LEBIH baik telat, kata orang, ketimbang tidak sama sekali. Baguslah. Tapi, dalam hal kepercayaan terhadap bank, keterlambatan itu harganya bisa ratusan triliun rupiah.
Dua tahun setelah babak-belur menjamin kewajiban bank, pemerintah tampaknya kini merasa kapok. Dalam rapat tim ekonomi kabinet Senin lalu, Presiden Abdurrahman Wahid menugasi Menteri Keuangan Bambang Sudibyo agar menyiapkan lembaga penjamin simpanan bank. Bagaimana bentuk lembaga itu, entah asuransi entah badan penyangga, belum jelas betul. Yang pasti, sementara selama ini biaya penjaminan itu ditanggung pemerintah, kelak lembaga ini harus mampu mengongkosi dirinya sendiri alias swadana.
Lembaga penjamin yang swadana sebenarnya juga bukan ide baru. Sejak April 1998, pemerintah telah mengagendakan gagasan itu dalam daftar program penyehatan ekonomi—disusun bersama Dana Moneter Internasional (IMF). Tapi, entah mengapa, sampai dua tahun kemudian, sosok lembaga itu tak pernah tampak jelas. Padahal, sejak 16 bank ditutup tanpa aba-aba, November 1997, kepercayaan publik terhadap bank runtuh total. Akibatnya, mau tak mau, pemerintahlah yang harus menggantikan peran penjamin itu.
Dengan jaminan pemerintah, alergi publik terhadap perbankan memang mereda. Penempatan deposito tak lagi merisaukan risiko kesehatan bank—karena toh pemerintah akan mengganti dana nasabah jika sebuah bank harus divonis mati. Publik tak lagi merasa gentar dengan gosip penutupan bank. Tapi ''kenaikan" derajat kepercayaan itu harus dibayar mahal. Dari 47 bank yang diberangus dua tahun terakhir, pemerintah tekor Rp 218 triliun lebih untuk membiayai ongkos penutupannya.
Sebagai pengganti biaya itu, pemerintah memang menjala sejumlah aset: harta bank dan harta para pemiliknya sebagai jaminan. Namun, hingga hari ini, hanya sedikit dari harta sitaan itu yang bisa dicairkan. Kalaupun semua aset itu bisa dijual kelak, seorang analis menaksir, hasilnya tak akan sampai separuh dari biaya yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk menalangi penutupan bank.
Dan karena pemerintah tak punya cukup anggaran sebesar itu, ongkos penutupan bank tersebut dibiayai dengan pinjaman dari Bank Indonesia. Sampai akhir pekan lalu, pemerintah telah menerbitkan lima surat utang senilai Rp 220 triliun, yang akan jatuh tempo pertama kali pada Oktober 2017.
Menurut jadwal, program penjaminan yang menjebol anggaran negara itu telah berakhir awal tahun ini. Tapi, karena belum ada lembaga penjamin yang lain, sedangkan kepercayaan publik terhadap bank masih perlu disangga, pemerintah memperpanjang masa penjaminan hingga tahun depan.
Nah, untuk menyetop bola salju itulah Gus Dur mendesak berdirinya lembaga penjaminan atas simpanan bank yang swadana. Kelak, nasabah bank harus membayar premi untuk mengasuransikan simpanannya. Tapi persoalannya: apakah asuransi ini mampu menjaga kepercayaan publik terhadap bank, seperti halnya jaminan pemerintah?
Kepala Riset Nomura Securities, Goei Siauw Hong, yakin bahwa lembaga ini memang perlu, terutama untuk melindungi nasabah kecil yang tak punya pengetahuan mengenali praktek perbankan. Amerika Serikat saja punya Federal Deposit Insurance Company (FDIC), yang menjamin simpanan nasabah ''kecil" sampai batas US$ 100 ribu. Tapi Hong juga khawatir lembaga ini tak sekaliber pemerintah dalam menjaga kepercayaan publik. Jika lembaga ini kurang kredibel, penabung akan lari ke bank asing yang lebih bisa dipercayai.
Senada dengan Hong, pengamat industri perbankan Elvin Masasya menambahkan, asuransi ini bisa jadi salah satu instrumen pemeringkat bank. Kesehatan bank akan mudah diketahui publik, berdasarkan nilai premi yang harus mereka bayar. ''Makin besar preminya, banknya makin berisiko," katanya.
Namun, ekonom London School of Economics, Markus Handowo Dipo, punya pendapat lain. Ia khawatir asuransi semacam ini cuma memanjakan para bankir. Mentang-mentang ada asuransi, mereka tak lagi menomorsatukan kesehatan banknya. Lagi pula, dalam hal kepercayaan, ada hal yang lebih mendasar: bagaimana pemerintah membangunnya tanpa deking jaminan—semacam kepercayaan yang tanpa reserve.
Dipo yakin, jika Gus Dur berhasil mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah, ia tak perlu repot membangun asuransi deposito segala. Cuma, soalnya, kapan kepercayaan itu bisa pulih jika setiap kali dinodai.
Dwi Setyo, M. Taufiqurohman, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini