HAMPIR saja Zainal pergi tanpa pesangon. Karena lalai dalam tugas sebagai piket, pemuda berusia 22 tahun itu diberhentikan dari pekerjaannya di surat kabar Analisa, Medan. Tapi Yayasan Sarnako, yang menghimpunkan karyawan perusahaan penerbit itu, bertindak cepat, memberi saran kepada pemimpin umum. Dan Zainal akhirnya mengantungi pesangon dua bulan gaji, Rp 130.000, walaupun harus kehilangan mata pencaharian. Ganjaran Yang diterima pegawai perusahaan pers ini dijatuhkan Mei 1982. Peristiwanya terjadi satu bulan sebelum Menteri Penerangan - waktu itu Ali Moertopo - menyampaikan rencana perubahan UU Pokok Per 1966 dan menyodorkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) di DPR. Kini setelah SIUPP berlaku kawan-kawan Zainal yan masih bekerja di Analisa mi nimum akan berhak ata 20% saham, secara kolektif Dua setengah tahun lalu, ja minan perundangan-perun dangan bagi karyawan per seperti Zainal memang be lum seperti itu. Lembaga, yang membawakan kepen tingan para pekerja pun kadang-kadang tidak ada. Sebetulnya, Yayasan Sarnako (Keluarga Besar Analisa Kumango) tak berhak turut campur dalam kasus pemecatan Zainal. Tapi, "Yayasan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan saran, walaupun belum tentu diterima," kata H.M. Hasyim, 58, sekretaris pelaksana merangkap komisaris Yayasan Sarnako. Badan yang menghimpunkan karyawan pers seperti ini, tampaknya, hingga sekarang sangat beragam d berbagai penerbitan di Indonesia. Karyawan Pikiran Rakyat (PR) iuga tak punya lembaga resmi yang mewakih kepentingan mereka. Pegawai surat kabar terbitan Bandung ini, yang kini memasuki usia 19 tahun, sekarang berjumlah 300 orang. Hubungan mereka dengan perusahaan hanya tersalur lewat kepala bagian di pelbagai bidang. "Setelah semua masalah ditampung," kata Bram M. Darmaprawira, 47, pemimpin harian redaksi PR, "kemudian dimusyawarahkan dengan para pernegang saham." Dalam forum ini, para kepala bagian bertindak sebagai wakil karyawan. Badan pembawa suara karyawan di suatu penerbitan itulah yang belakangan ini kerap disebut Menteri Tenaga Kerja Sudomo. Pertengahan November lalu, Sudomo mencanangkan niatnya mengenai basis buruh pers di perusahaan penerbitan, setelah berdialog dengan Menpen Harmoko. Serikat pekerja, menurut Sudomo, bukan momok yang harus ditakuti. Hal itu diutarakan Menteri Tenaga Kerja dalam menanggapi keterangan Dirjen PPG Sukarno, S.H. oirjen mengatakan, pembentukan serikat sekerja di kalangan karyawan pers tidaklah sesuai dengan asas kekeluargaan dan kebersamaan Indonesia, jika ia bersifat penghimpunan kekuatan (TEMPO, 10 November 1984). Menteri Harmoko dalam pertemuan dengan Sudomo, Jumat pekan silam, kembali menegaskan, wartawan sebagai profesi harus dibedakan dengan wartawan sebagai tenaga kerja. Tapi tampaknya bagi Sudomo, bila terjadi hal-hal yang menyangkut ketenagakerjaan atas wartawan, masalah itu menJadl urusannya. Pertemuan ini berkesudahan dengan sebuah kesepakatan, pembentukan serikat pekerja pers tidak perlu. Walau begitu, masalah ini tetap akan dibicarakan dalam sidang Dewan Pers di Solo minggu depan. Mengapa berkeberatan dengan serikat buruh? "Dasar pemikiran serikat buruh," kata wakil pemimpin umum Kompas, P. Swantoro, "adalah semangat free fight. Ia lahir darikepentingan masing-masing." Bagi Swantoro, apabila SIUPP diterapkan dengan baik, ia akan lebih maju dari gagasan tentang serikat buruh tersebut. Kompas, yang terbit sejak 1965, kini dengan karyawan 1.600 orang, kata Swantoro, menjalankan manajemen partisipatif. Di sini dikenal lembaga yang namanya Corporate Managerial Meeting (CMM). Lembaga tertinggi ini membawahkan Divison Managerial Meeting (DMC), yang membawahkan lagi unit-unit lebih kecil. Tapi, kata Swantoro, sama sekali tak tertutup kemungkinan membawa keluhan ataupun masalah karyawan langsung ke pimpinan. Di perusahaan lain, oleh 210 karyawan majalah wanita Kartini, wadah para pegawai untuk menyelesaikan segala urusan itu diberi nama Rapat Koordinasi (Rakor). Namun, untuk 200 karyawan surat kabarJaa Pos, Surabaya, badan seperti itu belum ada. Sementara itu. di linekunean karvawan PT Sinar Kasih, penerbit harian Sinar Harapan (SH), dikenal koperasi para pegawai. Koperasi ini turut serta dalam rapat pemegang saham. Kata pemimpin redaksi dan wakil pemimpin umum SH, Subagyo Pr., "Koperasi karyawan ini memegang 60% saham PT Sinar Kasih." Istilah serikat buruh bukan tidak pernah dipakai di lingkungan para pekerja perusahaan penerbit selama ini. PT BP Kedaulatan Rakyat, penerbit surat kabar Kelaulatan Rakyat (KR), Yogyakarta, memberi tempat berhimpun bagi 303 orang karyawannya di bawah panji Serikat Buruh Percetakan dan Penerbitan (SB Perpen) BP Kedaulatan Rakyat. Serikat pekerja ini berdiri 24 Agustus 1975 - semasa sesepuh KR, M. Wonohito, masih hidup - dan terdaftar di Departemen Tenaga Kerja. "Mereka adalah partner kami," kata Iman Soetrisno, direktur utama PT BP Kedaulatan Rakyat, pengganti Wonohito. Serikat buruh ini mengikatkan diri dalam perjanjian kerja sama dengan penerbit KR. Keanekaan memang sangat terasa untuk ini. Tapi sebagai wadah, SB Perpen KR di Yogyakarta, boleh jadi agak kuat. Ketika muncul kegelisahan di kalangan pegawai yang sudah bekerja lebih dari 30 tahun karena takut dipensiunkan - Agustus lalu, masalahnya cepat ditenangkan. Dalam perjanjian kerja sama dengan penerbit terlebih dulu sudah dicantumtentukan, karyawan yang sudah bekerja lebih dari 30 tahun tidak akan dipensiunkan - jika dia memiliki keahlian atau punya anak yang harus dia biayai sekolahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini