Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Kata Pengamat soal Anjloknya Nilai Tukar Rupiah dan IHSG

Anjloknya nilai tukar rupiah dan IHSG memperdalam kekhawatiran investor atas arah perekonomian nasional di bawah pemerintahan baru Presiden Prabowo.

11 April 2025 | 05.53 WIB

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. TEMPO/Tony Hartawan
Perbesar
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus melorot ke titik terendah sepanjang sejarah. Hal itu memicu kekhawatiran akan krisis finansial seperti yang pernah melanda Indonesia pada 1997-1998.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Bersamaan dengan itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turut terguncang, memperdalam kekhawatiran investor atas arah perekonomian nasional di bawah pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak pelantikan Presiden Prabowo pada Oktober lalu, rupiah tercatat melemah sekitar 8 persen terhadap dolar AS. Pada Selasa lalu, rupiah menyentuh rekor baru dengan nilai tukar Rp 16.850 per dolar, melampaui level krisis 1998 yang selama ini dianggap sebagai batas psikologis masyarakat Indonesia.

"Yang terjadi di Indonesia sekarang mencerminkan seberapa besar kepercayaan investor global terhadap keputusan ekonomi kepemimpinan saat ini," ujar Achmad Sukarsono, analis senior dari firma konsultan risiko Control Risks di Singapura, seperti dikutip dari Al Jazeera, Selasa, 8 April 2025.

Memori Kelam Krisis 1998

Meski fluktuasi nilai tukar bukan hal baru bagi Indonesia, termasuk selama pandemi Covid-19, penurunan hingga di bawah level 1998 membuat banyak pihak waspada. Hal ini dinilai oleh Profesor Emeritus Ekonomi Asia Tenggara dari Australian National University (ANU), Hal Hill, sebagai trauma kolektif masyarakat. "Ada kenangan kuat bahwa jika rupiah anjlok dalam, publik mulai cemas dan merasa krisis lama akan terulang," ungkap Hill.

Pengamat ekonomi menyoroti kombinasi faktor domestik dan eksternal sebagai penyebab anjloknya rupiah dan gejolak pasar saham. Di dalam negeri, sejumlah kebijakan Prabowo dinilai memicu ketidakpastian investor. Salah satunya adalah program makan siang gratis senilai 30 miliar dolar AS yang dianggap membebani anggaran, serta rencana pelemahan independensi Bank Indonesia.

Selain itu, keputusan membentuk dana abadi (sovereign wealth fund) Danantara dengan modal awal 20 miliar dolar AS serta langkah untuk memperluas peran militer di jabatan sipil dianggap menghidupkan kembali bayang-bayang rezim otoriter Orde Baru.

"Kita sedang menghadapi ketidakpastian yang sangat tinggi dan penurunan signifikan kepercayaan pasar," kata Arianto Patunru, ekonom dan peneliti senior di ANU Indonesia Project.

Di sisi global, Indonesia juga dihantam perlambatan ekonomi Cina serta meningkatnya ketegangan perdagangan akibat kebijakan tarif tinggi Presiden AS Donald Trump. Trump telah mengumumkan tarif baru sebesar 32 persen untuk barang impor asal Indonesia, yang dinilai memperparah tekanan eksternal terhadap ekonomi Tanah Air.

Nasib Kelas Menengah

Meski secara makroekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan PDB di atas 5 persen dalam beberapa tahun terakhir, kenyataan di lapangan menunjukkan memburuknya taraf hidup. Data Badan Pusat Statistik mencatat jumlah kelas menengah dengan pengeluaran bulanan antara Rp 2 juta hingga Rp 9,9 juta turun dari 57,3 juta orang pada 2019 menjadi 47,8 juta orang pada 2024.

Mantan Menteri Keuangan, Muhammad Chatib Basri, bahkan menyebut kelas menengah sebagai “populasi yang secara ekonomi sedang tertekan” dengan daya beli melemah dan tabungan minim.

Menurut Hill dari ANU, tantangan ekonomi Indonesia saat ini merupakan yang terberat sejak krisis akhir 1990-an. "Masalahnya adalah kepemimpinan baru. Dunia usaha masih mencoba memahami arah kebijakan Presiden Prabowo, terutama dalam mengelola fiskal, di tengah tekanan global yang semakin rumit," ujarnya.

Sukarsono dari Control Risks menilai prioritas pemerintah tampak tidak selaras dengan kenyataan ekonomi masyarakat. "Ketika seharusnya fokus diarahkan pada penyusutan kelas menengah dan gelombang PHK di sektor manufaktur padat karya, pemerintah justru lebih sibuk dengan program-program yang tidak menyentuh akar persoalan daya beli masyarakat," ujarnya.

Michelle Gabriela berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus