN tahun anggaran berjalan ini terpangkas, dan pesanan asbuton pun menukik turun. Akibatnya langsung mengenai tubuh Sarana Karya, yangharus menanggung ratusan pekerja di Pulau Buton. Kini persediaan asbuton masih menjulang: 370.000 ton. Umpama stok itu terjual segera, menurut Amir, Sarana Karya masih sempat bertahan setahun lagi. Kalau tidak, "Sepanjang tahun 1988 tak akan ada lagi kesibukan di pusat produksi, Kabungka," tuturnya. Dulu, perusahaan persero yang empat tahun lalu masih berbentuk Perusahaan Aspal Negara itu penuh harap: produksinya cenderung meningkat dari waktu ke waktu, sesuai dengan permintaan. Puncaknya terjadi pada 1983: sekitar 533.000 ton. Tapi, setelah itu, produksi melemah. Tahun ini bahkan merosot jauh: kurang dari 85.000 ton. Padahal, di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, ada lima sumber cadangan aspal yang punya arti ekonomis, termasuk Kabungka. Kelimanya, menurut Amir, diperkirakan punya cadangan 163.800.000 ton aspal. "Jika ini dimanfaakan tanpa aspal impor, tak bakal habis dalam 100 tahun," tambahnya. Sayangnya, asbuton tampaknya tak akan hidup 100 tahun lagi. Perkembangan zaman seakan menyepelekan usaha yang lahir di tahun 1926 itu. Penambahan jalan tak ikut menambah kebutuhan akan bahan alam itu. Teknologi bisa menuntut cara lain. Kini ada aspal minyak, hasil produksi Pertamina dan hasil impor. Penggunaan aspal minyak ini cukup besar. Tahun lalu, menurut data dari Diitjen Migas, BPS, dan Ditjen Bina Marga, jumlahnya sampai di atas 240.000 ton, lebih besar dibandingkan tahun 1985, yang mencapai hampir 230.000 ton. Kasus asbuton agaknya contoh melesetnya proyeksi pemerintah. Dalam Repelita IV, target penggunaan asbuton disebut akan meningkat terus. Misalnya, tahun anggaran lalu sekitar 660.000 ton, sedangkan di tahun anggaran berjalan ini di atas 760.000 ton. Bahkan, menurut catatan Sarana Karya Presiden Soeharto sendiri, 30 Agustus 1985, di Pameran Produksi Indonesia, memberi petunjuk kepada Dirjen Bina Marga, agar produksi asbuton ditingkatkan jadi sejuta ton per tahunnya. Namun apa daya.... Lagi pula, kini ditemukan, tak semua pembangunan jalan bisa efisien dengan aspal. Menurut Setiadi Dirgo, Direktur Utama PT Semen Gresik, jalan aspal bila menanggung beban berat kendaraan mudah rusak. "Lihat jalan dari Gresik yang masuk ke jalan tol Surabaya, wouu ... kita kayak di laut saja," tuturnya. Setiadi Dirgo, tokoh semen, memang patut mengejek jalan yang "kayak di laut" itu. Sebab, alternatif baru bagi bahan jalan adalah semen. Semen kini dianggap lebih menguntungkan, terutama pada tanah yang labil dan tanah rawa. Selain itu, menurut Suryatin Sastromijoyo, Dirjen Bina Marga, semen itu cocok untuk jalan berlalu lintas tinggi -- minimal 10.000 kendaraan per hari (jalan tol Cawang-Semanggi di Jakarta, misalnya, tiap harinya ditimpa sekitar 130.000 kendaraan). Semen juga lebih praktis dalam proses pekerjaan. Tak perlu pengendalian temperatur seperti aspal, yang harus dicairkan pada suhu tertentu ketika mencampurnya. Semen juga tak perlu dipadatkan berulang kali. Kelebihannya yang lain: bahan ini punya ketebalan yang lebih seragam -- satu hal yang tak bisa dijamin dengan aspal. Dari segi teknologi, kata Suryatin pula, konstruksi beton semen untuk jalan itu lebih mudah dikuasai para kontraktor. Sebab. mereka sudah terbiasa membangun gedung atau jenis proyek lainnya. Seorang kontraktor setuju. "Apa, sih, bedanya membuat jalan semen beton bertulang dengan beton tulang pada konstruksi bangunan," kata Saut Pardede, presiden komisaris PT Perkutut, kontraktor di Medan, yang tak asing dengan perbetonan itu. Memang, diukur dari ongkos pembangunan jalannya saja, memakai semen lebih mahal 10%. Tapi biaya membangun dan pemeliharaannya, bila dihitung dalam jangka sepuluh tahun, kata Suryatin, lebih hemat 30% ketimbang jalan aspal. Jadi, industri semen semarak sementara usaha aspal akan terhenyak? Belum tentu, jawab Suryatin. "Aspal Buton dan aspal produksi Pertamina masih tetap akan tinggi pemakaiannya," katanya. Dalam dua tahun mendatang, menurut dia, pemakaian semen untuk jalan masih belum terlalu banyak. Paling-paling di Jakarta saja, misalnya untuk membangun jalan dari Grogol ke Tanjungpriok. Syukur bila kata Suryatin itu klop dengan harapan Amir, dari Sarana Karya, yang menginginkan agar pemerintah memakai asbuton untuk memperbaiki jalan di daerah. Jalan itu ia perkirakan 120.000 km panjangnya, dan membutuhkan sekitar sejuta ton aspal. Sudah tentu, tak semuanya setiap tahun perlu diperbarui. Tapi porsi itu, harapan Amir, "jangan diambil alih." Amir Darmin mungkin perlu berdoa. Sebab, bagaimanapun, walau dengan menjual asbutonnya dari stok yang menumpuk untuk tahun anggaran berjalan ini, karyawan Sarana Karya tetap akan harus sangat dikurangi jumlahnya. Sebab, volume penjualan itu tak perlu disertai produksi. Maka, para karyawan akan diberi kesempatan memilih: "cuti besar" setahun dengan gaji minim, atau memilih berhenti segera, "Dengan pesangon kurang lebih Rp 2 juta," kata Amir. Problem seperti itu memang sebuah dilema bagi pemerintah: menentukan mana yang akan untung, dan mana yang terpaksa buntung, antara perusahaan persero seperti Sarana Karya dan perusahaan semen -- yang di antaranya terdapat milik swasta besar. Atas nama efisiensi, di masa dana pemerintah yang sulit, tampaknya harus ada pihak yang merasa pahit. Suhardjo Hs., Ahmadie Thaha, Bacthiar Abdullah (Jakarta), Jalil Hakim (Surabaya), Affan Bey (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus