Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalau Amerika pilek, seluruh dunia akan terkena demamnya. Bagaimana jika Amerika tiba-tiba mandek? Inilah yang sedang dikhawatirkan sebagian besar ekonom saat ini: gelombang resesi global yang merambat ke seluruh bumi.
Setelah sembilan tahun terus melaju cepat, mesin ekonomi Amerika Serikat tampak mulai kepanasan. Selama ini, laju pertumbuhan ekonomi negeri adidaya itu rata-rata 2 persen setahun. Tapi beberapa tahun belakangan ini melesat hingga 4 persen. Bahkan tahun ini sejumlah ekonom mematok taksiran 5 persen pada akhir tahun--sebuah angka yang akan mengundang ancaman inflasi. Untuk mengatasinya, laju pertumbuhan ekonomi harus direm. Dan salah satu cara yang paling efektif, tidak lain, dengan mendongkrak suku bunga dolar.
Sebetulnya, Federal Reserve, kumpulan bank sentral negara bagian Amerika Serikat, baru saja menaikkan suku bunga dolar dari 6 persen menjadi 6,5 persen. Namun, melihat gelagatnya, kenaikan itu dirasa belum cukup. Para ekonom dan manajer investasi dunia memperkirakan The Fed masih akan menginjak pedal rem lebih dalam. Artinya, suku bunga dolar masih akan didongkrak. Ada yang memperkirakan suku bunga dolar akan melonjak sampai 150 basis poin, alias naik menjadi 8 persen hingga akhir tahun nanti. Atau, paling tidak, menurut perkiraan Bruce Steinberg, Kepala Ekonom Merryl Lynch Hong Kong, akan naik 0,25 persen lagi pada akhir bulan ini.
Namun, itu semua baru perkiraan. Bagaimana kepastiannya? Tak ada yang bisa memastikan. Statistik terbaru memang mencatat bahwa laju perekonomian AS sebenarnya sudah mulai melamban. Kebijakan The Fed untuk terus menaikkan suku bunga dolar selama ini telah meningkatkan angka pengangguran 0,2 persen hingga menjadi 4,1 persen. Menurut para ekonom, angka pengangguran setinggi itu sudah mendekati tingkat pengangguran yang tak lagi mengompori inflasi alias Non Accelerating Inflation Rate of Unemployment (NAIRU). Dengan demikian, bahaya inflasi yang harus dihadapi mestinya sudah jauh berkurang.
Toh, kendati "anginnya" sudah mulai mereda, ancang-ancang kenaikan suku bunga dolar itu telah terasa pukulannya sampai ke Asia. Lihat saja, ekspektasi kenaikan suku bunga dolar telah "memukul" baht Thailand dan won Korea hingga terus melemah. Peso Filipina memang bisa tetap bertahan. Tapi banyak yang percaya, itu karena suku bunga peso juga naik setengah persen. Lantaran khawatir terhadap kenaikan suku bunga dolar ini pula Bank Sentral Eropa (ECB) langsung mengerek suku bunga Euro mencapai 4,25 persen.
Bagaimana dengan Indonesia? Ekspektasi kenaikan suku bunga dolar ini jelas telah membuat seluruh sendi perekonomian kita empot-empotan. Jika benar suku bunga dolar akan menjadi 8 persen, selisihnya dengan suku bunga rupiah hampir-hampir tidak ada lagi. Akibatnya, semua orang akan berduyun-duyun memindahkan aset dan hartanya dalam mata uang dolar. Kalau itu terjadi, bisa dibayangkan, bagaimana jadinya nasib nilai tukar rupiah. Sekarang saja, dengan selisih suku bunga bersih sekitar 4 persen, harga rupiah sudah terjerembap hingga kurs Rp 8.600 per dolar.
Memang ada satu jurus mudah untuk menangkis sawab kenaikan suku bunga dolar, yaitu dengan menaikkan suku bunga simpanan rupiah sehingga mengimbangi kenaikan dolar. Tapi, toh jurus mudah ini bukan tanpa masalah.
Soal pertama yang harus segera diatasi: pengeluaran pemerintah untuk membayar bunga obligasi otomatis akan melonjak cepat. Bayangkan saja, hingga akhir Maret lalu, ada Rp 214 triliun surat utang pemerintah (untuk membiayai injeksi modal perbankan) yang tingkat suku bunganya floating alias naik-turun sesuai dengan tingkat suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang berjangka tiga bulan. Jika SBI naik, kupon obligasi ratusan triliun rupiah itu juga merangkak naik. Andai saja bunga SBI naik 1 persen saja, anggaran untuk membayar bunga obligasi akan naik dari Rp 42 triliun menjadi Rp 44,14 triliun.
Itu baru naik 1 persen. Bagaimana jika 2 persen atau bahkan 3 sampai 4 persen? Mudah dibayangkan, bagaimana rentannya keadaan keuangan negara yang begitu sensitif terhadap naik-turunnya tingkat suku bunga.
Boleh jadi, karena sensitivitas keuangan negara itu pula, Anwar Nasution, Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia yang mestinya independen, merasa tak berdaya menghadapi tekanan kenaikan harga dolar. "Habis, mau apa? Kita tak punya instrumen apa-apa," katanya dalam wawancara dengan Reuters Financial Television di Singapura pekan lalu.
Di samping tekanannya terhadap pos-pos keuangan negara, kenaikan suku bunga rupiah juga akan kembali menghantam sektor perbankan. Dengan suku bunga simpanan serendah sekarang saja (artinya biaya dana alias cost of fund rendah), bank-bank belum mampu mencairkan kredit. Bagaimana pula jika suku bunga rupiah naik? Yang sudah pasti, biaya dana akan meningkat dan itu berarti bank-bank bakal kelindas virus negative spread (pendapatan bunga lebih rendah ketimbang biaya bunga yang dibayarkan bank), persis seperti dulu di masa krisis.
Memang betul, untuk mengompensasi kenaikan suku bunga simpanan, boleh saja suku bunga pinjaman juga dinaikkan dari posisi 19 persen saat ini. Tapi itu tak akan banyak menolong. Kenaikan bunga pinjaman diperkirakan justru akan menurunkan kemampuan para peminjam uang bank (debitor) untuk membayar cicilan utangnya. Ancamannya, trauma kredit macet akan membayang kembali.
Buat bankir, pilihan antara negative spread dan kredit macet sama sulitnya. "Itu ibarat komplikasi penyakit liver dan kencing manis," gerutu Soeswidijono, Kepala Humas Bank Mandiri. Agar sembuh dari deraan liver, si pasien mesti mengonsumsi lebih banyak gula. Celakanya, jika itu dilakukan, kadar gulanya akan melonjak. Kendati demikian, kalau harus memilih, Soeswidijono lebih senang menaikkan suku bunga simpanan saja (sehingga mengakibatkan negative spread) ketimbang harus pula mendongkrak bunga kredit. Dibandingkan dengan kredit macet, katanya, tingkat kerugian negative spread masih bisa diukur, sehingga perencanaan masih bisa dilakukan.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom juga mengakui, jika suku bunga dolar naik, mestinya suku bunga domestik juga harus naik. Jika tidak, "Nilai tukar rupiah pasti merosot." Hanya, Miranda mengaku, BI tak mau gegabah buru-buru memompa suku bunga rupiah. Ada segepok alasan. Pertama, durasi kenaikan suku bunga dolar belum bisa diperkirakan. Maksudnya, belum jelas betul, apakah kenaikan suku bunga dolar yang akan datang itu permanen atau tidak.
Alasan lain, Miranda tak percaya lemahnya rupiah saat ini semata-mata karena ancang-ancang naiknya suku bunga dolar. Biang kerok depresiasi rupiah, kata Miranda, bukanlah isu ekonomi, tapi politik. Dengan kata lain, rupiah melemah karena faktor risiko naik, bukan karena faktor yield. Karena itu, ia tak percaya, kenaikan suku bunga rupiah mampu meredam pelarian modal. Pelarian modal, katanya, terjadi karena risiko berusaha dan risiko memegang uang di Indonesia yang tak bisa diobati dengan kenaikan suku bunga.
Betul, tingginya risiko itu bisa saja dikompensasi dengan tingginya yield. Caranya, ya itu tadi, dengan menaikkan suku bunga rupiah. Sampai seberapa tinggi? Itulah yang menjadi soal. Miranda sendiri setuju jika BI pada akhirnya terpaksa menaikkan suku bunga. Tapi ada syaratnya: secara bersamaan harus ada upaya untuk mengurangi faktor risiko di dalam negeri.
Kenaikan suku bunga, menurut Miranda, cuma akan menguntungkan para deposan--mereka yang punya duit berlebih. Dari satu sisi, langkah ini justru merugikan karena tingginya suku bunga bisa menjadi disinsentif bagi orang untuk melakukan usaha produksi. Kenaikan suku bunga, secara makro, bisa dikatakan menguntungkan jika itu cukup efektif dalam menahan laju inflasi.
Nugroho Dewanto, Agus Hidayat, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo