Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua cerobong besar di kompleks kilang PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) tampak menjulang ke langit. Asap menyembul ke udara menandakan pabrik yang berlokasi di Tanjung Awar-awar, Tuban, Jawa Timur, itu sedang bekerja. Trans-Pacific Petrochemical memang masih berproduksi, mengandalkan pasokan kondensat dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas). Tapi pasokan kondesat 40 ribu barel hanya cukup buat mengoperasikan separuh kapasitas.
Napas perusahaan petrokimia itu memang kembang-kempis gara-gara memikul utang hampir US$ 2 miliar (sekitar Rp 17 triliun), sebagian besar kepada pemerintah Indonesia, Pertamina, dan BP Migas. Pada 26 Mei lalu, perusahaan itu telah meneken term sheet perjanjian penyelesaian utang komprehensif bersama induknya, PT Tuban Petrochemical Industries (Grup Tuban Petro). Selain menaungi Trans-Pacific Petrochemical, Tuban Petro perusahaan induk PT Polytama Propindo dan PT Petro Oxo Nusantara. Selasa pekan ini, perjanjian restrukturisasi akan kedaluwarsa-bila tak diperpanjang.
Restrukturisasi utang ini merupakan upaya Honggo Wendratno memperpanjang napas bisnis petrokimianya di PT Tuban Petrochemical Industries.Utangnya yang segunung dan operasi perusahaannya yang hanya separuh kapasitas membuat belitan utang itu kian mencengkeram Honggo (lihat infografik). Restrukturisasi utang yang dilakukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 2000 ternyata gagal membuat bisnis Honggo melaju kencang.
Menurut Presiden Direktur Tuban Petro Amir Sambodo, saat ini sedang dibahas perjanjian-perjanjian detail bersama Pertamina dan BP Migas. Targetnya, rampung sebelum tenggat 26 Juli. "Sekarang tinggal finalisasi," ujarnya kepada Tempo di Jakarta, Kamis pekan lalu. Perjanjian dengan Pertamina dan BP Migas didahulukan karena menyangkut roda bisnis perusahaan. BP Migas adalah pemasok bahan baku (kondensat), sedangkan Pertamina-berdasarkan term sheet-diminta menjadi pembeli produk Trans-Pacific Petrochemical berupa liquefied petroleum gas (LPG) dan mogas.
Utang terbesar Grup Tuban Petro sebenarnya kepada pemerintah Indonesia. Menteri Keuangan merupakan pemilik surat utang bergaransi (multi-year bonds) senilai Rp 3,26 triliun dan mandatory convertible bonds sebesar US$ 4,19 juta yang diterbitkan Tuban Petro. Selain berutang ke pemerintah, Tuban Petro memiliki pinjaman usaha kepada Pertamina dan BP Migas.
Belitan utang Honggo Wendratno berasal dari Trans-Pacific Petrochemical. Bersama Hashim Djojohadikusumo (PT Tirtamas Majutama), dan Njoo Kok Kiong alias Al Njoo, Honggo membangun perusahaan petrokimia Trans-Pacific Petrochemical Indotama. Hashim menguasai 50 persen saham, sisanya dibagi dua antara Honggo dan Al Njoo. Perusahaan Hashim, Tirtamas Majutama, kemudian terlibat utang macet senilai Rp 6,4 triliun.
Untuk membayar utang tersebut, Hashim menyerahkan Trans-Pacific Petrochemical ke BPPN. Utang ini lalu direstrukturisasi tanpa melibatkan Hashim dan Al Njoo. BPPN dan Honggo sepakat membentuk perusahaan baru, PT Tuban Petrochemicals Industries, sebagai wahana penyelesaian utang. Tuban Petro menerbitkan surat utang bergaransi yang jatuh tempo pada 2014, yang dipegang pemerintah. Obligasi itu dinilai setara dengan 70 persen saham. Sisanya dimiliki Honggo. Hashim dan Al Njoo out.
Setelah BPPN bubar, kepemilikan saham pemerintah dikuasakan ke PT Perusahaan Pengelola Aset. Tuban Petro akan membayar utang pemerintah tersebut secara bertahap, sehingga kepemilikan yang 70 persen akan berkurang seiring dengan pembayaran utang itu. Namun, dalam perjalanannya, kinerja Tuban Petro tak semulus yang direncanakan. Utang pemerintah hanya berkurang sedikit. Tuban Petro malah dibelit utang baru kepada Pertamina dan BP Migas.
Utang-utang itulah yang kini sedang direstrukturisasi. Modelnya mirip dengan restrukturisasi BPPN. Rencananya, berdasarkan term sheet restrukturisasi, penyelesaian utang akan dilakukan dalam dua tahap. Pertama, akan dibentuk perusahaan induk baru bernama TradeCo, sebagai wahana usaha (vehicle). Honggo akan membentuk perusahaan baru itu di luar negeri untuk mengatur pembiayaan dari perbankan global senilai hingga US$ 1 miliar.
Dalam beberapa kesempatan, Amir Sambodo-anggota staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa-menyebutkan Deutsche Bank akan memberi pinjaman kepada Honggo. Pertengahan April lalu, perwakilan bank terbesar di Jerman itu datang ke Jakarta. Head of the Corporate and Investment Bank Anshu Jain diterima Hatta Rajasa di kantornya, kawasan Lapangan Banteng, Jakarta. Menurut Hatta, Deutsche Bank tertarik berinvestasi senilai US$ 1 miliar di kilang Trans-Pacific Petrochemical, tahun ini.
Nah, pinjaman dari Deutsche Bank nanti akan dikelola oleh TradeCo. Perusahaan baru ini juga akan mengambil alih utang Trans-Pacific Petrochemical kepada Pertamina dan sebagian surat utang kepada pemerintah Indonesia. Tuban Petro pun akan "digusur", digantikan perusahaan induk baru (Tuban Petro SPV). Perusahaan baru ini juga akan mengambil alih 59,5 persen kepemilikan di Trans-Pacific Petrochemical (lihat infografik).
Pinjaman baru sebesar US$ 1 miliar dari Deutsche Bank itu separuhnya merupakan pinjaman modal kerja. Diharapkan kilang Tuban dapat beroperasi dalam kapasitas penuh dan efisien. Sekitar US$ 300 juta lagi adalah pinjaman dengan jangka waktu tertentu untuk menyelesaikan seluruh pokok utang product delivery instrument-dari hasil pengiriman kondensat Senipah-dan delayed payment note kepada Pertamina. Kedua instrumen tersebut bagian dari program pertukaran produk (product swap).
Dalam konsep itu, Pertamina akan menjamin suplai low sulfur waxy residue kepada Mitsui. Hasilnya dipakai untuk membayar utang TPPI kepada perbankan Jepang yang dulu mendanai pembangunan kilang. Kompensasinya, Pertamina mendapat product delivery instrument, yakni hak menerima produk, seperti minyak tanah dan solar dari kilang TPPI. Bila gagal kirim, Trans-Pacific Petrochemical wajib menerbitkan delayed payment note atau surat utang berjangka enam bulan, senilai US$ 50 juta.
Sedangkan sisa utang ke Pertamina akan diselesaikan dengan cara menerbitkan standby letter of credit, selambat-lambatnya pada 31 Desember 2011. Utang kepada Pertamina dalam bentuk open account receivable-utang atas suplai kondensat Senipah-akan dibayar dengan produk berupa LPG selama tidak lebih dari 10 tahun.
Utang kepada BP Migas senilai US$ 180,73 juta (per April 2011) akan dibayar tunai sebesar US$ 100 juta dari hasil pinjaman bank tadi (bank financing)-Deutsche Bank. Pencairannya paling lambat 10 hari setelah transaksi dengan bank rampung. Sisa utang akan dicicil saban bulan, sebesar pro rata dalam waktu setahun.
Dana sekitar US$ 120 juta dari Deutsche Bank dialokasikan untuk membayar obligasi Tuban Petro yang dikuasai pemerintah senilai Rp 1,07 triliun. Dengan pembayaran itu, kepemilikan saham pemerintah di Tuban Petro akan menyusut dari 70 persen menjadi sekitar 22 persen saja. Pemerintah sedang meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengkaji ulang perhitungan tersebut. Tahap kedua, sisa surat utang Rp 2,07 triliun akan dibayar sebelum jatuh tempo tahun 2014.
Sumber Tempo mengatakan skema restrukturisasi utang ini sangat mengakomodasi kepentingan Honggo-sebagai penjamin utang Tuban Petro. Poin-poin dalam term sheet restrukturisasi utang Tuban Petro pernah diajukan Honggo kepada Menteri Keuangan Agus Martowardojo lewat surat pada 2 Desember 2010. Dalam wawancara dengan Tempo belum lama ini, Agus mengakui beberapa kali memanggil Honggo, dan term sheet restrukturisasi sudah disepakati. "Dia (Honggo) sudah mau bayar utang," ujarnya. "Waktunya dua bulan, bila tak bayar juga Tuban Petro akan diambil alih pemerintah."
Honggo, ujar sumber tadi, banyak mendapat keistimewaan dalam restrukturisasi ini. Trans-Pacific Petrochemical justru akan mendapat berbagai fasilitas baru, seperti jaminan pasokan kondensat dari BP Migas sebesar 40 ribu barel per hari selama 10 tahun. Juga jaminan pembelian LPG dan mogas oleh Pertamina selama 10 tahun. Malah dalam skema restrukturisasi disebutkan, Pertamina harus melepaskan berbagai haknya, sebagai imbalan atas diterimanya pembayaran dan standby letter of credit. Di antaranya, melepaskan hak sebagai pemegang saham istimewa Trans-Pacific sebesar 15 persen.
Juru bicara Pertamina Mochammad Harun mengatakan, bagi Pertamina, yang penting ada kepastian pembayaran utang tepat waktu dan tepat janji. Sebab, Pertamina telah banyak membantu Trans-Pacific Petrochemical. "Sudah terlalu lama dan terlalu banyak kelonggaran yang diberikan," kata Harun. Sedangkan juru bicara BP Migas Gde Pradnyana mengatakan restrukturisasi menempatkan pembayaran kepada BP Migas sebagai prioritas. "Sudah lumayan lebih baik," ujarnya.
Amir membantah Honggo mendapat "karpet merah" dalam skema restrukturisasi. Justru melalui pola ini, pembayaran surat utang kepada pemerintah bisa dipercepat. Soal 15 persen saham Pertamina di Trans-Pacific Petrochemical, kata Amir, saham itu bukan kepemilikan permanen. Pertamina punya saham itu lantaran membantu memindahkan utang Trans-Pacific Petrochemical. Artinya, aset yang dijaminkan ke Pertamina mesti dikembalikan bila utang telah terbayar.
Begitu pula fasilitas lain. Penjualan produk LPG, minyak tanah, bensin di dalam negeri, Amir melanjutkan, hanya bisa dilakukan Pertamina. Amir menilai, suplai kondensat oleh BP Migas kepada Tuban Petro juga wajar. "Itu bisnis biasa," kata dia. Hanya, skema restrukturisasi ini tetap saja akan menguntungkan Honggo. Bisnisnya tetap jalan, uang untuk membayar utang dan mengoperasikan perusahaannya datang dari Deutsche Bank. Yang masih belum jelas, nasib sisa utang pemerintah, jika upaya memperpanjang napas Tuban Petro ini kembali gagal seperti pada restrukturisasi pertama versi BPPN.
Retno Sulistyowati, Sudjatmiko (Tuban)
Kisah Utang Dua Masa
Utang tak pernah lepas melilit PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (Grup Tuban Petro). Sejak dimiliki Grup Tirtamas, pada masa Orde Baru hingga masuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 2002, dan akhirnya diambil alih pemerintah, produsen petrokimia ini masih menyisakan sejumlah tunggakan.
Hingga Juli 2011, utang perusahaan ini mencapai US$ 1,9 miliar (sekitar Rp 16,1 triliun). Sebagian besar utang kepada pemerintah Indonesia, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas, dan PT Pertamina. Selasa pekan ini, Grup Tuban Petro akan menyelesaikan skema restrukturisasi utang dan membayar sebagian kewajibannya dengan dana dari Deutsche Bank (Jerman).
1995
Perusahaan didirikan dengan modal Rp 4,43 triliun.
1997
Pembangunan proyek pabrik aromatik dimulai.
1998
Konstruksi proyek pabrik aromatik dihentikan akibat utang US$ 400 juta dan krisis ekonomi Asia.
2001
Pertamina berpartisipasi menyelesaikan proyek dengan konsep product swapping. Dana US$ 400 juta dikucurkan dengan imbalan Pertamina mendapat saham 15 persen.
2002
Kepemilikan Trans Pacific Petrochemical direstrukturisasi oleh BPPN sebagai bagian penyelesaian utang dua bank milik Tirtamas senilai Rp 4,2 triliun. Konsorsium bank Jepang pun masuk sebagai debitor.
2004
Restrukturisasi BPPN selesai, pendanaan dari konsorsium bank Jepang masuk.
2006
Trans-Pacific Petrochemical mulai beroperasi.
2008
Area produksi Tuban ditutup akibat kerusakan pemecah ombak pelabuhan. Produksi dan pelaksanaan kewajiban pada para debitor, di antaranya skema product delivery instrument dengan Pertamina, ditunda dengan alasan force majeur.
2009
Pertamina dua kali menyatakan Trans-Pacific Petrochemical gagal membayar utang (default) senilai US$ 500 juta. Trans- Pacific Petrochemical menyampaikan usul restrukturisasi kepada Pertamina dan kreditor lain.
2010
Pertamina kembali menetapkan Trans-Pacific Petrochemical gagal bayar untuk ketiga kalinya, dan mendaftarkan gugatan ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Arbitrase memenangkan Pertamina. Trans-Pacific Petrochemical diharuskan melunasi utang kepada Pertamina paling lambat 1 September 2011.
2011
Trans-Pacific Petrochemical mengajukan pinjaman kepada bank asing sebesar US$ 1 miliar (Rp 9 triliun) dan skema restrukturisasi mulai dirancang.
Utang yang akan direstrukturisasi
- 27 agustus 2011= Rp 80 miliar
- 26 Februari 2012= Rp 80 miliar
- 27 Agustus 2012= Rp 734 miliar
- 26 Februari 2013= Rp 176 miliar
Tak Terdepak
Berawal dari ambisi Presiden Soeharto membangun pabrik petrokimia raksasa, Trans-Pacific Petrochemical Indotama pun didirikan pada 1995. Produknya nafta, minyak aromatik, dan olefin (bahan baku plastik), serta bahan bakar, seperti solar dan minyak tanah. Modal awal sebesar Rp 4,435 triliun, setengahnya dipenuhi kerabat keluarga Cendana, Hashim Djojohadikusumo, melalui PT Tirtamas Majutama. Sisanya, masing-masing 25 persen, dimiliki Honggo Wendratno melalui Silakencana Grup dan Njoo Kok Kiong (Al Njoo).
Ketika krisis ekonomi 1998, proyek ini macet. Kebutuhan dana US$ 400 juta plus modal kerja US$ 75 juta tak terpenuhi. Utang menumpuk sampai US$ 350 juta. Tirtamas sebagai pengendali perusahaan terpaksa menyerahkan Trans Pacific Petrochemical kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagai bagian dari restrukturisasi utang Bank Pelita dan Bank Istismarat sebesar Rp 4,2 triliun.
Hashim dan Al Njoo terdepak, tapi Honggo selamat. Honggo diajak pemerintah melanjutkan Trans-Pacific Petrochemical. Lewat Silakencana, Honggo mengempit 30 persen saham Tuban Petro, perusahaan induk Trans-Pacific.
Struktur Awal
Kepemilikan Hasil Restrukturisasi 2002 -2004
Menteri Keuangan
70% kepemilikan saham pemerintah melalui Perusahaan Pengelola Aset di PT TPI
PT Sila Kencana Tirtalestari
30% kepemilikan saham Honggo Wendratno di PT TPI
PT Tuban Petrochemical Industries (TPI) Perusahaan baru yang membawahkan PT Trans- Pacific Petrochemical Indotama (TPPI).
Obligasi multi-year US$ 360 juta dan obligasi konversi US$ 4,1 juta: Hak pemerintah yang harus dibayar TPI dalam skema restrukturisasi.
Pertamina 15% Siam Cement 20,4 % Itochu Corp 0,85% Sojitz Corp 4,25%
40,5% kepemilikan pemegang saham lain di TPPI
PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama Produsen aromatik terbesar di Indonesia.
59,5% kepemilikan TPI atas TPPI
PT Polytama Propindo (PP) Produsen polypropylene.
80% kepemilikan TPI atas PT PP
PT Petro Oxo Nusantara (PON) Produsen alkohol oxo satu-satunya di Indonesia
50% kepemilikan TPI atas PT PON
Skema Restrukturisasi
Perusahaan Induk Baru
Demi membabat gunungan utang, terutama kepada pemerintah, struktur kepemilikan PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama dan induknya, PT Tuban Petrochemical Industries, akan dirombak. Pemerintah dan Honggo Wendratno-pemilik lama Trans-Pacific Petrochemical-akan membentuk perusahaan induk baru TradeCo, yang berbasis di luar negeri dan wahana usaha (special purpose vehicle) Tuban Petro SPV. TradeCo mengatur pembiayaan hasil pinjaman dari bank asing, dan Tuban Petro SPV mengelola produksi. Skema ini membuat Trans-Pacific Petrochemical tersapih (spin off) dari perusahaan induk lamanya Tuban Petro.
Struktur Kepemilikan Trans-Pacific Petrochemical Setelah Restrukturisasi
Menteri Keuangan
22% kepemilikan saham pemerintah melalui Perusahaan Pengelola Aset di Tuban SPV.
PT Sila Kencana Tirtalestari
78 % kepemilikan saham Honggo Wendratno di Tuban SPV.
Tuban Petro SPV Perusahaan baru yang membawahi PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI).
Obligasi multi-year Rp 1,07 triliun: hak pemerintah yang harus dibayar Tuban SPV sesuai dengan skema restrukturisasi.
PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama Produsen aromatik terbesar di Indonesia.
59,5% kepemilikan Tuban SPV atas TPPI.
Menteri Keuangan
70% kepemilikan saham pemerintah melalui Perusahaan Pengelola Aset di TPI.
PT Sila Kencana Tirtalestari
30 % kepemilikan saham Honggo Wendratno di TPI.
PT Tuban Petrochemical Industries (TPI) Perusahaan hasil restrukturisasi 2002-2004.
Obligasi multi-year Rp 1,07 triliun: hak pemerintah yang harus dibayar Tuban SPV sesuai skema restrukturisasi.
PT Polytama Propindo (PP) Produsen polypropylene.
80% kepemilikan TPI atas PP.
PT Petro Oxo Nusantara (PON) Produsen alkohol oxo satu-satunya di Indonesia.
50% kepemilikan TPI atas PON.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo