KEMELUT di bursa-bursa saham dunia yang belum pulih benar, ternyata, tak menggetarkan niat para pengambil keputusan di Japan Airlines (JAL). Dua pekan lalu, di hotel berbintang lima New Otani Tokyo, perusahaan penerbangan elite dunia itu menyatakan resmi menjadi perusahaan swasta murni. Saham pemerintah, sebanyak 48,1 juta lembar (34,5%) dengan nilai 816 milyar yen, akan dijual separuh ke lembaga-lembaga keuangan, dan separuhnya lagi kepada perorangan di bursa-bursa saham pertengahan bulan ini. Kepada pembeli, JAL memberikan potongan harga 3,5% dari harga yang berlaku pada 14 Desember nanti. Rencana swastanisasi itu sebenarnya sudah akan dilakukan 12 Agustus 1985. Kemudian batal karena persis hari itu sebuah pesawatnya, Jumbo B-747, jatuh di Gunung Osutaka, sebelah utara Tokyo. Korban tewas tercatat 520 jiwa. Karena musibah itu, pendapatan JAL tahun 1986 menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Tapi berkat yendaka, penguatan nilai yen melawan dolar, banyak turis Jepang yang terbang dengan JAL ke tempat-tempat pariwisata di berbagai negeri. Bayangkan, tahun ini sampai akhir September lalu, perusahaan itu sanggup menarik keuntungan kotor 31,5 milyar yen. Sementara tahun lalu, dari segi bobot angkutannya, dengan menerbangkan 5,643 milyar ton per kilometer, tak satu perusahaan penerbangan pun yang sanggup menandinginya. Sedangkan kalau dilihat dari jumlah penumpangnya, dengan menerbangkan hampir 6 juta orang, JAL duduk di urutan ketujuh di antara perusahaan-perusahaan penerbangan dunia. Padahal, kalau disimak riwayatnya, kelahiran JAL yang kini memiliki 21 ribu karyawan dan 91 buah pesawat -- antara lain 57 buah B-747, 18 DC-10, dan 8 B-767 -- boleh dibilang memprihatinkan. Pemerintah Amerika Serikat, yang mengawasi Jepang seusai Perang Dunia, baru tahun 1953 mengizinkan JAL memiliki pesawat dan pilot sendiri. Gara-gara salah satu pesawat carteran JAL yang dipiloti orang Amerika jatuh di Gunung Mihara, Pulau Oshima. Tercatat 35 orang tewas. Dan diduga keras, musibah itu disebabkan pilotnya tak mengenal medan Jepang. Kini, dengan datangnya babak swastanisasi penuh, para eksekutif JAL kerja keras mengubah citra perusahaan. Berbagai cara ditempuh, kendati mungkin kedengaran aneh bagi orang lain. Misalnya kampanye supaya anak buahnya lebih rajin mengucapkan Arigato kepada penumpangnya. Soalnya, banyak keluhan yang bilang, para awak JAL lebih bersikap sebagai setengah birokrat: suka berlaku seenaknya pada penumpang. Selain itu, mereka juga diwajibkan membaca buku pedoman berjudul Plus Alfa, yang khusus dicetak bagi karyawan JAL. Isinya, antara lain, "Jangan suka pakai bahasa JAL." Dengan alasan, orang JAL dianggap kelewat doyan memakai bahasa asing atau istilah-istilah yang tak dipahami orang lain. Ada lagi yang lebih unik. Yakni setiap pramugari akan dibekali dengan Thank's Card. Jadi, kalau suatu saat ada cowok kasih kartu nama, sang pramugari harus menjawabnya lewat kartu berisi ucapan terima kasih itu. Bisa dikirim lewat surat, atau diantar sendiri kalau naksir. Perubahan citra juga akan dilakukan dengan mengganti pakaian seragam pramugari mulai Januari mendatang. Diperkirakan perlu biaya 700 juta yen untuk lima ribu pramugari yang dimiliki JAL. Sementara itu, maskapai penerbangan yang berdiri resmi sebagai perusahaan patungan pemermtah dan swasta, Oktober 1953, itu juga akan merekrut 120 pramugari asing -- 80 di London, masing-masing 20 orang di Frankfurt dan Singapura. Hanya saja masih bisa dipersoalkan, apakah program peningkatan pelayanan itu juga bakal diiringi dengan peningkatan tanggung jawab. Pasalnya, sampai sekarang dari 520 korban tragedi Gunung Osutaka, baru 170 yang sudah selesai persoalan ganti ruginya. Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini