Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Niat Bank Indonesia mengurangi penggunaan Sertifikat Bank Indonesia sebagai instrumen operasi moneter tak lama lagi bakal terwujud. Secara perlahan, instrumen SBI akan digantikan Surat Utang Negara yang diterbitkan pemerintah. Tidak menerbitkan surat utang baru, pemerintah cukup mengubah surat utang yang terkait dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan program penjaminan yang semula tidak bisa diperdagangkan (non-tradable) menjadi bisa diperdagangkan (tradable).
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Rahmat Waluyanto menuturkan pembahasan terus dilakukan di level teknis, meski belum ada kata sepakat antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI. "Deal memang belum ada, tapi sudah ada understanding," kata Rahmat di kantornya pekan lalu.
Menurut Rahmat, perubahan itu akan menguntungkan kedua belah pihak. Neraca bank sentral akan lebih sehat. Kementerian Keuangan juga perlu menjaga ketahanan fiskal dan terus mengembangkan pasar Surat Berharga Negara. "Ini dasar kami merestrukturisasi lagi dan mengkonversi surat utang menjadi tradable bonds," tuturnya.
Pemerintah menerbitkan surat utang yang terkait dengan BLBI dan untuk kebutuhan program penjaminan sebesar Rp 218,32 triliun pada 1998-1999 dalam beberapa seri. Untuk mengganti BLBI, pemerintah menerbitkan SU-001 dan 003 sebesar Rp 144,5 triliun. Selain itu, untuk mengganti Kredit Likuiditas Bank Indonesia kepada Bank Exim, diterbitkan SU-002 senilai Rp 20 triliun, dan SU-004 untuk program penjaminan perbankan (blanket guarantee) sebesar Rp 53,8 triliun. Bank Indonesia mendapatkan pembayaran kupon sebesar 3 persen.
Melalui restrukturisasi pada 2003, SU-001 dan 003 diubah menjadi SRBI-001 dengan nilai yang sama. Namun besarnya kupon (bunga) diturunkan menjadi 1 persen, dengan jatuh tempo ditetapkan pada 2033. Restrukturisasi berikutnya tiga tahun kemudian. Bunga SU-002 juga diturunkan menjadi 1 persen. Hanya SU-004 yang bunganya tetap 3 persen. Jatuh tempo kedua surat utang ini disepakati pada 2025. Adapun tunggakan bunga dan indeksasi SU-002 dan 004 dibayar pemerintah dengan menerbitkan SU-007 sebesar Rp 54,86 triliun. Surat utang ini hanya diberi bunga 0,1 persen, dengan jatuh tempo yang panjang, yakni 2025.
Restrukturisasi kembali dilakukan pada 2008. Hasilnya, suku bunga SU-002 dan 004 disamakan dengan SRBI-001, yakni 0,1 persen, yang efektif per 1 Januari 2009. Pada 1 Juli 2011, total saldo SU-002 dan 004, SRBI-01, serta SU-007 sudah mencapai Rp 246,58 triliun.
Seluruh surat utang pemerintah ini tercatat sebagai aset dalam neraca Bank Indonesia. Tapi sebagai aset, tutur Kepala Biro Humas BI Difi A. Johansyah, manfaatnya kecil karena hanya diberi return 0,1 persen. Saat yang sama, operasi moneter BI dengan menggunakan instrumen SBI butuh ongkos besar. Dari kondisi inilah, kata Difi, muncul pemikiran agar surat utang yang terkait dengan BLBI atau program penjaminan itu bisa diperdagangkan. "Ide ini sama sekali bukan untuk menghapus cerita BLBI," katanya. "Ini demi menyehatkan neraca."
Menurut Difi, ide awalnya adalah bagaimana Bank Indonesia secara perlahan mengurangi penggunaan SBI yang mahal biayanya. Untuk SBI rata-rata sembilan bulan, misalnya, pemerintah wajib membayar bunga lebih dari 7 persen. Sebaliknya, jika menggunakan surat utang pemerintah-disebut SUN atau SBN-Bank Indonesia bisa mendapatkan keuntungan dari selisih jual-beli. "Bisa juga rugi ketika dilepas untuk operasi moneter, tapi selama memegang SUN, kami menerima bunga dari pemerintah," kata Difi. Dia menambahkan, BI adalah satu-satunya bank sentral yang masih memakai SBI untuk operasi moneter.
Menurut Difi, sejak 2000, Bank Indonesia sudah menyiapkan SUN sebagai pengganti SBI. Sayangnya, BI kesulitan mengumpulkan SUN lantaran pasar SUN belum terlalu likuid, sementara modal asing mengalir deras. Kini pasar sekunder SUN sudah lebih likuid. Tapi capital inflow masih tinggi, hingga menimbulkan likuiditas berlebih di pasar yang harus diserap BI. Dalam operasi moneter pertengahan Juni lalu, tercatat transaksi sekitar Rp 470 triliun dengan porsi SBI Rp 186 triliun dan term deposit Rp 201,9 triliun. Sisanya merupakan reverse repo, deposit facility, dan foreign exchange swap.
Rahmat membenarkan penerbitan SBI mahal dan terus meningkat bebannya. Padahal, kata dia, ada kesepakatan yang mengatur bahwa kecukupan modal BI tidak boleh kurang dari 3 persen dari kewajiban moneternya. Kalau kurang, pemerintah harus menutup kekurangannya. "Ini kan tidak fair untuk pemerintah," ujarnya.
Naiknya harga SBI, kata dia, meninggikan biaya operasi moneter, yang berujung pada naiknya kewajiban moneter BI. Dengan begitu, nilai 3 persen dari kewajiban moneter itu terkerek naik. Akibatnya, nilai yang harus dibayar pemerintah juga semakin berat. Sebelum sampai ke sana, kata Rahmat, pemerintah dan BI sepakat saling bantu untuk meringankan beban masing-masing.
Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Kemal Stamboel, menambahkan, pengubahan surat utang 002, 004, 007, dan SRBI-01 menjadi tradable adalah bagian dari proyek bersama pemerintah-BI, yakni Pengelolaan Aset dan Kewajiban (Asset-Liabilities Management). Dalam proyek ini, pemerintah dan BI bersama-sama menyusun neraca yang akan menghitung semua hak dan kewajiban pemerintah kepada BI dan sebaliknya.
Sebelum melaksanakannya, menurut Kemal, pemerintah dan BI harus meminta persetujuan DPR. Sebab, konversi itu menambah beban fiskal. "Kalau mau dilepas ke pasar, kan, tidak mungkin bunganya 0,1 persen," kata Kemal.
Tak cuma soal bunga, menurut ekonom Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, pasar akan mempertanyakan tenor dan harga surat utang itu. "Bisa diperdagangkan tapi butuh pre-adjustment," ujarnya. Kalau bunga dinaikkan, kata dia, sudah tentu harganya turun. "Siapa yang menanggung harga turun ini? BI atau pemerintah? Ini perlu dijelaskan."
Menurut pengamat ekonomi Umar Juoro, isu besar dari konversi tradable bonds ini adalah naiknya beban fiskal lantaran ada peningkatan beban bunga. "Berarti menambah defisit anggaran," ujarnya. Namun isu ini politis. "Itu sebabnya perlu persetujuan DPR."
Untuk meminimalisasi perdebatan pemerintah tidak perlu mengkonversi semua surat utang itu. "Cukup yang seri 002 dan 004 dulu," ujarnya. Sebab, SRBI-01 dan SU-007 terkait dengan BLBI dan penjaminan perbankan. "Lebih sensitif," katanya.
Yang penting juga dimatangkan oleh pemerintah dan BI, kata Umar, adalah kesepakatan soal berapa besar surat utang yang akan dikonversi, bunga, tenor, dan kemungkinan adanya diskon pokok.
Rahmat menerangkan, skema konversi dari non-tradable menjadi tradable bonds masih dibahas. Begitu juga berapa tingkat bunga yang akan dikenakan. Adapun harga, dia mengatakan, akan menggunakan harga SUN yang sudah biasa sebagai acuan.
Rahmat membenarkan, beban fiskal akan muncul karena imbal hasil tradable bonds itu lebih tinggi, sehingga seolah beban operasi moneter pindah ke pemerintah. Karena itu, perlu ada kesepakatan tentang skema dan pembagian beban dengan BI. "Ini yang sedang dibicarakan," ujarnya.
Berapa besar surat utang yang akan dikonversi itu, kata Rahmat, bergantung pada kesepakatan dengan BI. Namun yang penting adalah penggunaan SUN sebagai instrumen moneter BI akan membuat pasar SUN lebih aktif, dan likuid. "Dengan sendirinya yield akan semakin turun," tuturnya.
Anne L. Handayani
Buntut Panjang Krisis 1997
Saat krisis moneter menghantam Indonesia pada 1997, ratusan bank kolaps. Bank Indonesia lalu menyuntikkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sekitar Rp 144,5 triliun kepada 48 bank. Dalam perjalanannya, bank tak mampu mengembalikan pinjaman darurat itu.
Sebagai gantinya, pemerintah menerbitkan surat utang untuk "menutup" lubang di neraca BI. Aset-aset bank yang diikat BI sebagai persyaratan mendapatkan BLBI dilimpahkan ke pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Badan inilah yang bertugas mengoleksi aset-aset bank penerima BLBI dan mengatur pelunasan kewajiban bank.
Surat utang BLBI dan program penjaminan itu diterbitkan dalam beberapa seri. Selain berjangka panjang, surat utang ini berbunga kecil dan tidak dapat diperdagangkan. Itu sebabnya, obligasi ini menyulitkan Bank Indonesia. Kedua belah pihak kemudian sepakat merestrukturisasi surat utang yang awalnya Rp 218, 32 triliun itu. Hingga 1 Juli 2011, angka tadi meningkat menjadi Rp 246,58 triliun.
Berawal dari permintaan DPR agar neraca BI lebih sehat, dan kesepahaman BI-pemerintah mengenai perlunya dilakukan Assets Liabilities Management, muncullah pemikiran agar surat utang BLBI dan program penjaminan yang tidak dapat diperdagangkan itu menjadi dapat diperdagangkan.
Anne L. Handayani
1998-1999
Pemerintah menerbitkan surat utang kepada BI untuk mengganti BLBI dan dalam rangka program penjaminan sebesar Rp 218,32 triliun: SU-001, SU-002, SU-003, SU-004 ? kupon 3%, pokok diindeks terhadap inflasi.
2003
Restrukturisasi I Surat Keputusan Bersama Pemerintah-BI: penyelesaian BLBI
- Jika rasio modal BI terhadap kewajiban moneter ->10% ? surplus digunakan pemerintah untuk melunasi pokok SRBI
- Jika rasio modal BI <-3% ? pemerintah membayar charge ke BI
2006
Restrukturisasi II terhadap SU-002 dan SU-004:
2008
Restrukturisasi III DPR meminta:
1 Juli 2011
Saldo SU dan SRBI-01
Series | Jatuh tempo | Kupon | Nilai (triliun) |
SU-002/MK/1998 | 1 Apr 2025 | 0,10% | Rp 19,12 triliun |
SU-004/MK/1999 | 1 Des 2025 | 0,10% | Rp 51,53 triliun |
SRBI-01/MK/2003 | 1 Ags 2033 | 0,10% | Rp 126,7 triliun |
SU-007/MK/2006 | 1 Ags 2025 | 0,10% | Rp 49,25 triliun |
Total | Rp 246,58 triliun | ||
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo