Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Luhut Pandjaitan mengatakan separuh anggaran bansos tidak disalurkan kepada penerima yang berhak.
BPK menemukan penyaluran bansos yang tidak optimal membuat kekurangan penerimaan negara sebesar Rp165,03 miliar pada 2022.
Persoalan data keluarga penerima manfaat menjadi penyebab utamanya bansos salah sasaran.
KETUA Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa implementasi program-program perlindungan sosial dalam lima tahun terakhir sering tidak efektif, khususnya dalam penyaluran bantuan sosial atau bansos. “Dari total Rp 500 triliun anggaran bansos, hanya separuh yang benar-benar sampai ke tangan yang berhak,” ujarnya pada Jumat, 7 Februari 2025.
Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi itu membeberkan kendala utama dalam penyaluran bansos, antara lain penerima tidak memenuhi syarat dan data ganda. Bahkan ada penerima yang tidak memiliki nomor induk kependudukan (NIK).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mengatasinya, Luhut bertemu dengan pelaksana tugas Kepala Badan Pusat Statistik Amalia Adininggar Widyasanti. Ia berujar, pemerintah kini sedang melakukan transformasi besar melalui digitalisasi bansos guna memastikan setiap bantuan sosial tepat sasaran, baik dari segi jumlah maupun penerima manfaatnya.
Pemerintah sedang membangun Data Terpadu Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) atau data tunggal, yang mengintegrasikan tiga pangkalan data utama, yaitu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), dan Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE). Konsolidasi ini akan diuji silang dengan basis data kependudukan (SIAK) milik Kementerian Dalam Negeri agar lebih akurat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Luhut, langkah ini akan menjadi fondasi baru bagi sistem perlindungan sosial yang lebih akurat, transparan, dan berkeadilan. Ia yakin pembenahan data dapat menjadi solusi jangka panjang untuk memastikan bansos benar-benar membantu mereka yang membutuhkan tanpa kebocoran dan penyimpangan.
Tidak hanya perihal bansos, sistem tersebut juga akan mensinkronkan data penerima manfaat dengan program perlindungan sosial lain, seperti bantuan bahan pokok, subsidi listrik, dan elpiji. Presiden Prabowo Subianto, kata Luhut, menargetkan perampungan ekosistem digital pemerintahan pada 17 Agustus 2025.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan mengikuti rapat bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Rini Widyantini di Jakarta, 7 Januari 2025. Dok. Kementerian PANRB
Sebelumnya, Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengatakan arahan Presiden Prabowo berpijak pada survei kepuasan masyarakat dalam 100 hari kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran. Dari survei tersebut, tercatat bansos yang tidak tepat sasaran sebesar 29,2 persen. “Maka itu kemudian Presiden minta dilakukan validasi (data), dan yang diberi tanggung jawab adalah BPS sebagai lembaga yang paling tepat agar bantuan tepat sasaran,” ujarnya dalam keterangan resmi, 21 Januari 2025.
Kementerian Sosial pun menampik pernyataan Luhut bahwa dari total Rp 500 triliun anggaran bansos, hanya separuh yang tepat sasaran. “Rp 500 triliun ini bukan hanya merujuk pada bansos, tapi juga anggaran program-program subsidi sosial lain, termasuk subsidi listrik, BBM, dan gas elpiji 3 kilogram,” ucap Wakil Menteri Sosial Agus Jabo kepada Tempo, Senin, 10 Februari 2025.
Ia mengatakan anggaran bantuan sosial yang dikelola oleh Kementerian Sosial hanya Rp 78,42 triliun. Kementerian ini mengelola beberapa program bantuan sosial, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT).
Kendati demikian, Agus membenarkan bahwa penyaluran bansos kerap bermasalah sehingga Prabowo memberikan instruksi agar program bansos serta subsidi berbasiskan pada data yang akurat dan valid. Ia berujar, selama ini banyak lembaga yang berkaitan dengan program perlindungan sosial memiliki data masing-masing, seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Pertamina, serta Perusahaan Listrik Negara.
Untuk mengatasi permasalahan data yang tumpang-tindih, Kementerian Sosial menyerahkan data DTKS kepada BPS untuk dilakukan pemadanan dan rekonsiliasi. Kemudian BPS akan memverifikasi dan memvalidasi data agar lebih akurat. Hasilnya akan menjadi data tunggal yang menjadi dasar bagi semua kementerian dan lembaga dalam menyalurkan bantuan sosial ataupun subsidi.
Data tunggal ini nantinya, tutur Agus, akan diatur melalui instruksi presiden sehingga menjadi standar resmi yang digunakan oleh semua pihak. Kemensos bertugas melakukan pemutakhiran setiap tiga bulan sekali untuk memastikan data tetap valid, termasuk memperbarui status penerima meninggal, pindah tempat tinggal, atau menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Pada awal September 2023, Kementerian Sosial mengklaim berhasil menyelamatkan uang negara hingga Rp 523 miliar setelah memperbaiki data penerima bantuan sosial. Setidaknya ada 2,28 juta keluarga penerima manfaat (KPM) yang dikeluarkan dari DTKS. Selain itu, Kementerian Sosial dan pemerintah daerah menyatakan telah memperbaiki 41.377.528 data serta telah diterima 21,07 juta data usulan baru. Dengan rincian, 15,29 juta jiwa yang sudah mendapat bantuan sosial dan 4,4 juta jiwa yang diusulkan masuk DTKS.
Pemutakhiran pangkalan data penerima bansos juga membuat bantuan pangan tertunda. "Bantuan pangan beras yang sedianya dialokasikan untuk Januari dan Februari ditunda lebih dulu," kata Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi dalam keterangan resmi pada Jumat, 7 Februari 2025. Pemerintah resmi menghentikan sementara bantuan pangan beras 10 kg setelah rapat koordinasi terbatas bidang pangan pada 3 Februari 2025.
Basis data penerima bantuan pangan beras yang digunakan pada 2024 adalah data P3KE yang dikelola oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Sasaran penerima adalah 22.004.077 KPM yang terdiri atas kelompok desil 1 dengan jumlah 6,87 juta keluarga, desil 2 terdapat 7,47 juta keluarga, dan desil 3 sebanyak 7,65 juta keluarga. Kebutuhan beras untuk disalurkan kepada masyarakat selama enam bulan dalam program ini sebanyak 1,3 juta ton.
Persoalan penyaluran bansos yang tidak tepat sasaran sudah lama mencuat. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kesalahan penyaluran bansos pemerintah yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 6,9 triliun pada 2020. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Semester II Tahun 2021 menyebutkan kesalahan penyaluran bansos terjadi pada PKH, BPNT, dan Bantuan Sosial Tunai (BST).
Dalam laporannya, BPK menyebutkan ada enam kesalahan penyaluran bansos pemerintah yang tidak sesuai dengan ketentuan sehingga penerima manfaat tidak tepat sasaran. Pertama, BPK menemukan ada penerima bansos tahun lalu yang ternyata sudah meninggal, tapi masih masuk data KPM. Kedua, penerima bansos tidak ada dalam DTKS Oktober 2020 dan tak ada dalam usulan pemda yang masuk melalui aplikasi Sistem Kesejahteraan Sosial-Next Generation (SIKS-NG).
Ketiga, penerima bansos yang bermasalah pada 2020 masih ditetapkan sebagai penerima bansos pada 2021. Keempat, penerima dengan NIK invalid atau tidak terdaftar. Kelima, penerima sudah dinonaktifkan tapi masih diberi bantuan. Kesalahan terakhir adalah penerima bansos mendapat lebih dari sekali atau ganda.
Pembagian bantuan sosial beras di kantor Desa Sukamanah, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 11 Mei 2024. Tempo/Prima Mulia
Masalah penyaluran bansos terus berlanjut. BPK menemukan ada indikasi bansos senilai Rp 185,23 miliar sepanjang 2022 tidak tepat sasaran. Kondisi ini mengakibatkan penyaluran bansos menjadi tidak optimal serta terdapat kekurangan penerimaan negara sebesar Rp 165,03 miliar.
Ada dua obyek pemeriksaan. Obyek pertama adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban belanja bantuan sosial penanganan Covid-19 lanjutan 2022 sampai kuartal III pada Kementerian Sosial. Kedua, pengelolaan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) pada 2021-semester II 2022 pada Kementerian Ketenagakerjaan.
Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK Semester (IHPS) II 2022 mengungkapkan adanya permasalahan dalam penetapan dan penyaluran bantuan sosial, termasuk program bahan pokok, Bantuan Langsung Tunai (BLT) migor dan/atau BLT BBM yang tidak sesuai dengan ketentuan. Ditemukan sejumlah penerima bansos yang sebenarnya sudah mampu, telah graduasi, menolak bantuan, mengajukan pengunduran diri, atau tidak pernah mengambil kartu keluarga sejahtera dan buku tabungan masih tercatat dalam data penyaluran.
Yang teranyar, laporan IHPS semester I 2024 menemukan penetapan dan penyaluran bantuan sosial program bahan pokok, bantuan sosial BLT El Nino, serta bantuan Asistensi Rehabilitasi Sosial anak yatim piatu kepada keluarga penerima manfaat pada Kementerian Sosial tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam petunjuk teknis pelaksanaan program bantuan. BPK merekomendasikan seleksi dan pemutakhiran data penerima bantuan serta meningkatkan pengendalian dan pengawasan program pemberian bantuan sosial.
Sejumlah permasalahan dalam penyaluran bansos juga dilaporkan Ombudsman RI. Salah satunya ihwal keberadaan mitra penyaluran bantuan sosial yang tidak merata di sejumlah desa. Hal tersebut menjadi kendala penyaluran bantuan sosial untuk masyarakat di wilayah terluar, terpencil, dan tertinggal. Alur pendaftaran sebagai calon penerima bansos juga dinilai rumit dan berlarut-larut. Hal itu umumnya terjadi karena keterbatasan anggaran serta kompetensi sumber daya manusia. Informasi ihwal jenis serta mekanisme bantuan yang dapat diakses oleh masyarakat pun masih sangat minim sehingga banyak masyarakat yang tidak tahu.
Ombudsman menilai DTKS sebagai data utama penerima bantuan sosial juga belum sepenuhnya valid. Masih ditemukan data penerima bansos yang ternyata telah meninggal, tapi masih tercatat pada data. Fakta lain, tidak sedikit temuan di lapangan bahwa penerima bantuan sosial ternyata adalah orang yang seharusnya tak berhak menerima. Ada pegawai negeri, kepala desa, bahkan direktur.
Direktur lembaga kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, menekankan bahwa kesalahan dalam penyaluran bansos memiliki konsekuensi serius. Terlebih dalam situasi ekonomi yang sulit seperti saat ini. Sebab, orang yang berhak pun banyak yang justru tidak menerima bansos atau exclusion error. “Dalam situasi resesi seperti sekarang, toleransi terhadap exclusion error seharusnya sangat rendah, mendekati nol. Tidak boleh ada orang miskin yang tidak menerima bansos,” ucapnya kepada Tempo, Senin, 10 Februari 2025.
Menurut Yusuf, persoalan data kemiskinan atau DTKS memang menjadi titik paling krusial dalam penyaluran bansos. Data ini sudah lama bermasalah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, pemerintah daerah memiliki kewenangan mengusulkan penambahan dan pengurangan KPM dalam DTKS. Namun banyak pemerintah daerah mengeluhkan bahwa usulan mereka sering tidak dipenuhi oleh Kementerian Sosial.
Yusuf berpendapat bahwa koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah masih lemah, bahkan sering terjadi saling menyalahkan setiap kali masalah DTKS muncul, sebagaimana terungkap dalam audit BPK. Karena itu, ia menyarankan dilakukan audit independen oleh masyarakat lokal untuk memastikan verifikasi dan validasi dilakukan dengan benar, mempercepat pembaruan DTKS, serta menerapkan mekanisme lapor mandiri bagi masyarakat miskin yang tidak memiliki dokumen kependudukan. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo