Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kambing Hitam Saya Ada Di ...

Kenaikan harga minyak internasional, menguntungkan juga menimbulkan persoalan. bbm naik ada hubungan dengan inflasi. pemerintah perlu menyediakan subsidi bbm yang disesuaikan terus-menerus.

10 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYESUAIAN harga BBM seiap kali diramaikan dengan lagu Ca Ca Marica versi khusus: "Mana di mana kambing hitam saya?" Si kambing hitam yang dicari adalah sumber penyebab inflasi yang berlebihan. Dengan perhitungan rasional -- apabila digunakan setiap orang -- akibat inflasi dari kenaikan harga BBM seharusnya tidak sebesar yang terjadi di waktu lalu. Apabila diluangkan waktu untuk membuka kembali laporan-laporan dalam media pers selama 20 tahun terakhir ini, sehubungan dengan penyesuaian harga BBM dan tarif-tarif dapat dilihat pola-pola yang menerangkan terjadinya pengaruh yang berlebihan. Tergantung dari zamannya, faktor-faktor politis, pengelolaan pemerintah dan psikologi massa yang memainkan peranan besar. Di zaman orde lama, suasana politik memaksa dipertahankannya harga-harga yang sama sekali tidak realistis, termasuk harga BBM. Sebagai konsekuensi maka pihak produsen, yang untuk sebagian terbesar adalah perusahaan-perusahaan negara, disubsidi untuk tetap hidup. Dengan suntikan subsidi itu produsen didorong untuk menjadi semakin tidak efisien. Akhirnya harga BBM terpaksa naik, untuk membiayai subsidi yang membengkak, dan anggaran revolusi pemerintah yang semakin tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pengeluaran yang sangat besar bagi kegiatan yang tidak produktif jelas mengakibatkan inflasi yang besar pula. Orde Baru menerima warisan dari keadaan sebelumnya. Karena kaitan harga BBM dengan inflasi yang ganas, penyesuaian harga BBM ditentang dengan demonstrasi-demonstrasi yang mengganggu stabilitas. Risiko ini tampaknya mempengaruhi cara pemerintah mengambil keputusan. Celakanya, sikap yang terlampau berhati-hati itu justru menciptakan suasana penuh ketidakpastian. Dalam suasana demikian, sikap "rasional" adalah yang justru tidak rasional: misalnya spekulasi. Karena pola tingkah laku seperti ini diketahui akan berlaku, setiap orang membuat antisipasi yang berlebihan. Kecerobohan dalam koordinasi pada tingkat pemerintah telah memperbesar peluang-peluang spekulatif: penyesuaian tarif diketahui harus terjadi, tetapi dibiarkan berlarut-larut tanpa kepastian mungkin sengaja atas pertimbangan menghindarkan gejolak seketika yang terlampau besar. Misalnya, kesimpang-siuran tahun lalu mengenai harga eceran tertinggi (HET) minyak tanah terjadi karena tidak diketahui bahwa wewenang penetapannya berada di tangan gubernur dan bukan pada pemerintah pusat. Pengaruh Berlebihan Dari pengalaman masyarakat mengamati dan merasakan pengaruh kenaikan harga BBM selama bertahun-tahun itu, kiranya telah tertanam mithos bahwa kenaikan BBM pasti akan menyulut api inflasi yang besar. Cara pemerintah menyampaikan keputusan penyesuaian harga BBM tahun ini mungkin menghilangkan salah satu sumber ketidakpastian: penyesuaian harga BBM dilakukan bersama-sama dengan penyesuaian tarif-tarif dalam satu paket, dan dalam waktu singkat disusul oleh penetapan HET di daerah-daerah. Pengamatan selama beberapa hari ini tidak menunjukkan gejolak harga-harga, walaupun kenaikan harga BBM sebesar rata-rata 50% ini cukup menyolok dan belum pernah terjadi sejak Mei 1970. Mustahil tidak terjadi kenaikan harga. Dalam suatu ekonomi di mana harga bahan pokok ditetapkan, penyesuaian harga tersebut mengharuskan seluruh kegiatan ekonomi melakukan penyesuaian. Dalam penyesuaian ini akan terselip efek-efek berlebihan. Sebab memang terbuka peluang-peluang, dan dalam banyak hal efek itu sukar dihindarkan, karena dalam ekonomi seperti itu kekuatan pasar hanya berlaku secara lemah. Mungkin belum keseluruhan sumber-sumber pengaruh yang berlebihan sudah dapat dihilangkan. Sebagai contoh: masih terlihat gejala mengantri bensin sampai jauh malam, hanya untuk menarik peluang sebesar rata-rata 30 liter kali Rp 50 atau Rp 1.500. Ke tempat pompa bensin itu sendiri, apalagimencari yang masih melayani, menghabiskan bensin. Lebih ironis lagi, Rp 1.500 itu diperebutkan orang-orang yang mampu membeli mobil seharga jutaan rupiah. Mungkin terdapat alasan teknis yang bisa membawa pengaruh yang berlebihan pula. Misalkan dalam struktur ongkos suatu produk besarnya komponen BBM adalah 25% dengan kenaikan harga BBM sebesar 50%, harga produk itu seharusnya naik 20%. Bila harga produk semula Rp 30, kini seharusnya menjadi Rp 36. Tetapi di mana sekarang ini masih dikenal kenaikan dalam besaran satu rupiah? Harga produk itu pasti dibulatkan ke atas menjadi Rp 40, atau kenaikan sebesar 33,3%. Konsumen eceran dengan pembelian berskala lebih kecil akan lebih terkena akibat teknis ini. Paket penyesuaian tahun ini juga menetapkan cara pemerintah membagi beban penyesuaian. Penyesuaian tarif secara tidak proporsional itu mencerminkan penerapan asas pemerataan yang semakin tegas, dan mungkin tetap dalam batas-batas yang dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomis. Di waktu lalu, juga karena penyesuaian dilakukan secara fragmentaris, asas pemerataan hanya ditetapkan secara sempit dalam struktur harga BBM. Misalnya, persentase kenaikan harga minyak tanah jauh lebih kecil daripada jenis-jenis BBM tertentu. Dari pertimbangan sosial penetapan ini masuk akal, tetapi tidak demikian halnya dari sudut pertimbangan ekonomi dan kebijaksanaan energi jangka panjang. Kini, asas pemerataan diterapkan secara lebih luas dengan melibatkan struktur tarif-tarif yang progresif, yang secara sosial dan ekonomis dapat diterima. Sebenarnya, harga minyak tanah yang berlaku sekarang berada jauh di bawah tingkat harga pada umumnya. Dengan mengambil dasar Mei 1970, harga minyak tanah pada Mei 1980 menjadi 3,75 kali, sedangkan harga bahan pangan (IBH untuk DKI dengan perkiraan untuk April dan Mei 1980) yang selama ini dipertahankan rendah telah meningkat menjadi 6,4 kali. Ditinjau dari segi penyediaan, ongkos produksi (harga patokan Pertamina) selama sepuluh tahun ini meningkat menjadi 12,8 kali, antara lain sebagai akibat kenaikan harga minyak internasional (nilai rupiah minyak Minas sebagai patokan) sebesar 32,7 kali. Kenaikan harga minyak internasional memang membawa berkat tetapi juga menimbulkan persoalan. Pengaruhnya di dalam negeri hanya bisa dikurangi bila pemerintah menyediakan bantal yang empuk, yaitu dengan cara memberi subsidi. Besarnya subsidi minyak tanah dengan penyesuaian baru-baru ini masih berkisar pada Rp 61 per liter, dan lebih tinggi lagi subsidi tahun lalu sekitar Rp 33 per liter. Ada banyak alasan mengapa subsidi BBM masih perlu di waktu-waktu mendatang, tetapi besarnya juga perlu disesuaikan terus-menerus. Masalah ini perlu diselesaikan secara hersama-sama. Tiada guna dicari-cari lagi di mana si kambing hitam. Tambahan lagi, masih banyak lagu-lagu lain yang bisa dinyanyikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus