PENYESUAIAN harga BBM seiap kali diramaikan dengan lagu Ca Ca
Marica versi khusus: "Mana di mana kambing hitam saya?"
Si kambing hitam yang dicari adalah sumber penyebab inflasi yang
berlebihan. Dengan perhitungan rasional -- apabila digunakan
setiap orang -- akibat inflasi dari kenaikan harga BBM
seharusnya tidak sebesar yang terjadi di waktu lalu.
Apabila diluangkan waktu untuk membuka kembali laporan-laporan
dalam media pers selama 20 tahun terakhir ini, sehubungan dengan
penyesuaian harga BBM dan tarif-tarif dapat dilihat pola-pola
yang menerangkan terjadinya pengaruh yang berlebihan. Tergantung
dari zamannya, faktor-faktor politis, pengelolaan pemerintah dan
psikologi massa yang memainkan peranan besar.
Di zaman orde lama, suasana politik memaksa dipertahankannya
harga-harga yang sama sekali tidak realistis, termasuk harga
BBM. Sebagai konsekuensi maka pihak produsen, yang untuk
sebagian terbesar adalah perusahaan-perusahaan negara, disubsidi
untuk tetap hidup. Dengan suntikan subsidi itu produsen didorong
untuk menjadi semakin tidak efisien.
Akhirnya harga BBM terpaksa naik, untuk membiayai subsidi yang
membengkak, dan anggaran revolusi pemerintah yang semakin tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Pengeluaran yang sangat besar bagi
kegiatan yang tidak produktif jelas mengakibatkan inflasi yang
besar pula.
Orde Baru menerima warisan dari keadaan sebelumnya. Karena
kaitan harga BBM dengan inflasi yang ganas, penyesuaian harga
BBM ditentang dengan demonstrasi-demonstrasi yang mengganggu
stabilitas. Risiko ini tampaknya mempengaruhi cara pemerintah
mengambil keputusan. Celakanya, sikap yang terlampau
berhati-hati itu justru menciptakan suasana penuh
ketidakpastian. Dalam suasana demikian, sikap "rasional" adalah
yang justru tidak rasional: misalnya spekulasi.
Karena pola tingkah laku seperti ini diketahui akan berlaku,
setiap orang membuat antisipasi yang berlebihan. Kecerobohan
dalam koordinasi pada tingkat pemerintah telah memperbesar
peluang-peluang spekulatif: penyesuaian tarif diketahui harus
terjadi, tetapi dibiarkan berlarut-larut tanpa kepastian
mungkin sengaja atas pertimbangan menghindarkan gejolak seketika
yang terlampau besar. Misalnya, kesimpang-siuran tahun lalu
mengenai harga eceran tertinggi (HET) minyak tanah terjadi
karena tidak diketahui bahwa wewenang penetapannya berada di
tangan gubernur dan bukan pada pemerintah pusat.
Pengaruh Berlebihan
Dari pengalaman masyarakat mengamati dan merasakan pengaruh
kenaikan harga BBM selama bertahun-tahun itu, kiranya telah
tertanam mithos bahwa kenaikan BBM pasti akan menyulut api
inflasi yang besar. Cara pemerintah menyampaikan keputusan
penyesuaian harga BBM tahun ini mungkin menghilangkan salah satu
sumber ketidakpastian: penyesuaian harga BBM dilakukan
bersama-sama dengan penyesuaian tarif-tarif dalam satu paket,
dan dalam waktu singkat disusul oleh penetapan HET di
daerah-daerah. Pengamatan selama beberapa hari ini tidak
menunjukkan gejolak harga-harga, walaupun kenaikan harga BBM
sebesar rata-rata 50% ini cukup menyolok dan belum pernah
terjadi sejak Mei 1970.
Mustahil tidak terjadi kenaikan harga. Dalam suatu ekonomi di
mana harga bahan pokok ditetapkan, penyesuaian harga tersebut
mengharuskan seluruh kegiatan ekonomi melakukan penyesuaian.
Dalam penyesuaian ini akan terselip efek-efek berlebihan. Sebab
memang terbuka peluang-peluang, dan dalam banyak hal efek itu
sukar dihindarkan, karena dalam ekonomi seperti itu kekuatan
pasar hanya berlaku secara lemah.
Mungkin belum keseluruhan sumber-sumber pengaruh yang berlebihan
sudah dapat dihilangkan. Sebagai contoh: masih terlihat gejala
mengantri bensin sampai jauh malam, hanya untuk menarik peluang
sebesar rata-rata 30 liter kali Rp 50 atau Rp 1.500. Ke tempat
pompa bensin itu sendiri, apalagimencari yang masih melayani,
menghabiskan bensin. Lebih ironis lagi, Rp 1.500 itu
diperebutkan orang-orang yang mampu membeli mobil seharga jutaan
rupiah.
Mungkin terdapat alasan teknis yang bisa membawa pengaruh yang
berlebihan pula. Misalkan dalam struktur ongkos suatu produk
besarnya komponen BBM adalah 25% dengan kenaikan harga BBM
sebesar 50%, harga produk itu seharusnya naik 20%. Bila harga
produk semula Rp 30, kini seharusnya menjadi Rp 36.
Tetapi di mana sekarang ini masih dikenal kenaikan dalam besaran
satu rupiah? Harga produk itu pasti dibulatkan ke atas menjadi
Rp 40, atau kenaikan sebesar 33,3%. Konsumen eceran dengan
pembelian berskala lebih kecil akan lebih terkena akibat teknis
ini.
Paket penyesuaian tahun ini juga menetapkan cara pemerintah
membagi beban penyesuaian. Penyesuaian tarif secara tidak
proporsional itu mencerminkan penerapan asas pemerataan yang
semakin tegas, dan mungkin tetap dalam batas-batas yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ekonomis.
Di waktu lalu, juga karena penyesuaian dilakukan secara
fragmentaris, asas pemerataan hanya ditetapkan secara sempit
dalam struktur harga BBM. Misalnya, persentase kenaikan harga
minyak tanah jauh lebih kecil daripada jenis-jenis BBM tertentu.
Dari pertimbangan sosial penetapan ini masuk akal, tetapi tidak
demikian halnya dari sudut pertimbangan ekonomi dan
kebijaksanaan energi jangka panjang. Kini, asas pemerataan
diterapkan secara lebih luas dengan melibatkan struktur
tarif-tarif yang progresif, yang secara sosial dan ekonomis
dapat diterima.
Sebenarnya, harga minyak tanah yang berlaku sekarang berada jauh
di bawah tingkat harga pada umumnya. Dengan mengambil dasar Mei
1970, harga minyak tanah pada Mei 1980 menjadi 3,75 kali,
sedangkan harga bahan pangan (IBH untuk DKI dengan perkiraan
untuk April dan Mei 1980) yang selama ini dipertahankan rendah
telah meningkat menjadi 6,4 kali. Ditinjau dari segi penyediaan,
ongkos produksi (harga patokan Pertamina) selama sepuluh tahun
ini meningkat menjadi 12,8 kali, antara lain sebagai akibat
kenaikan harga minyak internasional (nilai rupiah minyak Minas
sebagai patokan) sebesar 32,7 kali.
Kenaikan harga minyak internasional memang membawa berkat tetapi
juga menimbulkan persoalan. Pengaruhnya di dalam negeri hanya
bisa dikurangi bila pemerintah menyediakan bantal yang empuk,
yaitu dengan cara memberi subsidi. Besarnya subsidi minyak tanah
dengan penyesuaian baru-baru ini masih berkisar pada Rp 61 per
liter, dan lebih tinggi lagi subsidi tahun lalu sekitar Rp 33
per liter.
Ada banyak alasan mengapa subsidi BBM masih perlu di waktu-waktu
mendatang, tetapi besarnya juga perlu disesuaikan terus-menerus.
Masalah ini perlu diselesaikan secara hersama-sama. Tiada guna
dicari-cari lagi di mana si kambing hitam. Tambahan lagi, masih
banyak lagu-lagu lain yang bisa dinyanyikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini