Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Degub jantung orang banyak

Sutradara: putu wijaya produksi: teater mandiri resensi oleh: syubah asa. (ter)

10 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LOS Naskah dan sutradara: Putu Wijaya Produksi: Teater Mandiri HUKUMAN mati diketengahkan lagi. Sandiwara Putu Wijaya, Los, 23 April sampai 2 Mei di Taman Ismail Marzuki, pertama kali menarik karena topik tersebut. Selama hampir dua jam pertunjukan itu mengikat penonton di kursi dengan menampilkan seorang terhukum mati yang sedang menunggu pelaksanaan tembak. Jangan kuatir: si terhukum hanyalah boneka -- yang bukan main besar, dua kali ukuran kita, terbuat dari sabut dan kapuk. Lagi pula benda tercinta yang berkumis ini diceritakan terus-menerus tidur sampai tontonan selesai -- sampai ia habis ditembak. Toh proses menunggu eksekusi rupanya selalu mencekam. Semula memang ada sangkaan sandiwara ini akan "mempersoalkan" hukuman mati. Setidaknya, semangat pembelaan kepada kelompok semacam HATI misalnya, terasa dari dikesankannya kebaikan (atau keakraban dengan) si terhukum yang diceritakan sebagai bajingan tengik itu. Ada juga sindirian kepada kebrutalan perlakuan terhadap tahanan, di tempat "yang sekarang namanya lembaga pemasyarakatan". Massif dan Kelam Tapi seperti dituturkan pengarangnya sendiri dalam folder, setelah waktu berjalan lebih separuh menjadi jelas bahwa cerita sebenarnya tidak penting lagi. Topik hukuman mati, termasuk pro-kontranya, hanyalah diambil sebagai bahan dan bukan hasil alias "opini". Hasilnya sendiri memang berharga semacam rasa sayang kepada manusia, katakanlah -- juga terhadap para sipir penjara dengan watak mereka yang sama-sama tercinta. Bayangkan: di hampir akhir si terhukum dihadapkan pada regu tembak. Ditembak sekali, tak mempan. Ada jimat? Atau karena ia masih tidur? Ditembak lagi, tak mempan. Sekali lagi. Lalu sekali lagi -- karena para tukang tembak telanjur "syur". Yang terjadi kemudian pertentangan antara keluarga si terhukum (diwakili ibunya, yang keras kepala) dan dokter -- sebab si ibu memaksa membawa 'Jenazah" pulang untuk dimakamkan. Bagaimana orang belum mati mau dikubur? "Pokoknya kan sudah ditembak. Jangan sadis!" Bisa digambarkan kocaknya sandiwara -- yang bersandar justru pada kekuatan Putu Wijaya dalam bermain-main dengan logika atau prinsip atau teori. Lebih-lebih karena, seperti biasanya, Putu mengikut sertakan massa sebagai bahan pembuat berbagai pengelompokan dan hiruk-pikuk. Mereka terdiri pertama dari semacam balatentara atau polisi yang menahan si terhukum, dikepalai oleh tokoh 'Yang Mulia' yang dimainkan Renny Putu Wijaya Dan kedua khalayak di luar pihak penjara keluarga korban yang juga dipimpin Renny (Ibu), dua orang wartawan dan tamu lain yang kehhatannya pejabat. Dengan menggunakan gerak karikatural untuk kelompok Yang Mulia, juga sipir penjara, dokter, wartawan, pejabat, dan dengan warna dusun pada kelompok keluara. Putu melaksanakan kebiasaannya "mengacau-balaukan" ruang yang oleh Koedjito telah ditata cukup sugestif dengan dinding penjaranya yang massif dan kelam. Jenis progresi Putu Wijaya, yang hampir selalu bukan plot yang lurus, disandarkan pada ritme yang diungkapkan dengan mengeksploatasi berbagai bentuk dan terutama perubahan terus-menerus. Sebagai satu bukti pemberontakan kepada melodrama adalah kesadaran pada ancaman kebosanan Putu hampir selalu membuyarkan adegan sebelum benar-benar berakhir. Atau sebelum benar-benar menghanyutkan. Adegan terbagus ialah ketika muncul seseorang -- berpakaian pengamen menyanyikan lagu melankolis Jawa: Yen ing tawang ana lintang, di tengah upacara makan malam terakhir (ingat upacara makan Kusni Kasdut dan keluarganya?). Wajah para keluarga dan cara makan mereka seperti manusia yang sudah dibetot kesadarannya, dungu dan sayu -- dan suasana sedih dan lucu hadir bersama, saling desak mendesak. Dan di tengah keributan karena si terhukum "tak mempan peluru", tiba-tiba wartawan mengangkat tustelnya -- dan semua orang, termasuk sipir, keluarga, dokter bergaya sebentar untuk dipotret. Ini memang pertunjukan Putu yang bagus. Di samping Renny yang dengan baik membawakan dua peran penting, kepala sipir yang diperankan Budhi Setiawan juga mengangkat drama ini dengan penampilannya yang gesit, justru pada saat tontonan bisa kendur, yakni saat penampilan individual. Ia dibantu dengan baik misalnya oleh Kamsudi Merdeka sebagai salah seorang petuga penjara. Dan hampir seperti ada peningkatan kesadaran seni rupa, boleh dibilang tiap adegan dibikin dengan komposisi, warna, dan cahaya yang impresif tanpa menjadi dramatis. Demikianlah Putu Wijaya, satu-satunya dramawan (yang sehari-harinya makin sibuk) di TIM yang tetap bisa muncul dengan ajek, telah mewujudkan kreasi terakhirnya. Mungkin memang tidak lagi menampilkan greget 'rasa pahit (seperti Lho misalnya), namun juga tidak berpura-pura menjadi pejuang. Meski begitu jangan dikira tak ada sejenis pesan -- dirumuskan atau tidak. Suara tabuh yang dipalu dari belakang secara periodik, yang dikatakan sebagai degup jantung si terhukum "yang menggelisahkan tidur orang seluruh kota", tetap terkenang. Dan persis di bagian penutup, ketika tubuh boneka besar dirobek, tampak baterai yang menyala di bagian dada. Lampu panggung padam sudah. Tapi kelap-kelip jantung tetap ada. Syuba Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus