Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kebijakan Fiskal Prabowo Subianto. Ke Mana Arahnya?

Pasar mempertanyakan arah kebijakan fiskal Prabowo Subianto. Belanja ugal-ugalan bisa membuat Indonesia bangkrut seperti Mesir.

3 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Prabowo menghendaki belanja negara yang lebih agresif.

  • Belanja yang terlalu ekspansif menjadi awal malapetaka ekonomi.

  • Makan siang gratis dan belanja peralatan militer akan menggelembungkan defisit.

KEKISRUHAN politik dan sengketa hasil pemilihan umum atau pemilu masih membayangi pasar keuangan Indonesia. Investor pun masih menanti dalam ketidakpastian. Namun situasi pasar saat ini sebetulnya sudah mencerminkan ekspektasi positif. Karut-marut politik segera beres dan Indonesia akan punya pemerintahan baru pada Oktober mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berpijak pada hasil hitung cepat ataupun penghitungan manual Komisi Pemilihan Umum yang sudah mencapai hampir tiga perempat total suara, Prabowo Subianto sepertinya akan memimpin Indonesia hingga 2029. Dalam hal kebijakan ekonomi, pasar memperkirakan tak akan ada banyak perubahan arah kebijakan dari yang sudah dikerjakan Presiden Joko Widodo. Proyek-proyek infrastruktur serta program penghiliran hasil tambang dan mineral, misalnya, meski belakangan makin menuai kontroversi tajam apakah membawa manfaat atau mudarat bagi Indonesia, tetap akan berlanjut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kendati demikian, ada satu soal yang belum tuntas terjawab. Bagaimana kebijakan fiskal pemerintahan Prabowo kelak? Menjaga kebijakan fiskal yang pruden, tidak ugal-ugalan berutang sehingga menggelembungkan defisit, merupakan kunci stabilitas ekonomi Indonesia dalam tiga tahun terakhir sehingga selamat dari gejolak ekonomi global. 

Pemerintah berhasil menurunkan rasio defisit anggaran terhadap produk domestik bruto (PDB) ke bawah batas legal 3 persen, meski sempat melonjak pada masa pandemi. Rasio defisit itu bahkan turun amat jauh menjadi 1,65 persen tahun lalu.

Inilah jangkar paling kokoh yang membuat kepercayaan pasar kepada Indonesia tidak luntur. Hal itu tak lepas dari peran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang tegas mengunci brankas pemerintah, mencegah pengeluaran yang tak urgen dan tak berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi seperti impor pesawat tempur bekas seturut keinginan Prabowo, yang saat ini masih menjabat Menteri Pertahanan.

Prabowo memang punya pandangan berbeda. Dalam berbagai kesempatan, ia menyatakan Indonesia masih mampu memikul beban utang lebih besar. Rasio defisit anggaran terhadap PDB dinilainya masih terlalu rendah. Ia menginginkan kebijakan fiskal yang lebih agresif untuk membiayai program-programnya. Jika kelak Prabowo benar-benar mengadopsi kebijakan anggaran dengan defisit lebih besar, niscaya kepercayaan pasar bakal goyah. 

Tanda-tandanya sudah mulai tampak pekan lalu. Bukan Prabowo yang memulai, tapi justru Presiden Jokowi yang ikut campur tangan menyiapkan salah satu program Prabowo: makan siang gratis. Jokowi sampai menggelar sidang kabinet membahas dana untuk program itu agar tersedia dalam anggaran 2025 yang saat ini disusun pemerintah. Makan siang gratis adalah program mahal yang diperkirakan menelan ongkos hingga setara 2 persen dari PDB setiap tahun.

Belanja pemerintah yang terlalu ekspansif menggelembungkan defisit bisa menjadi awal malapetaka ekonomi. Untuk memahami dalil ekonomi yang paling mendasar ini, ada baiknya Prabowo mempelajari ekonomi Mesir, yang kini di ambang kebangkrutan. Dalam dua tahun terakhir, nilai mata uang Mesir anjlok lebih dari separuh, dari 15 menjadi 31 pound Mesir per dolar Amerika Serikat. Di pasar gelap Mesir, harga dolar Amerika bahkan mencapai dua kali lipat kurs resmi.

Biang kerok kesulitan itu antara lain defisit anggaran yang meledak untuk mengongkosi berbagai subsidi. Selain itu, mirip dengan Indonesia, ada proyek pembangunan ibu kota baru yang memakan ongkos US$ 58 miliar. Pemerintah Mesir pun tertimbun utang dalam dolar yang berbunga tinggi. 

Masalah memuncak ketika meletus perang di Gaza dan arus lalu lintas kapal di Terusan Suez merosot. Arus valuta asing yang masuk ke Mesir anjlok. Cadangan devisanya pun mengering. Kini Mesir tengah menanti pelaksanaan janji investasi US$ 35 miliar dari Uni Emirat Arab dan utang US$ 10 miliar dari Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menyelamatkan diri dari kebangkrutan.

Ekonomi Indonesia saat ini memang masih baik-baik saja. Namun, jika Prabowo tetap akan menjalankan program-program ambisius, populis, dan memakan biaya besar, dua-tiga tahun lagi Indonesia bisa mengikuti jalan Mesir, terancam bangkrut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Prabowo, Belajarlah dari Mesir "

Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus