DI akhir usianya yang semakin lanjut, digerogoti komplikasi penyakit ketuaan, Arthur Koestler merasa jengkel. Ia merasa penderitaannya tak tertahankan justru ketika para dokter berusaha memperpanJang usianya "Kurasakan kekerasan dipaksakan padaku ketika adrenalin yang disuntikkan mengencangkandenyut otot-ototku dan menderaskan aliran darahnya," ujarnya. Penulis termasyhur itu, pada usia 77 tahun, akhirnya mengambil keputusan besar Maret tahun lalu. Ia bunuh diri bersama istrinya Cynthia yang berusia 56 tahun. Toh ini bukan peristiwa bunuh diri biasa. Koestler membetot nyawanya sendiri dengan sebuah keyakinan mahateguh. Pada akhlr hldupnya, ia dikenal sebagai salah satu penyokong tangguh euthanasia, ikhtiar mengurangi penderitaan yang belakangan menJadl semacam tuntutan mendapat hak untuk mati di kalangan penderita yang tak punya harapan hidup. Koestler memang seorang pemikir sekuler. Karena itu, la mehhat penderitaan fisik akibat penyakit sebagai siksaan, bila dibiarkan. Dan tidak melihatnya sebagai kodrat. Namun, bukan cuma Koestler yang mempersoalkan euthanasia. Beberapa tahun terakhir ini, ikhtiar mengakhiri penderitaan itu ramai dibicarakan di Eropa dan Amerika. Bahkan Sabtu pekan lalu, diskusi,sejenis muncul pula di Jakarta pada Simposium Euthanasia. Pertemuan ilmiah yang diselenggarakan majalah Higina ini menampilkan sejumlah ahli dari lingkungan kedokteran, hukum, dan agama. Dan, seperti sudah bisa diduga, perdebatan yang terjadi cukup ramai. Wakil Ketua PB IDI dr. Kartono Mohamad, salah seorang pembicara, mengutarakan keinginan para dokter untuk mengurangi penderitaan seorang pasien. Ia memang mempersoalkan euthanasia itu. "Mana yang lebih menderita, kesakitan atau mati?" tanyanya. Kartono berpendapat, sekalipun kini ilmu kedokteran sudah mampu mengatasi berbagai kematian akibat penyakit, belum ada upaya yang unggul mengatasi rasa sakit. Dikisahkannya, di kalangan dokter senantiasa bangkit semacam tekanan batin melihat pasien yang berteriak kesakitan akibat penyakit yang dideritanya. Ia mengakui, memang sulit mengungkapkan secara eksplisit hak untuk mati bagi penderita penyakit. Misalnya, pasien gawat yang sudah tak punya harapan umumnya sudah tak dapat diajak berkomunikasi, sehingga tak mudah menanyakan apakah ia ingin menggunakan haknya untuk mati. Apalagi bila penderita adalah seorang anak yang belum mampu mempertimbangkan baik buruknya hidup atau mati. Karena itu, Kartono berpendapat bahwa keputusan untuk mengakhiri penderitaan sebaiknya menyertakan keluarga pasien. Pada kenyataannya, euthanasia toh sudah dilaksanakan secara tak langsung di sini. Misalnya, keluarga pasien sering kali memintadengan paksa agar penderita dikeluarkan dari rumah sakit. Prosedur ini, menurut Kartono, memang ada, dan dokter diperkenankan melepaskan tanggung jawab dengan cara begini. Padahal, baik keluarga maupun dokter tahu, pasien akan meninggal bila perawatan diputuskan. Keadaan itu memang sering menjadi pilihan karena keluarga sudah merasa tak mampu memblayai pengobatan, sementara harapan untuk sembuh sudah tak ada. Toh euthanasia bukan cuma masalah setuju atau tidak. Persoalannya belum selesai kalaupun prinsipnya diterima. Menurut Kartono, masih perlu pula ditetapkan berbagai peraturan lain. Misalnya bagaimana menentukan harapan hidup seorang pasien dan seberapa tingkat penderitaannya. Untuk ini dibutuhkan sebuah tim konsultasi, dokter yang merawat tak bisa - atau tak berhak menentukan sendiri. Di samping itu, dokter pun perlu dilindungi. Tidak hanya dalam menjalankan euthanasia, tapi juga menolak atas dasar agama yang dipeluknya. Kalau tidak, seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat, seorang dokter dituntut karena tak mau menghentikan penderitaan seorang pasien yang sudah memilih untuk mati saja. Pembicara lain. dr. Mun'im Idries - yang sehari-hari bekerja di Lembaga Kriminologi UI - mengutarakan bahwa bila euthanasia tidak disahkan hukum, dokter akan berada dalam kedudukan sulit. Yang dimaksudkannya, apa pun usaha dokter dalam mengurangi penderitaan pasien, bila melibatkan kematian, senantiasa bisa ditafsirkan sebagai pembunuhan menurut KUHP. Pendapat Mun'im ini sampai-sampai menundan kecemasan seoran dokter ahli paru yang kebetulan , mengikuti diskusi. "Apa sih definisi kematian?" tanyanya khawatir. Dokter itu sehari-hari bertugas sebagai pencabut slang pernapasan untuk menyempurnakan kematian seorang pasien yang memang sedang sekarat. Kini, baru ia sadar, pekerjaan yang sudah ratusan kali dilakukannya itu, di satu sisi bisa dianggap euthanasia, tapi di sisi lain bisa mengundang tangan hukum. Sementara itu, pembicara-pembicara dari lingkungan agama, seperti sudah bisa diduga, menentang keras gagasan euthanasia. Pastor Dr. Frans Magnis Suseno, atas nama Gereia Katolik. menentang dengan tegas intervensi dokter atas kematian alamiah. Ia mengakui, pada masa kini teknologi sudah mampu menggantl semua organ manusia yang rusak, hingga tubuh bisa tetap hidup seperti mesin sementara manusianya tak lagi mempunyai kesadaran. Adakah keadaan ini digolongkan "hidup", atau "mati"? Namun, Frans Magnis tetap bertahan, sekalipun otak sudah mati sama sekali, kehidupan manusia yang seperti tanaman sekalipun harus dipertahankan. Sementara itu, Dr. Harun Nasution yang melihat dari sisi Islam memberi tanggapan yang agak lunak. Ia memasalahkan seberapa jauh euthanasia menghilangkan hayat, seberapa jawh pula menghilangkan nyawa. Tapi ia mengungkapkan, tak ada ajaran absolut mengenai euthanasa dalam Islam. Betapapun agama memiliki andil penting dalam masalah euthanasia. Koestler, pemikir sekuler itu, dengan berani menghadapi kematian justru karena ia sangat religius pada akhir hayatnya. Ia percaya pada kehidupan sesudah mati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini